Muhammad Said Al Asymawi, Jihad Melawan Logika Syariah dan Islam Politik

Muhammad Said Al Asymawi, Jihad Melawan Logika Syariah dan Islam Politik

Muhammad Said Al Asymawi memiliki argumen menarik soal syariah Islam dan politik

Muhammad Said Al Asymawi, Jihad Melawan Logika Syariah dan Islam Politik
ilustrasi: Masjid Raya Medan. (Pict by Hexa R)

Muhammad Sa’id Al-Asymawi, demikianlah nama lengkapnya. Ia, yang mantan Ketua Pengadilan Tinggi Kairo itu, adalah sosok penting dalam pergulatan politik Islam di Mesir. Al-Asmawi adalah salah satu dari beberapa intelektual muslim yang berani melawan arus. Dibandingkan dengan kolega senegaranya semisal Hassan Hanafi dan Nasr Hamid Abu Zayd, nama al-Asymawi barangkali belum akrab di telinga khalayak Indonesia.

Tetapi setelah isu penerapan syariat Islam bergulir, nama al-Asymawi mulai disebut-sebut sebagai rujukan yang sahih dalam gerakan melawan ekstremisme Islam. pada akhir 1980-an Al-Asymawi menulis sebuah buku yang sangat menarik berjudul Al-Islam al-Siyasy (Islam Politik, Political Islam).

Buku itu ditulis di tengah kemelut politik Mesir yang ditandai dengan menguatnya kelompok-kelompok Islam radikal-ekstrem dalam pentas politik Mesir. Saat itu Mesir sedang mengalamai ketegangan politik yang luar biasa pasca pembunuhan Presiden Anwar Sadat di tangan seorang anggota militer aktivis kelompok Islam radikal-ekstrem, Jihad Islam. buku ini telah diteremahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Islam and the Political Order (1994).

Tiga tahun yang silam (1998) terbitlah kumpulan tulisan Al-Asymawi yang berjudul Againts Islamic Extremism di bawah suntingan Caroline Fluehr-Lobban, profesor hukum dan ilmu politik di University of Florida. Seperti tulisan-tulisannya terdahulu, buku ini sangat kritis terhadap fenomena ekstremisme Islam yang mengusung dua isu besar, yaitu pembentukan pemerintahan Islam (negara Islam) dan penerapan syariat sebagai hukum dan konstitusi nasional. Walaupun secara formal, kelompok penggiat pemerintahan Islam dan penerapan syariat belum pernah berhasil karena seringnya terperangkap permainan. Namun meningkatnya kecenderungan ekstrem ini dapat menjadi bola liar yang tak terkendali.

Baik Nasser, Sadat maupun Mubarak di awal-awal pemerintahannya, pernah menggunakan kelompok-kelompok Islam ini sebagai basis dukungan dan legitimasi politik. Tetapi pada akhirnya alinasi taktis yang bersifat temporal ini berakhir dengan penangkapan dan pemenjaraan aktivis Islam Politik. Memang ada balas dendam dari kelompok-kelompok ini tetapi kekuasaan tetap di tangan kaum elit (avountir) politik.

Isu penerapan syariat Islam ini bukanlah isu yang bersifat lokal semata. Setidaknya, kecenderungan dapat dilihat dalam pengalaman Sudan yang menampilkan aktor-aktor seperti Dr. Hasan Turabi (Pimpinan Ikhwanul Muslimin Sudan) sebagai ideolog syariat Islam yang berkolaborasi dengan Rezim Militer Ja’far Mumeiri di satu sisi, dan Al-Ustadz Mahmud Muhammad Thaha (pendiri dan pemimpinan Persaudaraan Republikan, The Republican Brothers, Sudan) bersama muridnya Dr. Abdullah Ahmed an-Nai’im dan elemen-elemen pro demokrasi dan pluralisme, pada sisi lain. Penerapan syariat Islam di Sudan ini jika dicermati mampu “berhasil” karena berkolaborasi dengan rezimmiliter. Pertanyaan yang muncul adalah, siapa dari kedua kolaborator ini yang paling diuntungkan dalam pentas politik, rezim militerkah atau para pendukung (proponent) syariat Islam?

