Tepat pukul 24.00 nanti akan datangnya bulan Rajab. Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang memberitahukan kepada yang lain, maka haram api neraka baginya.”
Begitulah pesan yang sering tersebar di jejaring sosial semisal WhatsApp dan BBM. Di era yang serba modern ini segala informasi dapat diakses dengan sangat mudah, hingga terkadang kita tak mampu membedakan antara fakta dan hoax. Hal ini tak dapat dipungkiri mengingat keterbatasan paradigma dan wawasan serta sekat-sekat ideologi yang membatasi pribadi manusia. Dalam konteks agama, banyak sekali tawaran-tawaran menggiurkan yang membuat kita abai dengan logika. Sebagai contoh kecil adalah broadcast (pesan berantai) hadis yang telah disebutkan diatas. Secara tersurat, hadis tersebut menyampaikan amalan yang baik dengan daya tawar yang wah, diharamkan api neraka bagi si penyebar pesan.
Hadis broadcast tanpa sanad
Setelah memahami urgensi sanad dan matan dalam tradisi periwayatan hadis, tentu kita akan bertanya-tanya, apakah hadis broadcast memiliki sanad? Terlepas dari kualitas sanad yang kredibel, jangan-jangan hadis broadcast tersebut sama sekali tak memiliki sanad, atau bisa jadi malah bukan termasuk kategori hadis alias hadis yang mengada-ngada. Bukankah akan lebih berbahaya jika berdusta mengatasnamakan Rasulullah Saw. tanpa adanya sumber yang valid. Bukannya diharamkan api neraka bagi si penyebar pesan, melainkan ditempatkan di neraka bagi para pendusta yang mengatasnamakan Nabi Muhammad Saw.
Berikut ini beberapa contoh hadis broadcast yang sering tersebar di jejaring sosial:
- Tepat jam 00.00 WIB malam nanti akan datang 1 Dzulhijjah. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang memberitahukan berita 1 Dzulhijjah kepada yang lain, maka haram api neraka baginya.”
- Mulai malam ini (ba’da Maghrib) sudah masuk 1 Shafar. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang memberitahukan berita 1 Shafar kepada yang lain, maka haram api neraka baginya.”
- Tepat jam 24.00 WIB malam Jum’at nanti, akan datang 1 Rajab. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang memberitahukan berita 1 Rajab kepada yang lain, maka haram api neraka baginya.”
- Malam Nishfu Sya’ban insya’Allah jatuh pada hari Sabtu malam Minggu. Jadi sebelum terlambat saya khususnya meminta maaf kalau ada salah baik disengaja maupun tidak, karena Nabi Muhammad Saw bersabda, “Barangsiapa yang mengingatkan kedatangan bulan ini, maka haram api neraka baginya.”
- Puasa Rajab dimulai 9 April, puasa sehari seperti puasa setahun, puasa 7 hari ditutup pintu-pintu neraka jahannam, puasa 8 hari dibuka 8 pintu surga, puasa 10 hari dikabulkan segala permintaannya. Barangsiapa yang mengingatkan tentang ini seakan ibadah 80 tahun.
Adapun hadis broadcast nomor 1-4, penulis belum menemukan satupun dalil yang menjelaskan tentang pahala mengingatkan datangnya bulan hijriyah, baik Shafar, Rajab, Sya’ban, Dzulhijjah, dsb. Sehingga dapat dikatakan hadis tersebut tanpa sanad. Adapun hadis nomor 5, penulis menemukan riwayat Aban dari Anas bin Malik. Namun, tak ada redaksi yang mengandung makna “Barangsiapa yang mengingatkan tentang ini seakan ibadah 80 tahun.” Meskipun sanad hadis nomor 5 sering dipermasalahkan oleh sebagian ahli hadis terdahulu, namun penulis sengaja tidak memperpanjang perihal kritik sanad, melainkan pada kritik matan pada keterangan berikutnya.
Kritik matan hadis broadcast
Dalam konteks hadis broadcast diatas, unsur sebab munculnya hadis terkesan dipaksakan. Seolah-olah redaksi intinya “Barangsiapa yang mengingatkan berita datangnya …, haram api neraka baginya.” Di kolom titik-titik itulah tinggal ganti bulan hijriyyah, atau momen-momen tertentu seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, Nishfu Sya’ban, dsb. Disamping itu, banyak muhaddis yang mengkritisi fenomena matan hadis yang amalannya ringan namun pahalanya berlipat ganda. Dalam kasus hadis broadcast diatas, amalan yang dikerjakan sangat ringan, yaitu hanya sekedar mengingatkan saja. Adapun pahalanya sangat menggiurkan, diharamkan api neraka, atau dalam beberapa redaksi lain seakan-akan beribadah sekian tahun. Terkadang hadis broadcast tersebut dibumbui dengan anjuran setengah mengancam, “Sebarkanlah kabar gembira ini, nggak sampai 1 menit kok. Jika tidak disebarkan maka dalam waktu dekat kamu akan mendapatkan musibah.”
Dari fenomena hadis broadcast diatas, tentu efek yang ditimbulkan akan sangat besar. Apalagi kalau benar-benar dipahami secara logika, apa gunanya halal, haram, wajib, sunnah, mubah, dan makruh jika kita sudah kebal dari api neraka? Lalu jika itu berupa kabar gembira, mengapa harus diiringi dengan ancaman datangnya musibah jika tak ikut menyebarkannya? Dengan demikian, kualitas matan yang disampaikan tergolong bermasalah, bahkan terkesan mengada-ada. Apalagi sumber matan hadis tersebut disandarkan kepada Rasulullah Saw., bukan tidak mungkin masuk dalam kategori mengada-ada dengan mengatasnamakan Rasulullah Saw. yang secara mutawatir diancam dengan hukuman yang serius bagi pelakunya, ditempatkan di neraka.
Selain itu, informasi bahwa datangnya bulan hijriyah tepat pada pukul 00.00 adalah kesalahan fatal. Seperti yang kita ketahui, penanggalan hijriyah dimulai pada waktu maghrib, berbeda halnya dengan penanggalan masehi yang dimulai pada pukul 00.00. Bahkan tak jarang informasi datangnya bulan Dzulhijjah disampaikan pada pergantian bulan Rabi’ul Awal ke Rabi’ul Akhir. Sehingga terkadang penulis berpikir, dimanakah fungsi akal sehat manusia?
Bijak dalam berjejaring sosial
Sebagai bagian dari generasi milenial, umat Islam tak boleh kalah perihal teknologi, namun juga tak boleh latah dalam penggunaannya. Dalam kasus hadis broadcast, setidaknya santri menara mampu menjadi garda terdepan untuk mengingatkan kepada masyarakat luas bahwa hadis broadcast tak bisa dibenarkan sepenuhnya dan harus diteliti secara ilmiah. Disamping itu masih ada hadis-hadis tentang keutamaan suatu momentum dengan kualitas sanad dan matan yang bisa dipertanggungjawabkan. Apalagi bagi orang yang pernah mempelajari ilmu Falak yang menerangkan bahwa awal penanggalan hijriyyah dimulai dari terbenamnya matahari (maghrib), jangan sampai ikut-ikutan menyebar informasi bahwa awal kalender hijriyah dimulai pada pukul 00.00.
Tanpa iming-iming diharamkan api neraka, tentunya tak akan mengurangi kualitas ibadah kita. Dengan maraknya smartphone, mampukah kita menjadi smartperson?
Tulisan ini pernah dimuat dalam buku Santri Membaca Zaman; Percikan Pemikiran Kaum Pesantren