Pada umumnya, ulama jaman dulu mahir berbagai jenis khat atau kaligrafi. Penguasaan mereka pada jenis Naskhi misalnya, begitu sempurna. Mengapa?
Sebab, tiap hari kiai, ulama, ibu nyai, guru-guru, menulis gaya tersebut di papan tulis warna hitam dengan kapur putih sebagai alat tulisnya.
Jenis Naskhi pula yang jamak didunakan mereka untuk menuangkan pemikirannya di atas kertas. Di samping tentu saja, karena tiap hari memeriksa buku para santri atau muridnya yang pasti menggunakan Naskhi.
Dinamakan jenis Naskhi karena memang berarti ‘menyalin’. Asal katanya nuskhah. Bahasa Indonesia telah menyerap kata tersebut menjadi ‘naskah’, yang salah satu artinya adalah karangan yang masih ditulis dengan tangan.
Naskhi merupakan jenis khat yang paling populer karena mudah dibaca. Oleh karena itu, ia lumrah dipakai untuk menulis Alquran, kitab-kitab, atau naskah-naskah resmi.
Adalah Ibnu Muqlah yang sering disebut-sebut peletak dasar Naskhi. Ibnu Muqlah hidup pada abad keempat Hijriah atau kesembilan Masehi.
Selain Naskhi, khat yang sering digunakan para kiai, ulama, dan santri adalah jenis Riq’ah. Seperti yang ditulis Lemka dalam situsnya, Riq’ah diciptakan masyarakat Turki Usmani.
“Muhammad Tahir Kurdi menyebutkan, bahwa penggagas dan peletak dasar-dasar kaidah khat Riq’ah adalah Mumtaz Bek, seorang konsultan di zaman Sultan Abdul Majid Khan sekitar tahun 1280 M,” tulis Lemka.net.
Jenis khat ini ramping, hemat titik, tidak bergerigi pada huruf ‘Sin’, dan cukup efisein dalam menggunakan ruang. Jika ingin cepat selesai, menulislah dengan gaya Riq’ah. Makanya, jenis ini cocok untuk memberi keterangan di buku atau kitab bagian pinggir yang sangat sempit.
Riq’ah juga banyak dipilih untuk menulis surat. Almarhum bapak saya sering menggunakan khat ini untuk menulis di Wesel Pos yang dikirim ke anak-anaknya yang sedang mesantren.
Sekarang Wesel Pos tentu saja jauh berkurang, untuk menyatakan tidak digunakan sama sekali. Para santri mengambil uang di ATM, yang tentu saja, tidak akan ditemukan sepotong kertas buram berisi kabar dari kampung halaman, yang berisi huruf-huruf melengkung tipis, khas Riq’ah.
Bagaimana nasib khat-khat di jaman digital ini?
Sudah pasti kemampuan para santri, terutama yang sudah terpapar kemajuan teknologi, jauh berkurang dibanding santri dulu.
Saya saja tidak mampu membaca Riq’ah, tapi karena memang tidak pernah belajar atau diajari. Tiap pesantren pasti ada kelompok-kelompok belajar dan mengembangkan minat kaligrafinya, tapi itu tidak diwajibkan. Kaligrafi di pesantren umumnya cair saja, bukan hal yang pokok.
Terkait tradisi menulis khat, Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri adalah contoh terbaik saat ini. Bahkan, sesepuh Nahdlatul Ulama ini mengembangkan kemahirannya di bidang seni kaligrafi di atas kanvas dan medium-medium lainnya, tidak hanya berhenti untuk keperluan pelajaran di pesantren. Dia telah merambah sebagai pelukis profesional, karyanya diminati masyarakat dan dipamerkan dalam ajang seni rupa nasional.
“Saya memang belajar khat dengan serius sejak menjadi santri. Kalau nulis puisi itu hanya main-main, niru-niru,” kata Gus Mus pada saya, suatu hari. Gus Mus memang tercatat juga sebagai penyair. Puisi-puisi menginspirasi para santri untuk ikutan menjadi penyair. Sejumlah penghargaan sastra juga dia dapatkan.
