Benarkah Islam Tidak Acuh pada Persoalan Lingkungan Hidup?

Benarkah Islam Tidak Acuh pada Persoalan Lingkungan Hidup?

Isu lingkungan belakangan menjadi perhatian yang sangat serius oleh dunia internasional. Mengingat banyaknya peristiwa alam seperti kebakaran, krisis air, global warming, dan lain sebagainya. Alam sendiri bekerja sesuai perlakuan manusia kepadanya.

Benarkah Islam Tidak Acuh pada Persoalan Lingkungan Hidup?

Sakdiyah Ma’ruf pernah berkelakar saat tampil open mic di TEDxUbud, Bali. Sebagai seorang komika perempuan Indonesia berlatar belakang komunitas Arab yang ketat pada aturan tradisi dan agama, Sakdiyah kerap menyuarakan kegelisahannya tentang konservatisme hingga ekstrimisme agama.

I suddenly have this idea that indonesian jihadist should really stop using guns, because it’s too american, and start using local weapon: the bambu runcing”, katanya memulai. “They can brand their action with eco-terrorism. We hate you, but we love the environment.”

Tawa para penonton, yang mayoritas bule, meledak seketika.

Barangkali kita bisa menertawakan bit di atas, tapi silakan menangis jika itu Anda anggap sebagai ironi yang menyedihkan. Pada intinya, Sakdiyah mencemaskan ekstrimisme beragama di Indonesia. Tapi satirenya tentang eco-terrorism perlu kita pikirkan ulang sebagai satu renungan. Jika dalam tataran ekstrim lawakan semacam itu bisa muncul, kenapa tidak untuk ide islamic-ecoreligious? Berislam yang ramah lingkungan.

Sadarkah kita bahwa relasi Islam dengan lingkungan hidup sangatlah sukar ditemui dalam wacana sehari-hari? Kita nyaris tak menemukannya di khotbah jumat, di pengajian maulid Nabi, atau di ceramah-ceramah ustaz seleb via platform daring. Seakan, permasalahan lingkungan hidup bukanlah satu persoalan serius dibanding iman, takwa, sedekah, atau lainnya.

Di sisi lain, kenapa kita lebih berapi-api membela Palestina ketimbang ikut berdonasi untuk api sesungguhnya di Australia? Kenapa kita memilih sibuk berzikir di masjid ketimbang bertindak atas pembangunan mal dan hotel di sekitar kita yang beresiko mengurangi ruang resapan air dan menyedot air bersih warga?

Jawabnya mudah. Karena Islam sudah sangat erat dengan dua term populer tentang relasi keseimbangan yang diajarkan pada kita sejak kecil. Kita mengenalnya dengan hablumminallah dan hablumminannas. Relasi vertikal dengan Tuhan dan relasi horisontal dengan manusia. Kita jarang mendengar adanya relasi resiprokal dengan alam. Atau mungkin belum pernah sama sekali?

Ya, sebagai muslim kita harus membela saudara-saudara kita di Jalur Gaza yang mati-matian bertahan hidup dari kekerasan para Yahudi. Di samping itu, bahwa sesungguhnya memperbanyak zikir adalah cara berterima kasih kita sebagai seorang hamba kepada sang Rabb Yang Maha Pencipta. Perkara kualitas udara memburuk, jutaan satwa mati, atau banjir bertamu saat hujan, anggap saja sebagai ujian.

Kalau mau ditilik lebih jauh, kritik ekologi pada agama sebenarnya tidak hanya berlaku pada Islam saja. Dua agama pendahulu Islam bisa dikatakan tidak lebih maju dalam soal ini. Konsentrasi umat dalam Kristen maupun Yudaisme juga tak jauh dari persoalan relasi manusia dan Tuhan.

Dari situlah muncul sebuah anekdot, “Kenapa Islam, Kristen, dan Yudaisme cenderung tidak peduli terhadap persoalan lingkungan di bumi?” kata seorang budayawan dalam sebuah forum. “Ya karena ketiganya adalah agama langit (samawi), jadi ya sulit kalau disuruh membumi.”

Anekdot di atas bisa jadi benar, bisa jadi salah.