Menurut hemat saya, bagaimana pun, sangat tergantung pada kekuatan pemaksa karena wataknya yang kaku dan hitam-putih. Militer atau perangkat kekerasan serupa menjadi satu-satunya tupuan dalam proyek ini. pemberian legitimasi yang tidak terbatas ini dimungkinkan karena dalam pandangan Islam Politik, politik adalah bagian dari iman atau dengan kata lain politik dan agama adalah integra, tidak dapat dipisah-pisahkan.

Dengan legitimasi ini, rezim militer dapat dengan semaunya memberikan stigma “anti-Islam”, “atheis”, “komunis” dan sebagainya kepada individu-individu atau kelompok-kelompok yang menentang kelangsungan kekuasaannya. Artinya, agama dipolitisir sedemikian rupa untuk memenuhi tujuan-tujuan politik yang bahkan, jauh dari nilai-nilai agama itu sendiri.

Proyek penerapan syariat Islam di Sudan ini akhirnya menjadi kontra-produktif (contra productive) bagi tumbuhnya demokrasi di Sudan. Ini dibuktikan dengan penetapan hukuman mati kepada Al-Ustadz Mahmud Muhammad Thaha di tiang gantungan dengan tuduhan “anti Islam” dan “murtad”. Kelompok-kelompok opisisi menjadi bungkam karena takut mengalami nasib serupa yang selanjutnya memunculkan perlawanan kelompok minoritas Kristen di Sudan Selatan di bawah pimpinan John Garang.

Kasus Sudan ini tidak sendirian. Di Mesir, Aljazair, iran, Pakistan, Malasyia, Turki dan Indonesia, kelompok-kelompok Islamis (Islam Politik) tanpa henti menyerukan penerapan syariat Islam. namun yang amat disayangkan, mereka seringkali hanya menjadi tunggangan-tunggangan politik yang mengasikkan atau menjadi alat power bargaining bagi para avountir politik.

Penerapan Syariat Islam di Indonesia

Penerapan syariat Islam di Indonesia disuarakan oleh kelompok-kelompok Islam yang berideologi politik. Melalui usulan amandeman pasal 29 UUD 1945 yang bertujuan untuk mengembalikan tujuh kata “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Pembukaan UUD, FPP, dan FPBB mengukuhkan diri sebagai sayap Islam Politik di Parlemen. Walaupun dalam Sidang Tahunan MPR 2000 usulan ini kandas di tengah jalan, tetapi isu ini terus bergulir dan menemukan celahnya dalam momentum otonomi daerah.

Gagalnya strategi amandeman yang bersifat up-down ini memabngkitkan kesadaran bahwa secara riil kekuatan mereka memang belum “kuat” untuk memulai sebuah pemerintahan Islam. momentum otonomi daerah segera disambut dengan munculnya peratran-peraturan daerah yang memberi kesempatan bagi penerapan syariat Islam secara ad hoc. Keluarnya Surat Edaran Bupati Cianjur, misalnya, yang memerintahkan warganya untuk menjalankan syariat Islam merupakan indikasi yang jelas bagi strategi baru yang bersifat bottom-up.

Terlepas dari kegagalan atau keberhasilan mereka, ada kesamaan mendasar di antara para aktivis pemerintahan Islam dan syariat Islam ini, yaitu bahwa upaya formalisasi itu adalah bagian integral dari keimanan mereka. Mengutip sebuah ayat Al-Qur’an, “Dan barang siapa tidak menetapkan hukuman menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah kafirun.”

