Spirit Arafah untuk Persaudaraan dan Kemanusiaan Universal

Spirit Arafah untuk Persaudaraan dan Kemanusiaan Universal

Arafah bukan hanya sekedar padang tandus, tetapi juga, tempat untuk saling mengenal antar sesama manusia (lita’arafu).

Spirit Arafah untuk Persaudaraan dan Kemanusiaan Universal
A Muslim pilgrim prays on Mount Mercy on the plains of Arafat outside the holy city of Mecca December 7, 2008. More than two million Muslims began the haj pilgrimage on Saturday, heading to a tent camp outside Mecca to follow the route Prophet Mohammad took 14 centuries ago. REUTERS/Ahmed Jadallah (SAUDI ARABIA)

Setiap tanggal 9 Dzulhijjah, jutaan ummat Islam wukuf di padang Arafah. Itulah rukun sekaligus puncak ibadah haji. Rasulullah SAW menyatakan, al hajju ‘arafatu, “Haji itu adalah Wukuf di Padang Arafah”. Tanpa wukuf, ibadah haji tidak sah.

Wukuf di Arafah mengandung nilai filosofi yang amat luas dan mendalam. Arafah adalah simbol kesetaraan dan persamaan; simbol persatuan dan kesatuan; Arafah juga simbol persaudaraan. Saat  wukuf,  jutaan ummat manusia dari berbagai penjuru dunia dengan berbagai latar belakang  berkumpul di tempat  yang sama, dengan memakai pakaian ihram berwarna putih.

Arafah mengingatkan kita akan kekuasaan Allah SWT.  Allah menciptakan makhluk-Nya yang bernama manusia dengan segala keragaman  suku, bangsa. Rupa, warna kulit serta bahasa dan karakternya. Arafah mengingatkan bahwa manusia dengan keragamannya berasal dari jiwa satu yaitu Nabi Adam AS. Selanjutnya dari pasangan Adam dan Hawa manusia kemudian berkembang menjadi miliaran manusia.

Manusia diciptakan dengan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal satu sama lain. Sebagaimana firman-Nya;

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Manusia diperintahkan untuk saling mengenal satu sama lain (lita’arafuu). Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menguraikan makna lita’aarafu, dengan liyahshula at-ta’aruf bainahum (agar teradinya saling mengenal diantara mereka). Sedangkan Syekh Wahbah Az-Zuhaily memberikan uraian dalam At-Tafsir Al Munir, manusia diciptakan dengan keragaman suku bangsa agar saling mengenal satu sama lain. Bukan untuk membanggakan suku dan nasab masing-masing.

Arafah bukan hanya sekedar padang tandus, tetapi juga, tempat untuk saling mengenal antar sesama manusia (lita’arafu). Arafah dan lita’arafu berasal dari tiga huruf dasar yang sama ain-ra-fa. Hal ini bukan semata kebetulan belaka, tetapi memang sudah menjadi sebuah hikmah.

Oleh karena itu, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad disebutkan bahwa Rasulullah SAW ketika berkhutbah di Padang Arafah beliau berpesan;

Wahai sekalian manusia! Rabb kalian satu, dan ayah kalian satu (maksudnya Nabi Adam). Ingatlah. Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang Ajam (non-Arab) dan bagi orang ajam atas orang Arab, tidak ada kelebihan bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah kecuali dengan ketakwaan. Apa aku sudah menyampaikan?” mereka menjawab: Iya, benar Rasulullah SAW telah menyampaikan.

Rasulullah SAW menegaskan, bahwa orang Arab tidak lebih mulia dari yang bukan Arab, sebaliknya orang bukan Arab tidak lebih mulia dari orang Arab. Begitu pula orang kulit berwarna dengan orang kulit hitam. Semuanya sama. Yang membedakan adalah kadar ketakwaannya.

Pesan Nabi SAW dalam khutbah Arafah ini mengandung ajaran yang amat luhur. Pesan tentang persaudaraan universal. Menafikan perbedaan di antara manusia. Mengajarkan manusia untuk mengedepankan persamamaan dan memelihara persaudaraan. Sesama manusia. Sesama anak cucu Adam.

Rasulullah SAW telah mencotohkan bagaimana menghormati sisi kemanusiaan. Dalam hadis shahih riwayat Imam Bukhari dikisahkan bahwa suatu hari Sahal bin Hunaif dan Qais bin Sa’ad sedang duduk di daerah Qadisiyah, tiba-tiba lewat rombongan yang membawa jenazah di hadapan keduanya, lalu keduanya pun berdiri. Dikatakan kepada mereka berdua bahwa jenazah yang dibawa itu adalah orang Yahudi ahlu dzimmah, (warga non-Muslim yang baik/ tidak memerangi).

Mendapat informasi seperti itu, Sahal bin Hunaif dan Qais bin Sa’ad menceritakan bahwa Rasulullah SAW juga bersikap sama. Ketika ada jenazah lewat di hadapannya, beliau berdiri. Para sahabatpun bertanya, mengapa beliau berdiri padahal jenazah yang dibawa itu adalah seorang Yahudi, Rasulullah SAW menjawab dengan pertanyaan retoris, “Bukankah dia juga manusia?” Dengan jawaban semacam ini Rasulullah SAW seakan mengingatkan para sahabat bahwa setiap manusia layak mendapat penghormatan, terlepas dari apa latar belakang sosial dan agamanya, bahkan ketika manusia itu sudah terbaring menjadi mayat.

Hadis di atas menyiratkan pesan substansial bahwa Rasulullah SAW sangat menghormati manusia. Hal itu selaras dengan pernyataan Al-Qur’an;

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra: 70)

Ajaran yang dibawa Rasulullah SAW tentang menghormati kemanusiaan serta perintah persaudaraan dan persamaan hak kemanusiaan sudah disampaikan jauh sebelum Majelis Umum PBB mendeklarasikan  Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948.

Spirit Arafah mengingatkan kita akan asal usul kita sebagai makhluk yang diciptakan beragam oleh Sang Pencipta. Arafah mengajarkan kita akan pentingnya persamaan dan persatuan. Arafah memberikan spirit yang luar biasa tentang pentingnya menyadari keragaman, menghargai kemanusiaan serta menjaga persaudaraan universal. Dengan semangat persaudaraan kemanusiaan, kita bisa hidup berdampingan dan kedamaian. (AN)