Rhoma Irama: Sang Mujadid Musik Dangdut

Rhoma Irama: Sang Mujadid Musik Dangdut

Rhoma Irama adalah fenomena yang sangat menarik ditelusuri. Ia tak sekadar pimpinan sebuah perkumpulan musik sekaliber Soneta, tetapi telah memunculkan cita rasa yang khas dan unik hingga paling banyak diterima siapa saja.

Rhoma Irama: Sang Mujadid Musik Dangdut
Moh. Shofan

Dalam dunia kesenian, musik menduduki bagian yang paling penting. Musik adalah olah rasa, curahan jiwa. Musik mampu memberikan nuansa tersendiri dalam sebuah kehidupan. Musik bukan hanya struktur bunyi-bunyian yang mengeluarkan melodi indah dan nyanyian bersuara merdu, tetapi lebih dari itu, musik merupakan bentuk yang luas bebas dari ruang dan waktu—apapun jenis musiknya, tak terkecuali di sini musik dangdut. Salah seorang pelopornya adalah Rhoma Irama.

Hingga di usianya kini, 76 tahun, Rhoma Irama dan Soneta Group tetap eksis. Musiknya tak pernah mati. Lagu-lagu ciptaannya yang hampir mendekati angka seribu akrab di telinga anak-anak negeri. Bahkan, baru-baru ini Soneta Group menjadi penampilan kejutan pada konser Deep Purple—yang telah menginspirasi perkembangan music Soneta—yang diadakan di Edutorium UMS, Solo. Belakangan, Rhoma juga merambah jagad digital. Channel Youtube-nya kini telah memiliki 1,75 juta subscriber. Rubrik podcast-nya diberi nama Bisikan Rhoma, akronim dari “Bincang Asik Barengan Rhoma Irama”. Rubrik ini bukan hanya membahas musik dan film, tetapi memasuki dunia yang lebih luas, yakni isu-isu politik, sosial, dan agama.

Rhoma adalah fenomena yang sangat menarik ditelusuri. Ia tak sekadar pimpinan sebuah perkumpulan musik sekaliber Soneta, tetapi telah memunculkan cita rasa yang khas dan unik hingga paling banyak diterima siapa saja. Di kalangan umat, Rhoma bahkan tampil sebagai dai yang brilian meski kadang kontroversial. Saat orang belum begitu peduli terhadapnya, pakar sosiologi politik Amerika, Prof. William H. Frederick (1982), pernah melakukan studi khusus tentang Rhoma. Melalui karya berjudul Oma Irama and the Dangdut Style; Aspect of Contemporary Indonesia Popular Culture, Frederick menyimpulkan, “Hampir bisa dipastikan, di Indonesia, Rhoma Irama penghibur paling jempol. Sejak rapat-rapat raksasa di masa Demokrasi Terpimpin, acara panggung yang paling banyak dibanjiri massa adalah panggung Rhoma,” kata Frederick.

Di kemudian hari, banyak sekali kajian akademis tentang dangdut, bukan hanya dari disiplin sejarah sebagaimana dilakukan oleh Frederick, tetapi juga dari sudut pandang musik (Hatch 1985; Yampolsky 1991; Wallach 2008); antropologi (Simatupang 1996; David 2009), kajian Asia (Pioquinto 1995 dan 1998; Sen dan Hill 2000) dan belakangan dari sudut Budaya (Weintraub 2012).

Revolusi Musik: Dari Orkes Melayu ke Dangdut

Pada tahun 1970 dangdut mengalami kebangkitan yang menandai era baru jenis musik ini. Rhoma melakukan berbagai terobosan yang jadi bagian dari eksperimentasi musiknya.  Eksperimentasi musiknya melesat cepat bagai anak panah. Begadang, Penasaran, Darah Muda dan banyak lagi lainnya mulai mengepung kuping khalayak negeri ini. Pada masa inilah, sebuah revolusi musik melayu dimulai.

Rhoma tengah menggodok sebuah “kelahiran baru” bagi jenis musik Melayu yang dikenal dengan dangdut ini. Ia memasukkan idiom-idiom musik pop-Barat ke dalam musik “Orkes Melayu”. Lewat tangan Rhoma lah gitar elektrik digunakan secara lebih efektif dalam Orkes Melayu. Pengaruh rock (terutama pada permainan gitar) sangat kental terasa pada musik dangdut terbaru. Sebuah cross-over yang memperkaya anasir musik dangdut sendiri.

 

Moh. Shofan dan Rhoma Irama
              (Moh. Shofan dan Rhoma Irama)

 

Rhoma dan Soneta hadir saat demam rock melanda dunia. Rolling Stones, Led Zeppelin, dan Deep Purple menjadi idola. Wabah rock ini membuat genre musik lain nyaris mati. Maka, tahun 70an boleh dikatakan menjadi ajang “pertempuran” bagi musik dangdut dan musik rock dalam merebut pasar musik Indonesia. Rhoma merasakan bagaimana cibiran penikmat musik rock kepada orkes Melayu. Inilah yang memacunya mengembangkan orkes Melayu menjadi dangdut.