Kita bisa membandingkan dengan, ambillah contoh, konsep harmoni masyarakat Hindu Bali yang mempunyai satuan hubungan antara manusia dengan lingkungan (unsur Palemahan), di samping hubungan manusia dengan Tuhan (unsur Parahyangan) dan hubungan antarmanusia (unsur Pawongan). Ketiganya terakumulasi dalam filosofi Tri Hita Kirana.

Atau lihat saja ajaran-ajaran penghayat kepercayaan seperti Mapurondo di Sulawesi Barat. Mereka yang menggantungkan hidup dari kebaikan alam, sekaligus merawatnya, tidak lain karena mempunyai tiga prinsip hidup (tallu loronna), yakni tatakrama saat berhubungan dengan Sang Pencipta (To Metampa), manusia, dan alam.

Lantas, apakah benar “agama-agama bumi” selangkah lebih maju dalam hal mengesampingkan ego antroposentrisnya sebagai sebuah ajaran moral? Saya kira tidak juga.

Pada dasarnya, semua agama memiliki visi perenial dalam hal menjaga dan memelihara alam kosmik, atau lingkungan hidup dalam skala lebih kecil.

Kita memang tidak akan menjumpai kata-kata seperti perubahan iklim, efek rumah kaca, atau emisi karbon di dalam al-Qur’an. Apalagi berharap mendapati peristiwa penyu mati karena habitatnya tercemar limbah plastik di dalam hadis Nabi. Tapi dalam nash-nash tersebut terdapat banyak ayat dan sunnah, yang tersirat maupun tersurat, mengecam keras perusakan alam dan lingkungan: QS.11:85, QS.2:11, QS.7:85, QS.28:77, atau QS.26:151-152.

Yusuf Al-Qardhawi, seorang ulama Mesir terkemuka, bahkan menuliskan perihal ajaran Islam dan persoalan lingkungan hidup ini dalam satu karya tersendiri yang berjudul Ri’ayah al-Bi’ah fi Syari’ah al-Islam. Dalam bukunya, ia memberi solusi terkait kerusakan lingkungan dengan cara revitalisasi nilai-nilai moral, keadilan, kebaikan, kasih-sayang, keramahan, dan sikap tidak sewenang-wenang.

Seorang doktor environmentalisme Islam dari Inggris, Adam Khyas mengatakan dalam satu tesisnya di Conversation, bahwa prinsip-prinsip dalam rukun Islam pun pada dasarnya telah menanamkan semangat menjaga lingkungan. Salah satunya, ia mencontohkan zakat. Pembagian “sumber daya” ini menunjukkan bahwa adanya etika Islam sebagai upaya keberlanjutan lingkungan dan keadilan.

Dalam hal ini, saya bisa katakan bahwa Islam sebenarnya acuh pada lingkungan. Tapi seringkali kita sebagai muslim tidak menangkap pesan menjaga lingkungan dan menjadikannya satu prinsip keseimbangan di luar relasi dengan Tuhan dan manusia. Bahwa hubungan sosial dan hubungan transenden bukan berarti harus lebih diutamakan daripada hubungan timbal balik dengan alam: alam memberi, kita merawatnya. Ketiganya harus berjalan beriringan sebagai satu kepentingan hidup bersama.

Tidak ada salahnya berdonasi demi kepentingan kemanusiaan di Palestina atau manapun. Begitu juga dengan berlama-lama berzikir di masjid untuk mendekatkan diri pada Allah. Tapi kalau kita terus mendiamkan alam yang semakin marah, sepertinya dua ibadah sebelumnya tidak akan bisa berlangsung lama dan tenang.

Saya memang belum pernah mendengar seorang khatib memberi petuah tentang perubahan iklim, tapi kita mulai bisa menemui para penceramah yang menghimbau pentingnya berhemat air saat berwudhu. Kita juga bisa membaca berita tentang beberapa masjid di India, Bahrain, Yordania, Maroko, bahkan di Indonesia yang mulai beralih ke tenaga surya, energi terbarukan nol emisi.

Jika Islam memang mengajarkan untuk peduli pada lingkungan hidup, dan sebagian umat muslim telah menyadarinya dengan berperan aktif, bukankah kita juga bisa memulainya?

Mohammad Pandu, penulis adalah pegiat di komunitas Santri Gusdur Jogja.