Seekor kodok kecil alias peprek berdiam diri di pinggiran bak mandi, di atas gagang gayung kecil yang tak terpakai. Saat memasuki kamar mandi, tiga hari yang lalu, terbesit dalam pikiran saya untuk mengusirnya. Tapi niat itu saya urungkan. Kita harus menyayangi makhluk Allah, bisik saya dalam hati.
Pada malam harinya, saat ritual buang air besar, peprek itu masih di tempat yang sama. Dia mengorek bernyanyi. Saya perhatikan dan menyaksikan tenggorokannya yang bergerak naik turun beriringan dengan suara nyanyiannya.
Teringat kemarin, saat hendak berwudhu di blumbang (empang) kecil samping rumah, jemari Bapak digigit ikan gurameh. Peristiwa kecil itu lalu diceritakan kepada kami, saya dan simbok, di ruang tamu sembari menikmati teh dan aneka roti lebaran. Simbok langsung menimpali,
“Mereka lapar itu, Pak. Aku Yo lali ora makani (Aku juga lupa tidak memberi makan).”
Lanjut simbok, makanan ikan gurameh itu sederhana saja: cukup dicarikan daun talas lalu dilempar ke blumbang. Itulah makanan mereka. Mungkin karena lapar, mereka kesal lalu mereka melakukan unjuk rasa dengan menyerang tangan Bapak.
Bila matahari mulai menyingsing, giliran ayam yang keluar dari kandangnya. Berjalan mengitari rumah sambil mematok-matok tanah di halaman dan sekitar pepohonan. Asal tidak masuk rumah saja, dia tidak akan mendapatkan gangguan yang berarti. Dia bebas. Batasnya asal tidak masuk rumah dan berak sembarangan saja, haha.
Tidak semua hewan mendapatkan perlakuan yang sama, memang. Bila malam tiba, Bapak memasang jebakan tikus. Dan malam tadi belum sampai satu jam sudah mendapatkan dua anakan tikus alias clurut.
Di rumah, kami tidak hanya berbagi ruang kepada makhluk hidup yang kasat mata, tetapi juga kepada makhluk halus yang menghuni rumah. Biasanya, bayi atau anak kecil di bawah umur dua tahun yang melihat makhluk itu. Reaksi mereka tidak lain menangis ketakutan sembari menudingkan tangan ke arah udara hampa.
Salah satu sepupu bahkan sampai sekarang tidak berani masuk ke alam rumah saat malam hari. Singkat cerita, sewaktu kecil dia melihat makhluk hitam tinggi besar atau yang disebut genderuwo saat berada di beranda rumah. Dia menangis hebat, dan lari terbirit-birit meninggalkan rumah. Saya sendiri tidak pernah melihat wujud genderuwo itu. Tapi saya yakin dia ada. Bukankah di surat Al-Baqarah kita diajarkan untuk mengimani keberadaan yang gaib?
Sampai saat ini kami tidak pernah mengadakan ritual untuk mengusirnya. Biarlah dia di rumah ini. Kita berbagi ruang saja, selama tidak saling mengganggu. Mungkin dengan berbagi ruang sudah cukup sebagai cara kami menyayangi makhluk Allah, sekalipun itu berupa genderuwo.
Apakah pengalaman berbagi ruang di tengah jagad beserta penghuninya ini hanya dimiliki oleh keluarga petani pinggiran seperti kami? Tanyaku.
Sebab, di luar sana orang saling berlomba-lomba untuk menguasai segalanya. Berhasrat menaklukkan semuanya. Selain Tuhan, hewan dan tanaman, misalnya, dianggapnya lebih rendah derajatnya dan diperlakukan semaunya. Dieksploitasi semena-mena. Demi keuntungan manusia sebanyak-banyaknya.
Ya, setelah memasuki sekolah dasar, kita mulai diajarkan untuk saling mengalahkan. Menjadi yang ter-, yang paling, dan semacamnya. Kita diajari bahwa hidup ini adalah tempat untuk berkompetisi dengan yang lain. Dimulai dari ruang kelas lalu di bawa dalam kehidupan bermasyarakat.
Mungkin karena Bapak dan Simbok bukan orang sekolahan jadi tidak mengenal dan memperkenalkan dunia kompetisi semacam itu pada anak-anaknya. Mereka justru lebih tahu cara menyayangi makhluk Allah dari orang sekolahan. Lha gimana, Simbok itu tanda tangan saja tidak bisa. Nulis apalagi. Tetapi kalau berhitung uang, baru luar biasa hebatnya!
Memasuki SMP kita juga dijejali teori evolusi Darwin yang berprinsip: dia yang paling kuatlah yang mampu bertahan “survival of the fittest”.
Di dusun saya, di lereng gunung Sumbing yang dingin ini, kompetisi semacam itu juga perlahan merayapi warga desa. Saling berlomba menunjukkan kemewahan antar keluarga. Mulai dari perhiasan, rumah, sampai kendaraan. Begitu juga antara RT yang satu dengan yang lain. Saat lebaran tiba, persaingan itu nampak dari pertunjukan kehebatan mercon dan kembang api. Sesekali juga saling bersaing hidangan kepada orang-orang yang berjaga malam.
Bukankah hidup ini terasa semakin sempit ya dengan mengusung paham semacam itu dalam keseharian? Atau jangan-jangan kita butuh musuh bersama supaya antar RT tidak lagi saling bersaing semacam itu?
Kenapa sih kita harus berlomba-lomba? Siapa yang sedang ingin kita kalahkan? Bukankah cukup yang menjadi musuh adalah diri kita sendiri: kemalasan dan kebodohan, misalnya.
Bukankah dalam hidup ini kita butuh lebih banyak kerja sama untuk meraih mimpi-mimpi kita? Bukankah salah satu kelebihan manusia itu di antaranya adalah kemampuannya untuk beradaptasi dan bekerja sama secara fleksibel dengan sebanyak mungkin orang lain untuk mencapai kehidupan yang lebih baik? Tanyaku pada diri sendiri.
Sehabis Maghrib saya kembali ke kamar mandi. Tidak seperti biasanya, peprek itu tidak berada di tempatnya. Dia pergi. Ada rasa sedih dalam hati. Ke mana kah ia gerangan? Sekitar empat jam berselang, saya kembali lagi ke kamar mandi dan mendapati hewan mungil itu sudah berdiam diri di tempatnya bagai pertapa.
Oh, paling tadi dia lapar dan pergi mencari makan.
Selamat Idul Fitri, berkah melimpahi semua makhluk Allah di Bumi!