“Pakaian dalam” pada masa Rasulullah disebut dengan “sirwal”, kata jamaknya “as-sarawil”. Jangan dibayangkan pakaian dalam pada masa ini seperti masa sekarang. Pada masa Rasulullah pakaian dalam sangat sederhana, yaitu berupa kain yang dilipat untuk menutup bagian kelamin.
Dalam tulisan ini sengaja menggunakan kata “pakaian dalam” bukan “celana dalam” sebagai terjemah dari “sirwal” karena untuk menunjukkan pada makna yang digunakan pada masa Rasulullah, sedangkan bentuk pakaian berupa “celana” baru dikenal di kemudian hari.
Secara umum masyarakat pada masa Rasulullah Saw jarang yang menggunakan pakaian dalam. Menurut Khalil Abdul Karim (w. 2002), sejarawan yang konsen dalam diskursus Islam awal, cuaca Arab yang sangat panas menjadi faktor yang mendorong masyarakatnya tidak menggunakan pakaian dalam.
Diinformasikan suatu ketika ada salah satu pemuda Yahudi menggoda perempuan yang sedang berjualan di pasar Bani Qainuqa‘. Pemuda Yahudi itu mengikat ujung bawah izar atau kain bawahan yang digunakan perempuan, lalu ketika perempuan itu bangun dari tempat duduknya, kain yang menutup tubuh bagian bawah tersingkap hingga kemaluannya terlihat. Orang-orang Yahudi yang menyaksikan tertawa, hingga kemudian datang salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw. Lalu terjadi perang di antara keduanya. (Khalil, 1997: II, 399, Ibnu Hisyam, 1955: II, 48).
Poin yang hendak ditunjukkan dari riwayat di atas yaitu bahwa perempuan yang digoda tidak menggunakan “pakaian dalam”. Andai memakainya maka ketika kain izar yang menutupinya terbuka tidak akan terlihat kemaluannya.
Rasulullah dalam beberapa sabdanya berpesan supaya memakai “pakaian dalam” ketika hendak keluar rumah, tujuanya supaya kemaluan atau alat kelaminnya tidak terlihat apabila kain izar yang digunakan tersingkap, baik oleh angin atau jatuh.
Ali bin Abi Thalib menceritakan bahwa suatu ketika ia bersama Rasulullah Saw, cuaca pada hari itu mendung dan hujan. Ada seorang perempuan berjalan menggunakan keledai terpeleset jatuh di hadapan Rasulullah yang sedang bersama sahabat-sahabatnya. Melihat kejadian itu, Rasul segera memalingkan mukanya untuk tidak melihat, sementara para sahabat justru menyaksikannya sembari berkata: “Ia menggunakan pakaian dalam”. Lalu Rasul bersabda: “Gunakanlah pakaian dalam karena itu pakaian yang paling bisa menutupi (kemaluan). Jagalah atau pakaikanlah pakaian dalam kepada perempuan-perempuan kalian apabila keluar rumah.”
Dalam hadis ini diceritakan bahwa Rasulullah Saw membuang mukanya dari pandangan perempuan yang jatuh, karena Rasul menduga perempuan yang menggunakan kain izar itu tidak menggunakan pakaian dalam. Rasulullah juga memerintahkan kepada para sahabatnya supaya menjaga perempuan-perempuannya, baik istri, anak atau saudara-saudaranya, untuk menggunakan pakaian dalam ketika keluar rumah. Sabda Rasulullah ini mengindikasikan bahwa pada masa itu masyarakat jarang yang menggunakan pakaian dalam. (Khalil, 1997: II, 399).
Perintah Rasulullah Saw sangat relevan dan penting mengingat pakaian yang berkembang pada masa itu sangat longgar dan sederhana, sehingga ketika pakaian tersingkap oleh angin atau jatuh maka kemaluannya akan terlihat. Berbeda dengan ketika seseorang berada di dalam rumah atau tempat khusus maka tidak menggunakan pakaian dalam tidak ada persoalan.
Dalam hadis diinformasikan, Rasulullah berdoa meminta ampunan kepada para perempuan yang menggunakan pakaian dalam. Menurut Khalil Abdul Karim, doa ini sebagai dorongan atau ajakan kepada para perempuan supaya menggunakan pakaian dalam. Berkat doa Rasulullah, seiring dengan berkembangnya peradaban umat Islam sebab bersentuhan dengan berbagai peradaban lain, umat Nabi Muhammad kemudian mengenal dan memakai pakaian dalam yang lebih baik. (1997: II, 400).
Demikianlah peradaban bangsa-bangsa manusia, pertukaran dan penyerapan, adopsi dan adaptasi menjadi hal yang niscaya. Karena itu dalam QS. Al-Hujurat 11 secara tegas Allah melarang bangsa tertentu merendahkan bangsa lainnya.