Rhoma pun bersiasat, agar orkes melayu bisa bertahan, Ia pun memasukkan napas hard rock ke dalam komposisi lagu Melayu. Irama Melayu yang mendayu digantinya dengan ketukan hard rock yang cepat, efek vokal ala Deep Purple. Irama tabla India dengan ciri khas gendang dan suling juga mewarnai musik Melayu ini. Lirik lagu Melayu yang pesimistis pun, ia ubah menjadi dinamis. Agar “adonan” musik ini sempurna hasilnya, jumlah alat musik dimodifikasi. Peralatan orkes standar tidak cukup. Rhoma pun nekat menambahkan dua gitar elektrik, bas elektrik, drum, keyboard, dan organ.

Rhoma melakukan perubahan besar-besaran pada semua aspek dengan melakukan elektronisasi, mulai dari instrumen hingga akustik bas, arkodean, dan gitar. Unsur gitar dan drum yang menjadi ciri musik rock, begitu kental mewarnai musik dangdut ini. Elektronisasi dilakukan Rhoma dengan cara memasukkan unsur lead guitar, performance, koreografi, dengan tidak menghilangkan sama sekali sense of dangdut-nya.   

Rhoma benar-benar fenomenal. Ia melakukan pengayaan musikal dengan memasukkan unsur-unsur rock, bahkan heavy metal. Rhoma merevolusi musik dengan sadar agar dapat berkompetisi dengan musik-musik lain. Memadukan musik rock dan irama melayu, dengan satu pandangan bahwa musik adalah universal. Rhoma juga mengadopsi geletar rock dari kelompok hard rock Inggris, mulai dari Deep Purple hingga Uriah Heep. Rhoma giat melakukan eksplorasi dalam membentuk warna musiknya. Inilah yang oleh Rhoma disebut sebagai unsur dinamik dalam dangdut.

Dangdut sebagai Media Dakwah dan Kritik Sosial

Tahun 1973 adalah tahun terpenting dalam karier musik Rhoma. Rhoma memutuskan Soneta harus membawa misi Islam. Dakwah, itulah tekad Rhoma dalam memanfaatkan kelebihan dalam dirinya. Pada tanggal 13 Oktober 1973 Rhoma mendeklarasikan Soneta dan berkomitmen membawa nilai-nilai Islam di jalan musik ini. Rhoma mencanangkan semboyan “Voice of Moslem” (Suara Muslim) sebagai sarana dakwah. Citra Soneta terus dibangun, hingga pamor Soneta kian terang.

Rhoma memasukkan unsur agama dalam musiknya dengan tujuan melakukan dakwah, amar ma’ruf nahi munkar ketika mengamati perilaku subkultur kelas bawah dan kelas menengah yang haus seks, minum-minuman keras dan berbagai perilaku amoral lainnya. Dengan dan melalui musik, Rhoma tak canggung menjadikan Soneta sebagai senjata untuk melakukan kritik sosial, nasehat yang sarat dengan seruan moral agama. Keberanian serta ijtihad Rhoma yang sering berujung adanya tuduhan “mengkomersialkan agama” tak menyurutkan langkahnya.

Dari segi syair, Rhoma bagaikan trubatur yang bertutur lewat dendang lagu tentang apa saja. Misalnya keprihatinan Rhoma terhadap nilai keimanan muslim di abad modern. Rhoma tampaknya sadar, bahwa era modernitas dengan segala pengaruhnya lambat laun menggeser peran agama sebagai sumber moral dan digantikan dengan nilai-nilai baru seperti komputer, media cetak, televisi, yang berpotensi besar memalingkan manusia dari Tuhannya, Sang Pencipta. Keprihatinan Rhoma dapat ditemui dalam syair lagunya, Qur’an dan Koran:

Sejalan dengan roda pembangunan

Manusia makin penuh kesibukan

Sehingga yang wajib pun terabaikan

Sujud lima waktu menyembah Tuhan

Karena dimabuk oleh kemajuan

Sampai komputer dijadikan Tuhan

Petuah moral Rhoma melalui lagu-lagunya terus bermunculan. Dalam lagu Modern, misalnya, menggambarkan bahwa menjadi modern memang membawa impian dan janji-janji. Simbol-simbol kemodernan yang serba gemerlap setiap saat menjejal bawah sadar masyarakat. Mereka merayakan kemodernan dengan kehidupan yang serba bebas, serba boleh, kumpul kebo, seks bebas, aborsi. Berikut petuah Rhoma melalui lagu Modern:

Modernisasi yang kini melanda dunia

Menjadi masalah

Ternyata masih banyak yang salah menafsirkannya

Di dalam berkiprah

Modern dicerna sebagai kebebasan

Bebas lepas tanpa adanya batasan

Nalurinya sebagai seorang musisi membuatnya peka terhadap fenomena ketidakadilan. Melalui lagu “Indonesia”, Rhoma melakukan perlawanan dan berharap mampu menembus dinding tebal telinga para koruptor yang seolah tak mampu mendengar jeritan derita rakyat jelata.