Kelompok-kelompok Islamis, menurut saya, tidak memiliki perangkat analisis yang memadai untuk menjelaskan berbagai krisis yang terjadi dewasa ini. satu-satunya pisau analisis yang digunakan adalah analisis agama. sehingga ketika semua fenomena baik sosial, politik, budaya, atau ekonomi, dinalisis dengan kacamata agama, maka yang terjadi adala salah-analisis yang berakhir pada anomali. Ibarat mendiagnosa dan mengobati penyakit, maka penyakit typus tidak bisa disembuhkan dengan obat sakit kepala kecuali memang dokternya sedang menderita sakit kepala. Mereka mempunyai tujuan yang restoratif tetapi tidak didukung dengan perangkat yang memadai. Sayang sekali.

Fenomena ini sebenarnya disebabkan oleh kegagalan (sebagian) kaum muslimin untuk membedakan wilayah profan (politik dsb) dari wilayah agama. tidak hanya generasi-generasi sekarang saja yang keliru, generasi Sahabat pun telah gagal dalam mejelaskan bentuk-bentuk otoritas paska wafatnya nabi Muhammad. Abu Bakar, Khalifah pertama, meneruskan kedua otoritas yang diyakini dimiliki oleh Nabi, yaitu otoritas religius (religious authority) yang ditandai dengan proses nubuwwah yang sebenarnya langsung terputus dengan kewafatan Nabi, dan otoritas politik (political authority), dalam pengertian yang sangat longgar karena Nabi sedikit banyak turut merancang komunitas Madinah. Berkumpulnya kedua otoritas ini pada diri Abu Bakar dan khalifah-khalifah setelahnya, terutama pada khalifah yang berbasis dinasti keluarga seperti Umayyah, Abbasiyah, Fathimiyah, Turki Utsmani, dll, meminjamkan legitimasi agama secara penuh kepada para penguasa untuk mengejar tujuan-tujuan politiknya.

Tidak hanya itu, dalam konteks seperti inilah hukum islan (lebh tepatnya jurisprudensi Islam atau fiqh) yang oleh kelompok Islam Politik disebut sebagai syariat Islam, terformulasi. Dus, syariat Islam yang ingin diterapkan oleh para proponen Islam Politik adalah produk-produk yang penuh intervensi dan hegemoni kekuasaan pada masanya. Ada beberapa permasalahan fundamental yang harus diselesaikan dalam konstruksi hukum pada masa-masa awal dan pertengahan, antara lain: kedudukan laki-laki dan perempuan yang sangat senjang, diijinkannya perbudakan dan pergundikan oleh Al-Qur’an, posisi non-muslim di negeri muslim, posisi muslim di negeri non-muslim, dan posisi non-muslim di negeri non-muslim.

Dalam bingkai kewarganegaraan, implikasinya adalah terjadinya klasifikasi warga negara berdasarkan jenis kelamin, status sosial dan agama. Laki-laki muslim akan menempati kelas satu jika dibandingkan dengan perempuan Muslimah, orang-orang merdeka lebih tinggi dari budak, istri resmi lebih utama dari gundik, dan warga muslim lebih utama dibandingkan dengan warga non-muslim. Dan yang menarik, seorang muslim yang keluar dari Islam akan dijatuhi hukuman mati. Sedangkan di puncak kekuasaan berdiri para elite yang tidak dapat tersentuh hukum karena merekalah pembuat dan penentu hukum. Para elit tersebut (politik dan agama) dimitoskan sebagai bayang-bayang Tuhan di muka bumi (zhill-u-Allah fi al-ardh). Alih-alih keadilan dan persamaan akan tercapai, apa yang akan terjadi adalah ketidakadilan (injustice) dan ketidaksetaraan (inequality) yang dijustifikasi oleh agama.

