Nada dan Dakwah Rhoma Irama: Film Progresif Melawan Kapitalisme dan Konflik Agraria di Masa Orde Baru

Nada dan Dakwah Rhoma Irama: Film Progresif Melawan Kapitalisme dan Konflik Agraria di Masa Orde Baru

Film Nada dan Dakwah Rhoma Irama bukan sekadar film bertema Islam. Menurut Eric Sasono, film ini adalah film progresif melawan kapitalisme dan konflik agraria.

Nada dan Dakwah Rhoma Irama: Film Progresif Melawan Kapitalisme dan Konflik Agraria di Masa Orde Baru

Nada dan Dakwah merupakan salah satu film Rhoma Irama yang menjadi pilihan Madani Film Festival 2020. Bagi peneliti film Eric Sasono, film Nada dan Dakwah melampaui film bertema Islam dan sosial di Indonesia pada umumnya. Menurutnya, film ini sangat progresif dan menghadirkan semangat perlawanan kolektivitas dengan semangat Islam yang tidak banyak ditemui pada masa rezim otoriter Orde Baru.

Ulasan berikut disampaikan oleh Eric Sasono pada hari Sabtu (21/11) dalam sesi diskusi Madani Film Festival 2020 bertajuk The Ideological Framing of Da’waa Movies in The New Order Indonesia.

Rilis di tahun 1991, film Nada dan Dakwah hadir bertepatan saat rezim Orde Baru mulai mendekat ke kelompok Islam. Fase ini ditandai dengan Presiden Soeharto menunaikan ibadah haji dan menyandang nama Haji Muhammad Soeharto. Tahun tersebut juga krusial bagi umat islam yang mulai menyeruak menuju kelas menengah, ditandai dengan terbentuknya ICMI sebagai wadah bagi Muslim terdidik dari kalangan birokrat dan teknokrat.

Film Nada dan Dakwah sendiri bercerita seputar konflik kapitalisme dalam konteks konflik agraria dan kebobrokan moral yang dibawanya. Bustomi, seorang konglomerat, berencana membangun sebuah pabrik di desa Pandanwangi. Disokong dana besar investasi dari Korea Selatan, Bustomi berusaha membebaskan lahan warga desa dengan cara-cara licik: membangun rumah judi dan minuman keras, serta menggalang para preman sebagai alat kekerasan dan intimidasi.

Bustomi, tokoh antagonis yang di film tersebut disebut sebagai Komprador, menarik perhatian Eric Sasono. Istilah Komprador sendiri kerap dimunculkan oleh pemikir Marxis Paul Sweezy. Investasi pabrik dalam film tersebut yang diceritakan dari Korea Selatan juga membawa lanskap baru seputar geopolitik Asia yang sedang bangkit di bidang ekonomi di tahun 80an.

Warga desa yang menolak pembangunan pabrik tersebut berinisiatif mengundang Haji Murad, yang diperankan Dedy Mizwar, untuk memanggil bantuan dari luar. Melalui koneksi yang dimilikinya, Haji Murad mengundang kehadiran KH. Zainudin MZ dan Rhoma Irama untuk ikut memecahkan masalah tersebut.

Dalam ulasan Eric Sasono, struktur konflik film yang disutradarai oleh Chairul Umam dan Asrul Sani ini terdistribusi pada tiga konflik: konglomerat yang membuka rumah judi dan minuman keras, ditambah dengan intimidasi dan kekerasan oleh kelompok preman. Keduanya terkalkulasi secara ekonomis menjadi upaya pemiskinan sistematis terhadap warga desa.

Konflik berupa pemiskinan ini terdapat pula pada cerpen karya Mochtar Lubis berjudul Kuli Kontrak. Di mana terjadi upaya pemiskinan lewat perjudian dan minuman keras dalam konflik agraria di kalangan petani perkebunan.

Menurut Eric Sasono, film ini menjadi menarik karena tokoh protagonis di film ini yang sudah sangat ikonik, justru tidak dimistifikasi. Film ini tidak menampilkan heroisme ala Rhoma Irama sebagai satria bergitar, maupun Zainuddin MZ yang saat itu masyhur sebagai dai sejuta umat.

Alih-alih heroisme personal, di sini Rhoma Irama dan Zainuddin MZ menjadi bagian dari sebuah gerakan bawah tanah dalam penyadaran masyarakat. Zainuddin MZ menggelar kajian-kajian lingkup kecil yang dilaksanakan secara bergiliran untuk penyadaran masyarakat. Sementara Rhoma Irama, dan Soneta tentunya, menghadapi intimidasi dan aksi kekerasan oleh preman.

Eric Sasono juga menekankan peran Ida Iasha yang mengambil posisi membantu gerakan pendidikan kepada para perempuan di desa untuk membina ekonomi dan meningkatkan penghasilan rumah tangga sehingga bertahan dan melawan upaya pemiskinan. Posisi ini menarik, di mana posisi tradisional yang menempatkan perempuan di belakang dan tidak maju berhadapan dengan laki-laki secara publik bisa diterima, namun secara bersamaan memunculkan nilai ekonomi yang diperhitungkan yang selama ini invisible. Film Nada dan Dakwah secara sadar menempatkan posisi domestik perempuan sesungguhnya memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

Dalam analisa Eric Sasono, film ini bersifat impersonal. Tokoh-tokoh di dalamnya tidak menampilkan sosok protagonis tunggal. Masalah pemiskinan, kapitalisme dan agrarian dalam film ini merupakan problem struktural, yang dipecahkan secara kolektif. Kolektivitas dalam film ini sedikit bertentangan dengan bangunan cerita naratif film-film pada masa Orde Baru.

Pada masa rezim Orde Baru, kebanyakan film memilih menampakkan sisi kepahlawanan individual karena negara telah menghancurkan perlawanan kolektivisme. Sehingga jalan terbaik yang kerap ditampilkan pada film-film masa Orde Bru adalah perlawanan individu dengan menolak tunduk pada sistem. Akan tetapi film Nada dan Dakwah membuktikan masih tetap bisa menampilkan sisi kolektivisme dengan semangat Islam. Bagi Eric, film ini sangat progresif di tengah rezim otoriter Orde Baru.

 

Artikel ini adalah hasil catatan ulasan film Nada dan Dakwah yang diuraikan Eric Sasono dalam sesi diskusi Madani Film Festival 2020 bertajuk The Ideological Framing of Da’waa Movies in The New Order Indonesia. Untuk menyimak sesi diskusi secara penuh, bisa mengakses via channel Youtube Dewan Kesenian Jakarta.