Menguak Tren Ustadz Mualaf Yang Gampang Menipu Umat Islam

Menguak Tren Ustadz Mualaf Yang Gampang Menipu Umat Islam

Belakangan muncul tren ustadz mualaf yang mudah sekali memperdaya umat Islam. Kenapa bisa?

Menguak Tren Ustadz Mualaf Yang Gampang Menipu Umat Islam
ilustrasi: mualaf mengaku ustadz

Mari kita buka tulisan ini dengan mencari persamaan antara ketiga orang ini, Fauzan al-Azmi, Chris Bangun Samudera, dan Steven Indra Wibowo. Iya, mereka sama-sama mualaf, mereka sama-sama disebut ustadz, dan ternyata ketiganya sama-sama berbahaya, karena menipu umat. Yang terkini dan fenomenal adalah sosok Fauzan al-Azmi yang mengaku lulusan S2 Teologi Injil Vatican School di Vatikan.

Ia mengaku bahwa ayahnya adalah seorang kardinal yang bernama Yohannes Ignatius dan ibunya adalah seorang pengabar injil bernama Maria Laura. Ia mengaku masuk Islam dan mengganti nama menjadi Fauzan al-Azmi, belakangan diketahui dari dulunya Muslim. Ia bernama asli Joko Subandi asal Kudus dan ibunya bernama asli Surahma. Ia bahkan mampu menikahi belasan perempuan berkat predikat mualafnya tersebut.

Ia bahkan pernah menipu ratusan juta rupiah. Lucunya, kebohongannya baru terbongkar setelah beberapa tahun beroperasi, padahal dari awal jelas kebohongannya sangat terang benderang. Bisa-bisanya Kardinal punya anak? Kan pemimpin gereja Katolik tidak diperbolehkan menikah.

Bangun Samudera memiliki narasi yang sedikit berbeda. Ia mengaku lulusan S3 Vatikan. Padahal di Vatikan tidak ada universitas yang mengeluarkan gelar S3. Baru-baru ini terbongkar bahwa dia hanya pernah bersekolah di SMA Katolik Seminari di Blitar Jawa Timur, itupun tidak tamat.

Steven Indra Wibowo lebih prestisius lagi. Ia adalah ketua Mualaf Center Indonesia. Semacam pusat pelayanan bagi para mualaf. Ia mengaku pernah menjadi seorang romo di Katedral Jakarta. Pengakuannya langsung dianggap bohong dengan data yang sangat remeh. Dia bilang bahwa ia menjadi pastur pada tahun 2000, sementara dia mengaku lahir pada tahun 1981. Yang menggelitik, tidak ada, bahkan tidak mungkin seseorang menjadi imam pada usia 19 tahun.

Proses menjadi pastor di Katolik berbeda dengan proses menjadi ustadz atau ulama dalam Islam. Di agama Katolik, tidak sesederhana itu. Menjadi imam itu mensyaratkan proses pendidikan akademik tertentu. Orang yang ingin menjadi imam, paling tidak harus belajar filsafat dan teologi selama 6 tahun. Di tengah masyarakat kita, mantan preman yang tidak tamat Ibtidaiyah pun bisa mengklaim sebagai ustadz asal bisa melintir-melintir ayat dengan lucu dan terdengar fasih berbicara Arab.

Gampang sekali mengungkap kebohongan Steven yang mengaku jadi pastor pada umur 19 tahun tersebut. Lagipula, berbasis data yang ada di Katedral Jakarta, tidak pernah ada romo bernama Steven Indra Wibowo.

Yang lebih senior ada Yahya Waloni. Ia mengaku sebagai mantan pendeta dan sebagai pendiri sekaligus mantan rektor UKIP (Universitas Kristen Papua). Ia pun bernasib sama seperti teman-teman ustadz mualaf lainnya di atas, ketahuan berbohong karena belakangan muncul bantahan dari pihak UKIP sendiri.

Sebenarnya, pembongkaran kebohongan mereka itu sangat mudah dilakukan. Tidak perlu ada investigasi mendalam. Karena kebohongannya sangat kasat mata. Akan tetapi jangan-jangan para ustadz mualaf ini berbohong karena mereka menyadari bahwa memang ada jutaan umat Islam yang gampang dikibuli pakai dalih agama dengan begitu mudahnya.