Negara bukan milik golongan

Dan juga bukan milik perorangan

Dari itu jangan seenaknya

Memperkaya diri membabi buta

Seluruh harta kekayaan Negara

Hanyalah untuk kemakmuran rakyatnya

Namun hatiku selalu bertanya-tanya

Mengapa kehidupan tidak merata

Yang kaya makin kaya

Yang miskin makin miskin

Begitulah. Musik dangdut dan figur sentralnya Rhoma Irama secara detail menerobos jauh ke berbagai kontroversi yang mencuat ke permukaan. Musik dangdut di tangan Rhoma menjelma sebagai oposisi menyuarakan kegelisahan masyarakat bawah membuat pemerintah (saat itu) kebakaran jenggot. Hal ini telah memperkuat citra Rhoma di mata publik.

Rhoma bagi sebagian besar masyarakat bawah adalah sosok musisi hebat dan karenanya masyarakat menjadikannya sebagai medium dakwah dan saluran kritik sosial. Lewat alunan lirik-liriknya, “musik rock Islam pertama di dunia” ini selain bisa menarik orang untuk bergoyang, juga mendidik sensibilitas kerakyatan elite, dan sekaligus menghibur rakyat. Di bawah payung modernitas, “kehilangan rumah secara metafisik” bukan berarti membuat Rhoma lalu berputus asa. Rhoma terus menyerukan amar ma’ruf nahi munkar melalui syair-syair lagunya.

Tidaklah heran jika M.C. Ricklefs (2012) dalam bukunya, “Islamisation and Its Opponents in Java”, menulis bahwa musik Rhoma telah memimpin pengembangan islamisasi dangdut di Indonesia, khususnya dari tahun 70an dan seterusnya. Melalui lirik lagu-lagunya yang sarat dengan petuah moral, Ricklefs menyebut Rhoma telah membuat kesalehan islami dengan cara yang trendy.

Krishna Sen and David T. Hill (2007) menggambarkan kontribusi Rhoma dalam dunia musik sebagai berikut: “He transformed the older-style orkes Melayu (Malay Orchestra) and combined it with the rhythmic style of Indian film song, popular with urban working-class audiences, into up-tempo dangdut, acceptable across society and patronized by cabinet ministers.”

Kini, lebih dari 40 tahun ia setia di jalur musik dangdut. Tak pernah ada “kudeta” dangdut yang menerjang Rhoma sebagai Raja-nya. Tak pernah pula saingan yang serius mengancam untuk merebut posisinya. Ia seperti hendak membuktikan bahwa seorang raja bisa bertahan seumur hidup. Fenomena Rhoma adalah suatu yang sangat menarik ditelusuri. Ia tak sekadar pimpinan sebuah perkumpulan musik sekaliber Soneta, tetapi telah memunculkan cita rasa yang khas dan unik hingga paling banyak diterima siapa saja. Di kalangan umat, Rhoma bahkan tampil sebagai dai meski kadang kontroversial.

Dakwah Rhoma lewat musik laiknya yang dilakukan Walisongo. Rhoma, mengingatkan kita pada Sunan Kalijaga yang menggunakan dakwah Islam dengan menggunakan media pewayangan dengan tujuan amar ma’ruf nahi munkar. Rhoma memang bukan Sunan Kalijaga. Tetapi apa yang menjadi ijtihad Rhoma, yakni menjadikan musik sebagai sarana dakwah, juga terbukti efektif.

Rhoma menciptakan tembang yang sarat kritikan sosial dan berusaha membuka ruang kesadaran masyarakat terhadap penyakit Molimo, yakni berjudi, berzina, mencuri, madat, dan minum-minuman keras. Kebanyakan orang memang sulit diingatkan langsung lewat lisan. Karena hal itu bisa dianggap melarang atau menggurui orang bersangkutan.

Berangkat dari kondisi itu, lalu Rhoma melakukan dakwah melalui seni musik yang digelutinya. Berbagai lagu Rhoma, memang sarat dengan seruan moral. Meski banyak juga lagu-lagu yang diciptakannya yang tidak mengusung label Islam, namun kebanyakan bernilai dakwah. Dan kita pun mafhum jika menyimak barisan larik-larik lantang yang dilantunkannya, Rhoma memang telah berdakwah lewat musik. Tak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa Rhoma adalah Sang Mujadid (pembaharu) di bidang musik dangdut. []