Beberapa hari lalu, kita diriuhkan lagi oleh berita dengan format fenomena yang sebenarnya dulu sudah pernah terjadi, akan tetapi kembali muncul lagi ke permukaan: penolakan atau pembubaran kajian yang dilakukan oleh salah satu ormas.
Dari banyaknya media kredibel yang memberitakan kronologinya, pihak ormas mengklaim bahwa panitia penyelenggara melanggar kesepakatan untuk tidak melanjutkan agenda kajian yang, diketahui, akan diisi oleh Syafiq Riza Basalamah. Diterangkan bahwa, antara pihak penyelenggara dan ormas sudah sepakat untuk meniadakan kegiatan, akan tetapi, pihak penyelenggara tetap melanjutkan kegiatan tersebut, dan pihak ormas melakukan klarifikasi ke tempat. Pihak ormas menyatakan bahwa narasi pembubaran merupakan narasi sesat. Mereka hanya keberatan jika Syafiq Basalamah menjadi pemateri pada kajian tersebut.
Buntut dari kejadian ini adalah kericuhan dan saling klaim adanya korban pemukulan. Di satu sisi, pihak penyelenggara mengklaim bahwa ada korban pemukulan kepada panitia atau jamaah. Di sisi lain, pihak ormas pun mengaku demikian. Ya, intinya saling pukul, lah. Kericuhan antara pihak penyelenggara dengan ormas yang melakukan penolakan pun bahkan terjadi sebanyak dua ronde.
Di dalam surat keterangan resmi ormas tersebut, setidaknya ada dua alasan mengapa mereka melakukan penolakan terhadap agenda kajian yang akan dilangsungkan di wilayah Gunung Anyar, Surabaya.
Pertama, karena pendakwah yang mengisi kajian tersebut dinilai provokatif. Kedua, kajian tersebut dinilai mengandung ujaran kebencian dan berpotensi memecah belah kerukunan. Dua alasan ini kemudian diuraikan lebih lanjut oleh pimpinan ormas di wilayah tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan media, ia menyatakan bahwa Syafiq Basalamah selaku pemateri dinilai terindikasi radikal dan muatan ceramahnya cenderung menghakimi kelompok lain.
Kebebasan Berpendapat dan Berkumpul yang Kini ‘Dibatasi’
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Artinya, kebebasan berkumpul dan berpendapat merupakan sesuatu yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi, dan menjadi hak setiap warga. Seseorang atau kelompok tertentu tidak memiliki wewenang untuk mengamputasi kebebasan tersebut.
Dalam konteks negara Demokrasi, kontra terhadap suatu ideologi atau pandangan tertentu, dan melakukan pembatasan melalui tindakan terhadap suatu kelompok karena tidak berhaluan pandangan yang sama, adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama bergumul dalam ranah ide dan pemikiran. Yang kedua ada pada ranah aksi.
Seperti, misalnya, membid’ahkan tradisi maulid adalah satu hal, dan melakukan aksi penolakan dan pembubaran terhadap kegiatan tradisi maulid adalah hal lain. Sama halnya dengan tidak sependapat dengan ideologi yang dianggap “konservatif” adalah satu hal, dan melakukan pembubaran pada kegiatan yang diisi oleh “komunitas konservatif” adalah hal lain.
Kita boleh tidak sepakat, sepemikiran atau sependapat terhadap ideologi tertentu. Akan tetapi, sebagai masyarakat sipil, kita tidak memiliki kewenangan apapun untuk membatasi pandangan yang mereka anut dengan menghakimi mereka lewat tindakan tertentu. Silakan jika ingin berdebat, bahkan sampai keluar urat leher. Akan tetapi jangan sampai jari telunjuk kita menyentuh ujung hidung orang yang kita debati.
Menguji Bingkai Asumtif Klaim Radikal
Walaupun dalam beberapa keterangan, ormas tersebut mengklaim bahwa mereka tidak melakukan pembubaran, tetapi mereka secara lugas menyatakan di dalam surat resmi bahwa mereka keberatan dan menolak diadakannya kegiatan tersebut, dengan alasan yang sudah disebutkan di atas, salah satunya juga klaim radikal.