Nyatanya, bahkan setelah kebohongan mereka terbongkar pun, masih banyak umat yang masih menaruh kepercayaan. Bisa jadi, umat ini percaya saja kepada narasi-narasi para mualaf karena mereka ingin percaya saja. Bukan soal data yang dibawa akurat atau tidak, ini adalah persoalan yakin dan percaya.

Pada umumnya, orang-orang yang menjadi korban mereka adalah kaum marjinal, yaitu kalangan yang terpinggirkan, kalangan ekonomi lemah, secara pendidikan rendah, kecewa dengan keadaan, yang tersingkir dari persaingan kompetisi modern yang semakin ketat. Tidak sedikit self-claimed pemuka agama yang memanfaatkan kemarjinalan mereka. Para pemuka agama ini bukannya mendorong umat untuk semakin berjuang menghadapi kemajuan zaman, namun justru meninabobokkan mereka dengan janji-janji surga.

Ini semua cobaan bagi orang-orang beriman, dan selama kita tetap menjaga keimanan dan ketaqwaan, kita akan diberi ganjaran di hari akhir dengan surga yang indah.” Begitulah kira-kira bunyi motivasi mereka.

Masyarakat kemudian mengira bahwa para pendakwah itu akan menjadi pembuka pintu surga. Mereka sudah kadung terlena dengan pelintiran-pelintiran yang indah itu.

Tapi mau tidak mau, seiring berjalannya waktu, kaum marjinal ini tetap akan membutuhkan konfirmasi. Mereka butuh bukti-bukti yang bisa menunjukkan bahwa jalan yang mereka tempuh ini benar. Bahwa ibadah yang mereka lakukan akan membawa mereka ke surga.

Nah di sini status mualaf sangat berperan besar. Kehadiran para mualaf yang seolah-olah memiliki latar belakang pendidikan dan pengetahuan Kristen yang mendalam, menjadi polesan untuk meyakinkan bahwa Islam adalah agama yang benar. Dalam kata lain, pendeta, pastur, dan pembesar-pembesar agama Kristen saja bisa memeluk Islam, bukankah itu bukti bahwa Kristen salah dan Islam benar?

Masyarakat Muslim bukan hanya bahagia karena mendapat saudara baru. Namun, karena orang-orang seperti Fauzan, Bangun Samudera, Yahya Waloni, atau Steven seolah memberi bukti bahwa mereka berada di jalan yang benar. Masyarakat tahu bahwa Kristen nampak lebih unggul dan Islam nampak kalah dalam urusan dunia. Namun mereka percaya bahwa itu hanya tipu-tipu dunia. Yang penting bukan keunggulan di dunia, melainkan keunggulan di akhirat.

Karena prinsip dasar itulah mereka dengan penuh suka cita menerima para ustadz mualaf ini. Apalagi ustadz mualaf itu gemar sekali menjelek-jelekkan agama asal mereka. Para ustadz ini seolah tahu, sebagian masyarakat Muslim Indonesia sangat penasaran dan tertarik terhadap hal-hal yang tidak berada dalam jangkauan mereka, tentang seluk beluk agama Kristen misalnya. Tentu jamaah akan antusias mendengar topik ini, apalagi dibumbui dengan candaan bahkan hinaan.

Semakin yakinlah jamaah ini karena seakan-akan agama lain itu salah karena pernyataan ustadz-ustadz ini. Mereka menjadi tidak peduli jika ustadz idola mereka dituduh berbohong. Bagi mereka, tuduhan bahwa ustadz itu pembohong pasti datang dari kaum pembenci Islam. Jadi, yang bohong itu bukan si ustadz, melainkan yang membawa kabar tentang kebohongan si ustadz.

Selama umat Islam tidak diajarkan untuk menggunakan akal sehat dalam beragama, pola seperti ini akan terus berlangsung. Mungkin nanti bakal ada mualaf-mualaf baru yang membawa script drama berbeda. Mungkin lebih menarik dan ramah. Namun, tentu motifnya bisa jadi sama, yaitu mengeruk keuntungan dari kebohongan-kebohongan. Perlu diingat, kita tidak akan selamat jika hanya mengandalkan dalil saja. Kita akan selamat dengan agama, beserta kedua aset berharga kita; akal sehat dan hati nurani.

Wallahu a’lam bisshawab…