Shamima Begum adalah perempuan warga negara Inggris yang bergabung dengan ISIS di Syria. Saat itu dia baru berusia 15 tahun. 10 hari setelah dia tiba di Raqqa, dia dikawinkan dengan satu kombatan ISIS yang berasal dari Belanda. Hal serupa terjadi dengan banyak sekali perempuan-perempuan muda yang, karena alasan ideologi, bergabung dengan ISIS dan, tanpa proses pacaran, mereka dikawinkan dengan para kombatan ISIS.
Apa yang terjadi saat suami-suami mereka tewas? Mereka kemudian dikawinkan lagi dengan kombatan yang lain, tanpa hak mereka untuk memilih. Ini adalah fondasi awal yang dibentuk oleh ISIS, untuk membuat perempuan-perempuan dan anak-anak gadis merasa bahwa mereka adalah bagian dari perjuangan yang sedang dilakukan oleh ISIS.
Bagi ISIS, perempuan dan anak-anak gadis adalah bagian dari mekanisme perjuangan yang sedang dilakukan oleh ISIS. Nah, penyerahan diri atau submission itulah yang dilakukan oleh ISIS secara terus menerus sehingga perempuan-perempuan ini kehilangan daya nalar mereka untuk bertanya, bahkan bersuara.
Baca juga: Shamima Begum dan Dilema Pasca Runtuhnya ISIS
Simbol dari penyerahan diri total mereka adalah dengan menutup diri mereka (aurat) dengan cadar. Jadi sama sekali bukan karena alasan teologis, tetapi semata merupakan proses pencucian otak bagi perempuan-perempuan itu agar tidak bertanya, tidak bersuara, dan siap untuk dikawinkan dengan orang yang tidak mereka kenal. Ini adalah perjuangan mereka.
Sama dengan pemahaman ISIS, kelompok pendukung Daulah Islamiyah di Indonesia ini menganggap mereka sedang “under attack”, oleh karena itu maka laki-laki diharapkan untuk berjuang dan mati demi menegakkan kekhilafahan. Untuk itu maka perempuan-perempuan dan anak-anak gadis dipersiapkan untuk meneruskan perjuangan dengan melahirkan generasi-generasi pejuang baru.
Pola yang sama itu pun bisa kelihatan dari kampanye Poligami dan #Indonesiatanpapacaran yang sedang marak dilakukan di Indonesia oleh kelompok-kelompok pendukung Khilafah. Kedua kampanye di atas bertujuan untuk menciptakan perempuan-perempuan dan anak-anak gadis yang tidak boleh berpikir, tidak boleh bernalar dan tidak boleh memiliki rasa. Mereka dipersiapkan sebagai ‘conscious-less human being’ yang siap di-pindah tangankan dari satu lelaki ke lelaki lain demi melancarkan perjuangan dengan melahirkan anak yang sebanyak-banyaknya.
Perempuan dan anak-anak gadis, tidak lagi diperlakukan sebagai manusia yang punya rasa, nalar dan pilihan, tapi hanya sebagai benda yang memiliki kelamin dan rahim yang bisa di’handover’ ke orang lain apabila pemiliknya sudah tidak ada lagi. Tidak lebih dari itu.
Oleh karena dianggap sebagai benda, maka penampilan dari perempuan itu tidak penting, dan itu disimbolkan dengan memakai cadar sebagai simbol dari penyerahan diri penuh.
Ini juga bukan soal seks, karena seperti yang sudah dipraktekan oleh ISIS dengan menjadikan kaum minoritas sebagai budak seks, kepuasan seksual itu (akan) diperoleh dari perempuan-perempuan hasil pampasan perang. Jadi istri adalah penghasil keturunan, sedangkan perempuan hasil pampasan perang adalah pemuas nafsu seksual para pria.
Jadi, dalam konteks radikalisme, kampanye poligami dan Indonesia tanpa pacaran itu sama sekali bukan dilandaskan pada soal teologis, tapi sejatinya adalah proses terstruktur untuk merubah perempuan yang berpikir, bernalar dan ber-rasa, menjadi benda yang memiliki kelamin semata.
Nah, anda mau dianggap sebagai properti yang memiliki kelamin saja? Itu pilihan anda.