Setiap terjadi peperangan, istri-istri Nabi mendapat kesempatan untuk ikut di medan perang secara bergantian. Para istri nabi itu bergabung dengan para perempuan lain yang menjadi relawan sebagai seorang perawat.
Tugas mengobati para kaum muslim yang terluka akibat perang, sepenuhnya berada di tangan kaum perempuan. Mereka saling membantu, bekerjasama dalam mengobati dan juga menyemangati para tentara Islam yang jatuh sakit maupun yang terluka. Di antara para perempuan itu adalah:
- Ummu Sinan al-Aslamiyah
Ummu Sinan al-Aslamiyah merupakan penduduk dari desa, ketika Nabi hijrah Ke Madinah Ummu Sinan mendatangi Nabi, membaiat dan memeluk agama Islam. Ibu dari Tsubaitah binti Handzalah ini juga terkenal sebagai periwayat hadis.
Ketika Ummu Sinan melihat rombongan perang Rasulullah menuju Khaibar, Ummu Sinan menghampiri Nabi dan meminta izin untuk bergabung dengan perempuan lain yang membantu memberi minum dan merawat pasukan yang terluka.
“Wahai Rasul, Aku ingin ikut bersamamu menuju Khaibar, aku akan memberi minum, membantu merawat kaum muslim yang sakit dan membantu mengobati pasukan yang terluka”.
Rasulullah menjawab “ikutlah,,,semoga Allah memberkatimu. Teman-temanmu juga ada yang meminta izin padaku, ada yang dari kaummu dan ada juga beberapa perempuan lainnya. Apakah engkau akan berangkat dan bergabung dengan mereka ? atau bergabung bersamaku ?” “bersamamu wahai Rasul…” jawab Ummu Sinan. “Baiklah, kalau begitu bergabunglah dengan istriku, Ummu Salamah”.
- Ummu Ziyad al-Asyja’iyah
Sahabat Perempuan yang satu ini terkenal karena keberaniannya, mendidekasikan dirinya untuk membantu kaum muslim dalam peperangan. Dalam riwayat Abu Daud dikisahkan, Ummu Ziyad bersama enam perempuan lainnya pergi menuju Khaibar tanpa sepengetahuan Nabi.
Ketika Nabi mengetahui hal itu, Nabi seakan menampakkan wajah marah, lalu Nabi bersabda “Siapa yang memberi izin kalian untuk ikut dalam perang ini ?” Mereka menjawab “kami ke sini dengan membawa peralatan dan obat-obatan untuk pasukan yang terluka, membawa busur, dan persediaan makanan. Kami juga mempersiapkan syi’ir gazali dan kami berniat membantu di jalan Allah”.
Mendengar hal itu maka nabi mengizinkannya.
Ketika Umat Islam berhasil menaklukkan Khaibar, perempuan-perempuan itu juga mendapat bagian kurma sebagaimana kaum laki-laki yang berperang.
- Umayah binti Qais al-Gifariyah
Umayah binti Qais adalah seorang remaja dari kabilah Abi Dzar al-Ghifary. Umurnya baru saja 14 tahun, namun ia tertarik dalam bidang keperawatan. Umayah berniat untuk bergabung dengan para perempuan dewasa yang menjadi relawan perang Khaibar, saat itu Umayah dibonceng oleh Nabi. Umayah mengalami masa menstruasi untuk pertama kalinya saat menuju Khaibar bersama Nabi.
Nabi memberi anak yang masih belia itu sebuah kalung, kalung tersebut menjadi kebanggaan tersendiri bagi Umayah, ia tidak mau melepas kalung pemberian Rasulullah SAW sampai ia wafat. Ketika masih muda Umayah aktif membantu menjadi perawat, ketika sudah dewasa Umayah juga aktif meriwayatkan hadis dari Nabi SAW.
- Ummu Dlahhāk binti Mas’ud
Nama lengkapnya adalah Ummu Dlahhāk binti Mas’ūd al-Anshāriyah al-Hāritsiyah. Ia merupakan salah seorang yang ikut membaiat Nabi. Ummu Dlahhak menceritakan bahwa ia ikut perang Khaibar bersama Nabi dan mendapat bagian sebagaimana para perempuan lainnya.
Ummu Dlahhak merupakan saudara dari Huwaishah. Menurut Ibnu Hajar ada dua orang perempuan yang mendapat bagian saat itu, yaitu Ummu Dlahhak saudara Huwaishah dan juga saudara Hudzaifah bin Yaman.
- Laila al-Gifariyah
Laila al-Gifariyah juga merupakan salah seorang sahabat yang turut andil sebagai perawat dalam menangani para pasukan yang terluka akibat perang.
- Ummu Kabsyah al-Qudla’iyah
Sahabat perempuan yang satu ini juga memiliki keinginan dan semangat yang tinggi agar bisa menjadi seorang perawat dan membantu kaum muslimin yang terluka. Akan tetapi Ummu Kabsyah tidak memiliki kesempatan untuk itu.
Suatu hari Ummu Kabsyah meminta izin kepada untuk mengikuti sebuah peperangan. Ia menyampaikan maksudnya untuk membantu mengobati para tantara yang terluka dan merawat kaum muslim yang sakit dalam peperangan. Akan tetapi Rasulullah SAW tidak mengizinkannya, sebab dalam peperangan tersebut tidak ada kaum perempuan yang ikut dalam peperangan. Rasulullah SAW menghawatirkan kenyamanan Ummu Kabsyah bila bergabung dengan para kaum laki-laki tanpa adanya perempuan satupun.
Demikianlah para sahabat perempuan pada saat itu, di samping semangat mereka sangat tinggi untuk membantu memperjuangkan Islam, mereka juga menekuni profesi keperawatan. Bahkan dokter perempuan pertama dalam sejarah adalah seorang perempuan dari Islam, yaitu Rufaidah binti Sa’ad al-Aslamiyah. (wallahu’alam)
Artikel ini kerjasama Islamidotco dan RumahKitab
Baca juga artikel lain tentang muslimah bekerja.