Di samping itu, jika syariat Islam diterapkan dalam konstruksi ini, maka yang akan terjadi adalah the endless war antara kaum muslim dengan kaum non muslim tidak hanya dalam bingkai negara tetapi juga internal negara. Konsep Dar al-Islam (negeri yang didominasi muslim) dan Dar al-Harb (negeri yang didominasi non-muslim, sehingga harus diperangi) membuktikan hal ini.

Dalam konteks hubungan internasonal, Islam akan selalu menjadi sumber ancaman global bagi tatanan dunia yang damai. Oleh karena itulah, tidaklah salah jika Dr. Bassam Tibi memandang fundamentalisme (ekstremisme) agama, termasuk Islamisme sebagai satu sumber kekacauan global (global disorder) dewasa ini. ujung-ujungnya, misi Islam sebagai rahmatan lil alaminakan terhalangi dengan sikap ekstremisme ini.

Lantas bagaimana sikap kita terhadap ekstremisme Islam ini? Satu-satunya jalan ialah melalui pencerahan dan penyadaran. Tetapi, ini pun juga rancu karena mereka yang akan kita sadarkan pun menganggap kita sebagai objek yang harus mereka sadarkan. Dengan demikian, tidak ada jalan lain kecuali membangun basis kita sendiri agar menjadi warga yang memiliki kesadaran pluralisme. Secara riil, kewajiban kita adalah memberikan perimbangan wacana agar Islam tidak selalu identik dengan ekstremisme tetapi di seberangnya juga terdapat Islam yang pluralis dan menentang ekstremisme Islam. Sejarahlah yang akan mencatat betapa ekstremisme agama tidak akan pernah memberikan kontribusi positif bagi penyelesaian masalah-masalah kemanusiaan.

Pada ruang inilah, Dr Muhammad Sa’id Al-Asymawi melalui tulisan-tulisannya yang disunting oleh Prof. Carolyne Fluehr-Lobban ini menemukan relevansi perjuangannya. Dalam rangka membangun masyarakat pluralis yang humanis, Al-Asymawi melakukan penelusuran terhadap agama Mesir Kuno yang menjadikan Osiris dan Ma’at sebagai figur sentralnya.

Dalam studinya ini, Al-Asymawi berkesimpulan bahwa ada mata rantai yang tidak terputus antara agama-agama yang berkembang di dunia. pada intinya semua agama disatukan oleh keimanan terhadap Tuhan dan perbuatan baik. Sejak dahulu kala telah terjadi saling meminjam antara agama Mesir Kuno, Yudaisme, Kristen dan Islam baik dalam hal bahasa-bahasa agama maupun dalam konsep teologi. Serupa dengan itu, semua agama telah mengalami distorsi dan korupsi yang dilakukan oleh para pemuka-pemukanya sendiri dengan alasan eksistensi dan politik.

Pada bagian lain buku ini, Al-Asymawi melakukan kritik terhadap gagasan penerapan syariat Islam, tidak hanya di Mesir tetapi juga di belahan dunia muslim lainnya. Bagi Al-Asymawi, politik harus dipisahkan dari agama agar agama tidak dipolitisir untuk dan tidak terkontaminasi oleh kepentingan tertentu. Dan sekularisasi merupakan jalan terbaik untuk memajukan masyarakat Muslim.

Tentu saja, nasib Al-Asymawi tidak seburuk kolega-koleganya yang lain, seperti Farag Foda yang terbunuh atau Nasr Hamid Abu Zayd yang diceraikan dari istrinya dengan tuduhan murtad dan terpaksa meminta suaka ke pemerintah Belanda. Sebagai mantan pejabat pengadilan tinggi Mesir, Al-Asymawi mendapatkan fasilitas security 24 jam dari pemerintah Mesir, sekalipun ancaman pembunuhan tidak kunjung henti.

Bagaimanapun, ini adalah jihad melawan kebodohan dan kepicikan umat Islam di tengah arus modernitas yang tak terbendung. Dan jangan pernah berpikir bahwa jihad model ini tanpa pengorbanan yang besar.

Syir’ah 03