Perlukah Menggugat Labelisasi Syariah?

Perlukah Menggugat Labelisasi Syariah?

Perlukah Menggugat Labelisasi Syariah?

Mengemukanya kasus investasi perkebunan dan perumahan bermodus syariah dalam pemberitaan akhir-akhir ini cukup menyita perhatian publik. Kenapa muncul kasus investasi berlabel syariah, yang seharusnya hal itu tak terjadi? Apa perlu menggugat labelisasi syariah sebagai kemasan ekonomi dan bisnis?

Sebetulnya penggunaan label Syariah pada produk ekonomi di penghujung tahun 90-an juga pernah manjadi sorotan publik. Tak terkecuali para pakar Islam dunia yang manilai terdapat keganjalan epistemologis penggunaan label ekonomi Syariah di Indonesia. Konon, Naquib al-Attas sang pelopor islamisasi sains juga mengkritik persoalan ini.

Namun, saat itu para cendekiawan muslim Indonesia berkilah bahwa penggunaan label Syariah bertujuan untuk mengusung gagasan inklusi. Daripada menggunakan label Islam seperti digunakan di negera-negara lain, misalnya Islamic bank, islamic finance, Islamic business, dsb. Label Syariah dianggap lebih ramah bagi masyarakat Indonesia yang majemuk.

Tapi tak disangka yang semula dikira lebih inklusif label syariah dalam perkembangannya justru manjadi alat propaganda populisme. Label syariah dibuat sebagai strategi untuk membelah kelompok masyarakat, antara “the pure people” (the good) dengan “the corrupt elite” (the bad). Dalam artian yang memakai label syariah diklaim sebagai the good (yang baik) sementara yang tak memakainya dibilang the bad (yang jelak).

Sebuah ironi, dikala pertama kalinya label syariah diusung cendekiawan muslim untuk menunjukkan wajah keramahan, tapi diperalat sedemikian rupa untuk kepentingan populisme. Untuk mandukung kepentingan ini, semua agar tampak the good diberikan label syariah oleh kalangan yang punya semangat (muharrik) tapi tak punya dasar pengetahuan yang mencukupi.

Dari awalnya hanya untuk label bank syariah, kini semua jenis usaha agar terbilang the good dilabeli syariah, misalnya hotel syariah, perumahan syariah, kolam renang syariah, traveling syariah dan lain sebagainya. Pada akhirnya karena budaya populisme ini lebih banyak dilandasi unsur semangat dibandingkan ilmu, maka terbukti sekarang terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan.

Wajar saja kini muncul gugatan terhadap labelisasi syariah. Secara epistemologi, penghalusan labelisasi syariah adalah “lawan” praktek ribawi yang beroperasi pada sektor nuqud (keuangan).

Ketika wilayah operasional labelisasi syariah diperluas ke sektor bisnis dan perdagangan (tijarah) maka yang terjadi adalah pemaksaan. Bisnis dan perdagangan dari dulunya bersifat umum dan bebas. Ia hanya terikat dengan nilai-nilai universal seperti saling percaya dan anti culas (ghurur). Nilai ini bukan saja milik Islam tapi dianut semua tatanan nilai masyarakat di manapun.

Oleh sebab itu ketika kegiatan bisnis dan perdagangan dilabelisasi syariah terjadilah kerancuan epistemologis yang pada akhirnya melahirkan kasus-kasus syariah. Namun, bagaimana mungkin ada kasus syariah?

Ini ironi! Sudah saatnya kita meluruskan penggunaan syariah untuk labelisasi kepentingan-kepentingan populisme Islam.