Saya cukup lama menentukan pilihan kemana kisah ini saya ungkapkan. Pilihan saya pun akhirnya jatuh pada situs keislaman ini. Menjadi hakim memang pekerjaan sarat syarat. Sebab ketika sudah dipikul, amanat ini menuntut untuk mengerti nilai-nilai luhur agama dan nilai-nilai keadilan yang solutif. Belum lagi adanya keharusan menyatakan siap ditempatkan dimana saja di nusantara ini, membuat beban di pundak hakim bukan sekedar urusan paham hukum atau tidak, melainkan paham kondisi sosio-kultur atau tidak, berikut latar belakang dan karakter demografis tiap daerah yang selalu berbeda.
Tulisan ini bukan tentang peran ekstra hakim agama di masyarakat lewat adagium “Hakim di Mata Hukum, Ulama di Mata Umat”. Melainkan murni mengenai pelaksanaan tupoksi sebagai hakim yang bergelut di bidang hukum perdata atau muamalah dan ahwal syakhshiyyah. Ini tentang bagaimana sebuah keputusan dijatuhkan terhadap perkara yang diajukan.
Kali ini kami (sebagai Majelis Hakim), ada di tanah Borneo alias Kalimantan. Di daerah yang kini mulai akrab dengan laqab ‘bumi bajakah’ ini, kami menjalankan tugas untuk priode mutasi yang kesekian kalinya. Tugas ini semakin menantang, sebab Kabupaten tempat kami bertugas kali ini, adalah kabupaten dengan pengadilan agama yang baru saja diresmikan operasionalnya. Sudah barang tentu, membangun citra baik, mutlak diperjuangkan. Utamanya dalam ranah pelayanan hukum yang berkeadilan dan bijaksana.
Salah satu bentuk perkara yang sering kali menuai pro-kontra adalah perkara permohonan pengesahan nikah. Pasangan suami istri yang terlanjur menikah tidak di bawah pengawasan KUA, alias nikah sirri atau nikah di bawah tangan, masih mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pengakuan dari negara, yaitu lewat pengajuan perkara permohonan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama.
Tentu jika pernikahan itu telah memenuhi syarat rukun dan tidak ada halangan hukumnya, akan mulus menghasilkan penetapan yang mengabulkan permohonan. Namun berbeda dengan pernikahan yang dilakukan oleh sepasang muallaf ini, sebut saja Harto dan Mistri. Keduanya, adalah penduduk asli pribumi Kalimantan Tengah, yang umumnya berkeyakinan Kaharingan (hindu dayak) dan Kristen.
Cinta memang melibas latar belakang agama. Meskipun demikian, saat cinta akan diresmikan menjadi jalinan sakral perkawinan, maka tetap saja nilai agama dijunjung setinggi yang mereka sanggup. Jalan cerita perkawinan itu pun sampai di meja hijau. Dengan judul permohonan Itsbat Nikah, mereka menaruh harapan besar mendapat penetapan yang sesuai harapan.
Mistri, adalah perempuan kampung biasa. Berdarah asli Dayak Kalimantan, yang kebetulan lahir dari keluarga besar penganut agama Kristen. Mistri memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman guna menuntut ilmu di sebuah sekolah tingkat atas di Ibukota. Tidak ada kerabat yang bisa dituju untuk sekedar menumpang atap. Tapi seorang teman perempuannya, terketuk untuk mengajak tinggal di rumahnya.
Mistri pun diterima secara baik di keluarga berdarah Banjar lagi muslim itu. Ia pun kerap memanggil ayah temannya itu dengan sebutan Pak Haji. Di rumah inilah ia menumpang hidup, sampai akhirnya menyelesaikan sekolah tingkat atas. Lalu pulang ke kampung halamannya.
Dalam masa-masa bergaul dengan keluarga barunya itu, rupanya Mistri mendapat hidayah. Ia secara yakin dan bulat mendeklarasikan keislamannya dengan bersyahadat di sebuah masjid dekat tempat tinggalnya. Tentu hal ini tidak terlepas dari peran keluarga angkatnya itu yang memang kental dalam beragama.
