Hakim memegang peran yang krusial dalam suatu kasus sengketa. Utamanya kasus sengketa syariah, maka kompetensi hakim dalam menguasai fikih muamalah merupakan sebuah keharusan mutlak. Wa bi al-khushus, taraf kepatuhan hakim terhadap standar panduan muamalah yang berlaku dan disepakati oleh instrumen pemutus fatwa sengketa syariah dan berwenang menetapkan indeks kepatuhannya.
Selama ini, kasus sengketa muamalah konvensional, diselesaikan dan diputus lewat jalur Pengadilan Tata Niaga. Hukum yang condong dipergunakan adalah hukum positif negara yang mengatur masalah perniagaan. Taraf kepatuhan hakim sudah pasti diatur dan ditentukan berdasarkan aspek penguasaannya terhadap regulasi dan peraturan yang berlaku dalam niaga konvensional juga.
Namun, seiring bermunculannya produsen-produsen yang menjanjikan pola syariah, maka sudah pasti dibutuhkan pengadilan niaga yang berbasis syariah juga. Taraf kepatuhannya pun juga ditetapkan berdasarkan teks standart produk syariah yang berlaku di negara tersebut, dan tidak berdasar teks standart yang lain. Jika kasus sengketa syariah diputus berdasar hukum positif negara, maka sudah pasti akan salah tempat, karena standart orientasi keduanya ada perbedaan.
Perbedaannya terletak pada tingkat cerapan keadilan yang dimuat dalam naskah standart keduanya. Bila pada niaga konvensional, cerapan keadilan ditentukan berdasar kualitas keadilan pasar yang bisa naik turun seiring kondisi perdagangan yang melingkupinya, akan tetapi dalam konteks syariat, keadilan itu ditetapkan berdasarkan kepatuhan terhadap teks nash yang disepakati dan diregulasikan dengan label “regulasi produk syariah”. Ini khususnya berlaku di Indonesia. Adapun persamaannya, kedua tipe niaga ini sama-sama menyatakan perang terhadap segala bentuk eksploitasi, manipulasi, penipuan, penindasan, yang diformulasikan oleh syariat sebagai al-dhulmu (kedzaliman).
Adanya perbedaan dan persamaan ini, menyebabkan lahirnya standart indeks kepatuhan yang berbeda. Indeks niaga konvensional ditetapkan berdasarkan kepatuhan terhadap regulasi dan peraturan. Sementara indeks niaga syariah, ditetapkan berdasarkan kepatuhan terhadap regulasi syariah yang disepakati. Dalam konteks Indonesia, landasan indeks kepatuhan syariah terhadap produk niaga syariah, sementara waktu masih diukur berdasar hasil keputusan Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Saat ini memang sudah ada langkah positifisasi fatwa DSN-MUI tersebut untuk masuk ke dalam ranah Undang-Undang atau peraturan positif negara. Dan ini memang perlu diapresiasi sebagai terobosan penting.
Efek besar dari positifisasi Fatwa DSN MUI ini adalah tuntutan terhadap dunia pendidikan. Standar acuan kurikulum muamalah yang diajarkan dalam fakultas-fakultas ekonomi syariah dan ahwalu al-syakhshiyah menjadi harus mengacu pada berbagai keputusan tersebut. Sekali mengacu pada putusan fatwa lembaga selainnya, maka akan mengakibatkan keroposnya sistem ekonomi syariah yang dibangun, sehingga menjadi rawan penyelewengan.
Seiring harus ada kepatuhan terhadap Fatwa DSN, maka menjaga kompetensi penguasaan terhadap metode penggalian fatwa menjadi satu hal mutlak dan tidak bisa ditawar lagi. Sebagai contoh misalnya Fatwa tentang muamalah bebas riba. Indeks kepatuhan yang harus dilibatkan dalam kompetensi calon hakim adalah memahami corak pemikiran yang disodorkan oleh DSN tentang riba itu. Tanpa itu semua, maka kompetensi calon hakim menjadi diragukan. Ini adalah bagian dari risiko adanya produk syariah yang berangkatnya harus lewat DSN MUI.
Berbekal penguasaan terhadap landasan pemikiran sebagaimana dicatut dalam naskah keputusan Fatwa DSN tersebut, selanjutnya kasus sengketa syariah bisa disikapi dan diputuskan. Termasuk di dalamnya adalah kasus sengketa niaga syariah, yang sekarang menjadi ranah bagi Pengadilan Agama (PA). Bercermin terhadap kasus niaga Kampung Kurma dan beberapa kasus Investasi Bodong Perumahan Syariah, seharusnya penyidik perkara dalam hal ini melimpahkan kuasanya kepada PA. Mengapa? Karena mereka mengatasnamakan bisnisnya sebagai berlabel syariah yang menjadi ranah dari hakim pengadilan satu ini. Tapi, entah kenapa, kasus ini justru berujung pada pengadilan umum. Apakah karena belum adanya regulasi mengenai pembagian tugas pengadilan tersebut? Atau memang karena memang kompetensi hakim yang ada di PA saat ini belum sampai ke taraf siap menangani kasus sengketa syariah? Dua permasalahan ini setidaknya menjadi faktor tanda tanya.
Jika masalahnya adalah masalah yang kedua, maka itu menandakan bahwa kurikulum yang selama ini dipelajari dalam fakultas ekonomi syariah serta hukum peradilan syariah belum mencakup dan mengantisipasi perkembangannya. Padahal, seiring dengan perkembangan zaman dan industri belakangan ini, kasus sengketa syariah ini sudah pasti akan semakin berkembang dan berwarna-warni coraknya. Kompetensi hakim dalam menggali hukum semakin dibutuhkan dan bahkan dalam menyimak dan mengikuti kasus per kasus aktifitas muamalah. Tanpa itu semua, maka selamanya kasus yang melibatkan syariah akan diputus oleh Badan Arbritase Sengketa Konvensional dengan Pengadilan Niaga sebagai fasilitatornya.
Jika memang demikian yang diperlukan, lantas mengapa perlu dibuka kampus dan fakultas hukum ekonomi syariah dan hukum ahwalus syakhsyiyah? Bukankah itu hanya memboroskan anggaran negara saja karena disalurkan pada sesuatu yang sifatnya mulgha (harus diabaikan). Akan tetapi jika memang diperlukan keberadaan seorang pemutus perkara yang sesuai dengan labelnya, maka pengadilan agama semestinya tidak lagi dibebani oleh tugas yang hanya menyelesaikan kasus perdata saja. Melainkan juga, harus diberi wewenang memutus kasus pidana khususnya yang berkaitan dengan produk dan label syariah. Dan itu berarti membutuhkan keberadaan penyelidik atau setara dengan dewan hisbah yang memiliki kompetensi serupa yang dibutuhkan.