Jika benar demikian, sama halnya terdapat klaim dengan narasi yang menyatakan bahwa “mereka” mudah menyesatkan dan membid’ahkan, lalu apa bedanya dengan klaim narasi yang mudah melabeli radikal dan intoleran? Hal seperti ini jika diteruskan tidak akan menemui ujungnya. Alih-alih menjaga kerukunan, hal tersebut berpotensi menciptakan jarak yang begitu lebar dan melahirkan paradigma “minna–minhum (kita-mereka)” di tengah masyarakat.
Kalaupun alasan yang melatar belakangi tindakan penolakan adalah, bahwa, pemateri kajiannya terindikasi radikal, pertanyaannya kemudian yaitu; apa parameter yang digunakan untuk mengklaim bahwa orang tersebut “radikal”? Apakah hanya sebatas berjenggot panjang, bercelana cingkrang, dan klaim sunnah-bid’ah? Lalu kemudian, siapa yang berhak menentukan? Apakah kelompok arus utama, pemerintah, atau lembaga tertentu?
Jika kita konsisten menggunakan istilah radikalisme dengan makna yang ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang salah satunya adalah “paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dengan cara kekerasan atau drastis”, maka kita harus menelusuri secara objektif apakah orang atau kelompok tersebut memenuhi unsur dari definisi ini. Karena, dalam konteks wacana keagamaan, melabeli seseorang dengan kata ini merupakan perkara yang sangat serius.
Pembubaran atau penolakan kajian kelompok tertentu yang selama ini terjadi, menurut saya, disebabkan dua hal. Pertama, labelisasi radikal berdasar pada indikator superfisial dan mengabaikan aspek substansial, yang kemudian menciptakan bingkai asumtif. Misalnya, menganggap orang berjenggot panjang atau bercelana cingkrang sudah tentu radikal, provokatif, dan intoleran. Kedua, terminologi tekstual-radikal yang, di beberapa kalangan, sudah menjadi kesatuan semiotis dan (di)hitam-putih(kan).
Menyikapi Ragam Cara Keberislaman
Konsep articulatory labor (kerja artikulatif) yang dikembangkan Ismail Fajrie Alatas dalam buku What Is Religious Authority?, adalah sebuah konsep yang, bagi saya, menawarkan cara pandang yang bijak dan luwes untuk menyikapi ragam bentuk cara keberislaman. Selain menyodorkan konsep otoritas keagamaan, di dalam bukunya, Fajrie sekaligus menampilkan keragaman bentuk keberislaman dalam sekali tepuk. Garis besar yang sebenarnya ingin diajukan adalah; melihat Islam sebagai realitas historis-sosiologis meniscayakan adanya perbedaan dalam tubuh komunitas keislaman.
Menurut Fajrie, terbentuknya sebuah komunitas keislaman yang mapan sebenarnya adalah hasil dari kerja-kerja artikulatif, yang dilakukan oleh aktor-aktor (pasca nabi) yang menghubungkan antara masa kini dengan masa lalu kenabian (prophetic past). Masa lalu kenabian ini telah hilang secara objektif, sehingga, dibutuhkan kerja untuk mereproduksi dan menghubungkan masa lalu kenabian tersebut agar dapat “disentuh” di masa kini.
Dalam melakukan kerja artikulasi, setiap aktor memiliki cara tersendiri dan tentu berbeda satu dengan lainnya. Masing-masing juga mengklaim memiliki koneksi dengan masa lalu kenabian yang dianggap sebagai fondasi. Konsekuensi logis yang muncul kemudian adalah cara keberislaman yang variatif dan beragam di antara komunitas keislaman. Menurut Fajrie, mapannya komunitas keislaman ini terbangun dalam berbagai format, baik dalam format kolaborasi atau keselarasan, atau bahkan kerap bertentangan dan berseberangan. (Buku Ismail Fajri Alatas bisa dilihat di sini).
Poin utama yang sebenarnya ingin diutarakan lewat tulisan ini adalah, perbedaan dan berseberang pandangan dalam laku keberagamaan atau keberislaman itu adalah hal yang biasa-biasa saja. Mbok ya, kalaupun beda, jangan sampai jotos-jotosan. Jika begitu terus, layaknya anak kecil yang berkelahi karena berebut mainan, ketika dewasa, kita berkelahi karena berebut klaim kebenaran. (AN)