Mistri pun sah sebagai muallaf. Mistri mengakui dalam sidang, keislamannya ia pertahankan dengan sungguh-sungguh, seperti menutup aurat, shalat, dan puasa. Ia bahkan mengaku telah cukup lancar membaca Al-Quran.
Pertemuannya dengan Harto telah menjadi serangkaian takdir hidupnya. Harto yang juga berdarah Dayak penganut keyakinan Kaharingan itu, bahkan rela meninggalkan agamanya demi meraih cinta Mistri. Mistri memang teguh memegang syarat harus seagama untuk bisa menikahinya. Harto pun rela membayar mahal tradisi adat untuk pindah keyakinan.
Manakala semua ritual itu selesai, Mistri pun mengarahkan Harto untuk menemui seorang penghulu kampung, di desa tetangga yang cukup jauh, melewati jalur sungai. Tujuannya jelas untuk membimbing Harto masuk Islam. Di tangan dingin sang penghulu kampung, Harto pun resmi menjadi muallaf, menyusul kekasihnya di jalan yang sama.
Permasalahan mulai muncul manakala hajat perkawinan dilaksanakan. Tak mungkin rasanya bagi Mistri dan Harto untuk menuju Ibukota, menemui Pegawai Pencatat Nikah. Akses yang sulit, bersambut dengan sarana transportasi yang terbatas. Tapi tekad menyelamatkan hubungan cintanya sudah tak bisa lagi dibendung. Hanya ada satu referensi yang dimiliki Mistri. Siapa lagi kalau bukan sang penghulu di kampung sebelah.
Dengan susah payah, sang Penghulu pun datang di kediaman Mistri. Beberapa kerabat dan tetangga terlihat sudah memenuhi rumahnya. Pun Mistri dan Harto telah pula siap menjadi pengantin. Harto datang hanya bersama kedua orangtuanya. Pemandangan ganjil mulai dilihat oleh sang penghulu. Mistri tak memiliki kerabat yang muslim. Sudah barang tentu Mistri tak memiliki wali nasab yang sah. Jangankan kerabat, semua tetangga yang hadir maupun yang ada di kampung Mistri saat itu, tidak ada yang beragama Islam. Lebih lanjut Mistri bercerita sepanjang sidang berlangsung, pernah ada seorang muslim di kampungnya, namun sudah meninggal. Tragis, jasadnya dibawa ke kampung sebelah, karena hanya di kampung itu ada beberapa orang Islam yang dapat mengurus jenazah.
Walhasil, sang Penghulu sigap mengambil sikap. Mistri ditanya dan dimintai pernyataan mengangkatnya sebagai wali nikah. Mistri siap. Sang Penghulu pun mengemban dua tugas. Sebagai penghulu dan sebagai wali nikah (muhakkam). Namun prahara belum usai. Tak ada saksi nikah, karena memang tak ada yang beragama Islam.
Mistri lalu ingat seorang sepupunya di kampung seberang nun jauh tapi masih mungkin dimintai datang. Sebut saja namanya Mus. Hanya Mus yang beragama Islam. Itupun karena Mus pernah dirawat di rumah seorang pak Haji dan akhirnya dianggap sebagai keluarga dan masuk Islam.
Akad nikah tetap dilaksanakan dengan kondisi seadanya. Meskipun para tamu dan undangan memadati ruang tengah rumah Mistri tempat akad nikah dilangsungkan, namun seluruhnya beragama non-muslim. Kecuali Mistri, mempelai perempuan, Harto mempelai laki-laki, sang penghulu, dan Mus, saksi nikah.
Setelah mempertimbangkan cukup panjang, kami pun sepakat untuk menyelamatkan perkawinan Harto dan Mistri. Meski kami sadar, ada dua masalah besar yang harus dipecahkan, pertama, mengenai wali nikah, kedua, saksi nikah.