Pameran tunggal Gus Mus digelar di Semarang, saat dirinya ulang tahun ke-70, sepetember 2014 lalu.
Salah satu karya yang menjadi perhatian di sana lukisan yang menggunakan nikotin rokok dan tinta yang dituangkan di atas amplop, lukisan di atas kanvas. Selain unik, secara tersirat Gus Mus seperti ingin mengabadikan bahwa dirinya pernah menjadi perokok berat.
Pameran yang heboh yang diikuti Gus Mus tentu saja di Masjid Al-Akbar Surabaya, Maret tahun 2003. Dari sisi ukuran karya itu hanya 60×70, tapi bikin heboh karena menggambarkan para kiai yang mengeliling pedangdut Inul Daratista yang sedang goyang ngebor, yang ramai dibicarakan saat itu.
“Berdzikir Bersama Inul,” demikian judul lukisan Gus Mus.
Pameran tersebut diselenggrakan oleh Takmir Masjid Al-Akbar Surabaya dan Harian Duta Masyarakat. Selain Gus Mus, turut dipamerkan pula karya Joko Pekik, almarhum Amang Rahman, Acep Zamzam Noor, Danarto, D. Zawawi Imron, dll.
“Saya bukan mengkritik Inul, tapi saya mengkritik orang beragama. Jadi saya gambarkan Inul di tengah, kiai dan ulama-ulama di sekeliling, dan judulnya ‘Berdzikir bersama Inul’. Berdzikir itu bukan pekerjaan daging saja, tetapi dengan roh,” kata Gus Mus, seperti dikutip Gusdurfiles.com.
Lukisan itu pula yang berkesan pada seorang kaligrafer Robert Nasrullah.
“Saya selalu terkesan dengan lukisan Inul itu. Imajinasinya menerabas tembok-tembok keulamaan. Kritiknya tajam,” ujar Robert.
Gus Mus bisa terkenal kaligrafinya, kata Robert, karena belajar teknik melukis secara umum, tidak hanya kaligrafi. Lebih dari itu, beliau seorang alim yang amat peduli dan perhatian terhadap umat. Sehingga peka dengan dinamika sosial yang terkait, utamanya dengan masalah umat.
“Misal hanya Gus Mus, kaligrafer yang berkunjung ke gunung Kendeng Rembang, kawasan yang hendak dirusak sebagai sumber air. Sebab itulah, karena itu tema karya Gus Mus selalu aktual, faktual dan kaya makna,” terangnya. Robert mengaku pernah mengikuti pameran yang di dalamnya ada karya Gus Mus sekitar delapan kali. Terakhir pameran di Art Space, Jogjakarta, akhir tahun 2016.
Cerpen Lukisan Kaligrafi
Selain di atas kanvas, pengasuh Pesantren Roudlatut Thalibin, mencurahkan ekspresi seni kaligrafinya dalam cerita pendek berjudul Lukisan Kaligrafi yang dimuat Kompas beberapa tahun silam.
Cerpen ini semacam memoar dirinya dalam meniti ‘karir’ di bidang seni rupa. Agak samar membaca cerpen itu; ini faktual atau khayalan belaka?
Cerpen tersebut mengisahkan sosok Ustadz Bachri yang didatangi seorang pelukis bernama Hardi (pelukis R. Soehardi?). Hardi datang ke rumah Gus Mus, eh, Ustadz Bachri untuk silaturahim dan membagi seabrek pengetahuan tentang seni rupa. Isme-isme dalam seni rupa khatam disampaikan Hardi.
Bachri hanya terkagum-kagum mendengarkan Hardi. Di saat Hardi pamitan, tidak sengaja melihat kertas bertuliskan Arab yang ditempel di atas pintu.
Hardi balik mengagumi Bachri. Hardi langsung mengajak pameran Gus Mus, eh lupa lagi, Bachri. “Tiga bulan lagi, kawan-kawan pelukis kaligrafi kebetulan akan pameran; Nanti sampeyan ikut. Ya, ya!”
