Of Gods And Men: Iman Dalam Sebuah Pengujian

Of Gods And Men: Iman Dalam Sebuah Pengujian

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?”

Of Gods And Men: Iman Dalam Sebuah Pengujian

Perang sipil di Aljazair era tahun 90-an, terpotret dalam film “Of Gods And Mens”

garapan sutradara: Xavier Beauvois.

Adalah sebuah peristiwa yang melibatkan militer di satu sisi dan sejumlah kelompok-kelompok Islam garis keras yang saling bertikai di sisi lainnya. Yang kemudian sulit untuk tidak melihat  film ini ke dalam nuansa  sosial-politik pada era itu.

Tepatnya  dari sebuah desa Tibhirine  di Aljazair, Afrika Utara, desa ini dihuni oleh mayoritas muslim miskin yang umunya adalah petani.

Di dalam desa itu pula berdiri sebuah biara (Katolik) yang dihuni oleh delapan  biarawan asal Perancis.

Komunitas masyarakat Muslim dan Biarawan Katolik tadi hidup dalam keharmonisan khas pedesaan.

Diceritakan setelah berdoa pagi, beberapa biarawan pergi ke pasar untuk menjual madu hasil olahan mereka sendiri.

Sebagian lagi membuka klinik kesehatan gratis untuk masyarakat Muslim setempat, di kompleks biara tersebut.

Keadaan berubah ketika kemunculan milisi muslim fundamentalis mengubah semuanya. Mereka tidak hanya mengancam biara, tetapi juga seluruh warga desa yang notabene sama-sama Muslim.

Bagi Christian (yang diperankan oleh Lambert Wilson), dan para biarawan lainya menetap atau pergi dari biara dengan kondisi politik yang memanas tadi bukanlah sebuah pilihan yang mudah.

Sudah puluhan tahun mungkin mereka menetap disitu dan bagaimana manifestasi iman mereka dijewantahkan dalam tindakan nyata untuk membantu masyarakat pedesaan setempat, termasuk ketika suatu saat mereka menghadiri “hajatan khitanan” seorang anak muslim, dan berbaur dengan masyarakat tadi.

Ucapan “assalamualaikum” dan “insyaallah” seolah bukan seuatu hal yang asing lagi untuk mereka ucapkan dalam bersosialisasi.

Walaupun dalam waktu bersamaan mereka bersama biarawan yang lain terus bernyanyi dan berdoa dengan Injil di tangan.

Hingga sebuah ketegangan muncul, saat kelompok muslim garis keras mendatangi biara untuk meminta pertolongan pengobatan, yang tentu bisa dibayangkan karena mereka bersenjata lengkap saat masuk dalam kompleks biara tadi.

Tidak sampai disitu, ketika para milisi ini pergi, keesokan harinya pihak militer yang selama ini mengejar mereka mencurigai soal bantuan para biarawan yang diberikan  kepada kelompok fundamentalis tadi.

Dengan pasukan yang juga bersenjata lengkap, tentara mendatangi biara namun mereka tidak menjumpai satupun para fundamentalis.

Tidak hanya itu, tentara juga memantau lokasi biara dengan helikopter untuk memastikan keberadaan para fundamentalis tersebut.

Ditengah situasi tadi,  ketua biara, Christian mencoba untuk menenangkan  melalui pendekatan-pendekatan secara personal kepada seluruh biarawan yang lain.

Ternyata masing-masing biarawan mempunyai keinginan berbeda-beda. Beberapa ada yang sudah tidak betah lagi dan ingin pergi, namun beberapa masih ingin tetap tinggal dibiara melayani Tuhan dan warga setempat.

Pergulatan spiritual tadi menjadi sesuatu hal yang menarik, bagaimana posisi dilematis  antara sisi manusiawi mereka menginginkan kemananan dan di sisi lain iman mereka diuji untuk tetap tingal dan “beribadah” terhadap masyarakat setempat.

Para biarawan sejak awal digambarkan selalu  rutin berdoa bersama di ruang yang gelap. Ketika semakin kacau situasi di luar dan semakin kerasnya tekanan militer dan milisi, kian sering pula adegan ini terlihat.

Akhirnya, setelah beberapa lama tarik-menarik dengan milisi dan militer, delapan biarawan menemui nasib tragisnya, diculik dan dibunuh oleh fundamentalis tadi.

Yang mungkin niat awalnya adalah untuk mengadakan penukaran sandera dengan pihak pemerintah terhadap rekan-rekan mereka yang dipenjara.

Beberapa adegan yang menarik adalah dimana ketika para biarawan berkumpul, minum anggur, diiringi Swan Lake-nya Tchaikovsky dari sebuah kaset tua.

Juga adegan penutup saat mereka diculik kemudian digiring menelusuri jalanan bersalju menuju tempat eksekusi yang entah dimana.

Seolah ini sebagai perjamuan terakhir dan via dolorosa, juga seakan-akan yang dialami Yesus dan murid-muridnya juga dialami para biarawan tadi.

Quote yang paling menyentuh dalam film ini adalah seorang Ibu Muslim ketika berbicara dengan Christian.

“Kami adalah kumpulan burung, dan kalian [biarawan] adalah dahannya.”

Setelah selesai menyaksikan film ini tiba-tiba saya kemudian teringat dengan salah satu Ayat Al Quran juga dalam surat Al ‘Ankabut:

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?”

Setidaknya walaupun dalam dimensi keyakinan yang berbeda saya melihat, Christian dan para biarawan lainya tadi sudah membuktikan apa yang mereka yakini, dan apa yang mereka imani.

Dalam perspektif religiusitas saya, Ada dua hal yang mereka sudah raih dengan sukses yaitu Habluminanas dan Habluminallah sekaligus.