Untuk permasalahan wali, kami kuatkan dengan pendapat Imam Syafii, Ibnu Qudamah, dan Al Qurthubi. Rumusan dari ketiga pendapat ini adalah dimungkinkan seorang perempuan untuk dinikahkan oleh wali selain wali nasab dan wali hakim (sulthan/qadhi), dengan syarat-syarat yaitu, 1) tidak ada wali nasab, 2) tidak ada wali hakim, 3) ada izin atau penyerahan urusan kewalian oleh perempuan itu ke orang yang akan menjadi wali nikahnya.
Selain itu, kami juga mengemukakan pendapat Ismail bin Ishaq dalam Kitab Al Jami’ li Ahkam al Quran, bahwa Allah swt menjadikan hubungan kewalian (dalam pengertian khusus maupun umum) itu ada di antara orang-orang yang beriman, sehingga sudah selayaknya dalam keadaan wali nasab dan wali hakim tidak ada, orang mukmin satu dapat menjadi wali bagi mukminah lainnya (وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ).
Ketentuan ini tentu berlaku dengan konsep skala prioritas, bahwa satu orang mukmin bisa jadi lebih berhak dari yang lain, dan seorang kerabat bisa jadi lebih dekat dari kerabat yang lain.
Adapun mengenai saksi nikah, kami rumuskan pendapat hukum dalam kitab Al Mughni karya Ibnu Qudamah. Simpulan kami dari pendapat itu bahwa eksistensi saksi dalam akad nikah merupakan sesuatu yang bersifat ijtihadiy, yang berarti hasil dari rumusan para fuqaha’ dari nash-nash yang mereka peroleh. Dengan kata lain, tidak merupakan kemutlakan bahwa akad nikah hanya sah jika ada dua orang saksi.
Kami juga mengemukakan, bahwa nash yang bersifat qathi’ dan eksplisit, tidak ada yang menyebut kewajiban saksi dalam nikah (kecuali persaksian dalam rujuk dan talak. vide QS. Al Thalaq Ayat 2), kedudukan saksi juga tidak merupakan ketentuan pokok yang menentukan sah tidaknya akad nikah. Sebab yang utama dalam akad nikah adalah terjadinya ijab dan qabul yang sah.
Pendapat mayoritas fuqaha’ mengenai kedudukan saksi menjadi syarat/rukun sahnya nikah, dilatarbelakangi oleh pentingnya menjaga aspek pembuktian dari telah terjadinya suatu akad nikah. Sebab akad nikah menjadi pondasi penting terbentuknya hukum lain sebagai turunan dari akad nikah, seperti status nasab anak, kewarisan, hak nafkah, dll.
Semua kepentingan hukum itu akan sirna jika tidak ada saksi yang dapat menerangkan kejadian suatu pernikahan. Hal ini berarti, adanya satu orang saksi yang beragama Islam dalam akad nikah, sementara saksi-saksi yang lain beragama non Islam, pada prinsipnya telah mengakomodasi kepentingann hukum dimaksud. Karenanya status akad nikah dengan hanya seorang saksi yang beragama Islam, dapat dibenarkan.
Yang paling penting sesungguhnya adalah, fakta mengenai keadaan demografis di mana penduduk yang beragama Islam sangat minoritas. Bahkan Mistri merupakan satu-satunya yang muallaf di antara kerabat dan penduduk desa setempat. Adalah sesuatu yang menyulitkan jika persaksian nikah harus menerapkan prinsip keislaman sebagai syarat sahnya, padahal hak untuk menikah labih utama untuk dijaga.
Apapun itu, palu sudah diketuk. Harto dan Mistri sudah diselamatkan. Tentu banyak catatan yang perlu diperkuat argumetasi hukumnya. Pertimbangan ini, hanya dapat secara kasuistis, dan terbatas hanya Pengadilan (hakim) sebagai pelaku kekuasan kehakiman yang berwenang untuk memberikan nilai atas praktik pernikahan yang terkendala kesempurnaannya.