“Ustadz Bachri tidak bisa berkata-kata, tapi rasa tertantang muncul dalam dirinya. Kenapa tidak, pikirnya. Orang yang tak tahu khath saja berani memamerkan kaligrafinya, mengapa dia tidak? Namun, ketika didesak tamunya, dia hanya mengangguk asal mengangguk,” tulis Gus Mus dalam cerpennya.
Di dalam cerpen tersebut, Gus Mus memang menyempatkan diri menyentil para pelukis kaligrafi yang tidak memahami dasar-dasar atau kaidah-kaidah khat.
Dalam kisahnya, Gus Mus menggambarkan Hardi sebagai pelukis kaligrafi yang tidak tahu bedanya Naskhi dan Tsuluts, Diwany dan Faarisy, atau Riq’ah dan Kufi. Apalagi falsafahnya. Bahkan Hardi mengaku kaligrafinya asal comot dari ayat Alquran. Dia tertarik untuk melukiskannya di atas kanvas setelah membaca Alquran terjemahan Departemen Agama.
Singkat cerita, Bachri mengirimkan karyanya untuk dipamerkan, setelah susah payah melukis di atas kanvas, juga setelah disepelekan oleh istri dan anak-anaknya.
Tapi lukisan Bachri mendapat sorotoan dari publik. Bahkan seorang kolektor dari Jakarta membelinya sepuluh ribu Dollar AS, harga fantastis buat pelukis pendatang baru. Hardi mengucapkan selamat. Keesokan harinya, berita foto Bachir dan lukisannya muncul di Koran nasional dan derah.
Bachir kebingungan, tiba-tiba dirinya diulas, diajak ngobrol kolektor, dipotret wartawan. Dia juga bingung dengan judul lukisan yang gagah pemberian Hardi: Alifku Tegak di Mana-mana.
Dia kebingunan bukan kepalang. Sebab dia tahu, lukisannya bukan saja biasa karena hanya menggunakan khat Tsuluts Jaliy, tapi juga semua karena kebetulan. Bahkan lukisan bisa dibilang belum jadi.
Gus Mus menceritakan dalam cerpennya bahwa Ustdaz Bachri sebetulnya ingin melukiskan Allah.
“Namun, ketika saya pandang-pandang letak tulisan alif saya itu persis di tengah-tengah kanvas. Kalau saya lanjutkan menulis Allah, menurut selera saya waktu itu, akan jadi wagu, tidak pas. Maka, ya sudah, tak usah saya lanjutkan. Cukup alif itu saja,” tulis Gus Mus.
Unsur drama dalam cerpen yang juga dijadikan judul buku kumpulan cerita Gus Mus itu belum berhenti.
Gus Mus membuat heboh dengan misteri: lukisan yang dipotret dan dimuat di Koran-koran hanya tampak bingkai dan Ustadz Bachirnya yang berdiri di samping lukisannya saja.
Kaligrafi alif yang dipuji-puji para pengunjung hilang, tidak ada garis-garis di atas kanvas. Kisah ini mirip ulama-ulama kharismatik yang wajahnya tidak bisa dipotret, yang sering beredar dari mulut ke mulut.
Wartawan ramai datang ke rumah Ustadz Bachir menanyakan ihwal lukisan yang tidak bisa dipotret. Keluarganya pun, istri dan anak-anaknya pun ikut heboh bertanya. Tapi, Ustadz Bachir menjelaskan dengan ilmiah perihal kejadian itu.
“Saya tadi kan sudah bilang, alif itu saya lukis hanya dengan dua warna yang tersisa. Sedikit putih untuk latar dan sedikit silver untuk huruf alifnya. Mungkin, ya karena silver di atas putih itu yang membuatnya tak tampak ketika difoto,” tulis Gus Mus mengakhiri ceritanya.
Ikuti tulisan eksklusif tentang Kaligrafi di islami.co lainnya di tautan ini:
Masjid di Bandung dan aliran Kaligrafi (Bagian-1)
Mesjid di Bandung dan Aliran Kaligrafi (Bagian-2)
Mesjid di Bandung dan Aliran Kaligrafi (3-Habis)
Kaligrafi, Pesantren hingga Getar Spiritual