Memahami Radikalisme Islam (Bagian 2) dan Rapuhnya Keilmuan Mualaf yang Memperolok Agama Lamanya

Memahami Radikalisme Islam (Bagian 2) dan Rapuhnya Keilmuan Mualaf yang Memperolok Agama Lamanya

Kenapa sih ada orang ngaku mualaf terus begitu entengnya melecehkan keyakinan lamanya?

Memahami Radikalisme Islam (Bagian 2) dan Rapuhnya Keilmuan Mualaf yang Memperolok Agama Lamanya
ini pencarian di google terkait dengan ustadz mualaf. gambar ini tentu saja tidak mencerminkan semua mualaf yang jadi ustadz di Indonesia. pict by ISTIMEWA

Secara terminologi kebahasaan, menjadi radikal pada dasanya tidaklah masalah. Untuk bahasan ini, Anda bisa membacanya di artikel sebelumnya, Memahami Radikalisme Islam (Bagian 1).  Namun di tataran pelaksanaannya, mengapa sikap radikal justru menjadi anomali: dari kemendalaman sikap, prinsip, dan nilai-nilai menjadi sikap-sikap ekstrem dan bermasalah secara kemanusiaan?

Saya ingin mewedarkan soal tersebut dari perspektif surat al-Mu’minun ayat 71: “Dan umpama kebenaran (al-Haq) telah memperturutkan hawa nafsu mereka, sungguh akan rusaklah langit dan bumi beserta seluruh yang ada di dalamnya. Padahal Kami telah menurunkan petunjuk (al-Qur’an) kepada mereka tetapi mereka malah berpaling.

Baik. Kita petakan begini:

Pertama, al-Haq. Kebenaran. Kesejatian. Tiada lain buat kita semua itu adalah iman, Islam, dan ihsan. Tentulah ketiga pilar tersebut semuanya bersumber dari al-Qur’an dan tuntunan Rasul Saw.

Sederhananya kita lalu menyebutnya syariat dan akhlak. Logikanya, siapa yang menjalankan syariat Islam dalam hidupnya, tentulah ia pun salih dalam akhlaknya, adabnya, dan etikanya. Tentulah ia akan selaras selalu dengan rahmatan lil ‘alamin. Sebab Rasul Saw diutus hanya untuk menegakkan konsepsi hidup rahmat demikian, alih-alih untuk mengislamkan semua manusia (Anda bisa cek, misal, surat Yunus 99-100 untuk keterangan kalimat terakhir ini).

Syariat sebagai sumber pemikiran dan lelaku kita adalah al-Haq (Kebenaran) yang diturunkan-Nya kepada kita semua melalui al-Qur’an dan pengajaran dan keteladanan Rasul Saw untuk semata menjadi rahmat. Welas asih. Kasih sayang. Cinta. Bukan hanya kepada sesama muslim, tetapi seluruh manusia. Betul, seluruh manusia dan makhlukNya. Kuntum khaira ummatin ukhrijat linnas (jadilah kalian semua umat terbaik yang diberikan kepada manusia….)

Maka menjadi keanehan yang menyesakkan dada bila kita menyandang predikat muslim, menjalankan syariat-Nya, mengaku cinta Rasul-Nya Saw, tetapi lelaku kita tidak nyambung dengan asas kerahmatan. Ini aneh, sangat ganjil, dan tentu saja ada persoalan serius di dalamnya.

Kedua, hawa nafsu. Ahwa-ahum. Segala bentuk keganjilan cum kekacauan korelasi mutlak syariat-rahmat tersebut tiada lain dipantik oleh hawa nafsu. Ya, hawa nafsu. Maka dikatakanNya: jika kebenaran telah dikuasai hawa nafsu, rusaklah semuanya…..

Hawa nafsu dalam konteks ini sederhananya bisa dibagi dua kelompok: satu, hawa nafsu dari orang yang telah mapan ilmu; dan, dua, hawa nafsu dari orang bodoh yang merasa telah mapan ilmunya.

Pendeknya, ilmu ini pilar teknisnya. Maka, logis kita pahami bahwa semakin kita berilmu kita akan merasa semakin awam. Ini aksiomanya. Mari renungkan: jika perasaan begitu tak lagi ada di hati kita, pikiran kita, dapat dipastikan kita adalah sekadar kebodohan yang makin bebal belaka.

Memang, babakan ilmu tak akan ada habisnya jika digali, diarungi. Tetapi, jika semakin waktu kita terus semakin memperkaya diri dengan ilmu, niscaya kita akan semakin kaya perspektif dalam memandang dan menyikapi suatu perkara hukum sehingga kita akan kian terjauhkan dari sikap arogan benar-benaran dan menang-menangan. Dengan kata lain, semakin mendalam dan luas ilmunya, niscaya kita akan semakin mampu bersikap bijaksana. Persis. Menjadi bijaksana itulah sebuah keniscayaan yang berspiritkan cinta dan kasing sayang.

Mari ambil tamsil ini: apa betul khilafah itu wajib? Bukankah al-Qur’an dan Rasul Saw tak menetapkan suatu bentuk teknis pemerintahan? Bukankah ajaran-ajaran utama Islam tersebut hanya meletakkan pilar-pilar spiritnya macam syura, ta’awun, musawah, ‘adalah, dll?

Orang yang kurang ilmu akan keras mengatakan khilafah wajib saat berjumpa dengan ayat “waman lam yahkum bima anzalaLlah faulāika humul kāfirun, (siapa yang tidak menetapkan hukum berdasar hukum Allah maka mereka itulah golongan kaum kafir). Atau, mereka akan makin keras keyakinannya bila bertemu dengan ayat: “asyidda-u ‘alal kuffar” (bersikap keras kepada orang kafir).

Mereka tak mengetahui akibat kurang mendalam ilmunya terhadap jubelnya ayat-ayat lain yang dapat diselingkupi dalam satu tema itu, seperti hikmah, mau’idhah hasanah (nasihat yang baik), la tufsidu fil ardhi (larangan berlaku arogan), wa amruhum syura bainahum (anjuran berdiskusi dan berdialog), hingga faman kāna yarjū liqā-a rabbihi falya’mal ‘amalan alihan (sesiapa yang bertekad  ketemu Tuhan, hendaklah berlaku santun) maupun fabimā rahmatin minallahi linta lahum dan wamā arsalnāka illa rahmatan lil ‘ālamin. Tentu, banyak lagi yang bisa dibanjarkan di sini.

Lalu yang akan menjadikan keadaan ahli ilmu terjatuh pada anomali ialah keilmuannya ditunggangi hawa nafsunya. Entah untuk tujuan politik kekuasaan maupun ekonomi dan kegenitan kemanjaan popularitas.

Dalam Qur’an Surat al-Jatsiyah ayat 23, Tuhan telah mewanti-wanti bilamana afara-aita man ittakhadza ilāhahu hawāhu wa aḍallahulahu ‘alā ilmin (apakah kalian tidak menyaksikan orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya sehingga lalu disesatkan oleh Allah dari ilmuNya…)

Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahuLlah telah menasihatkan bahwa jika hanya perkara ilmu, kita tak ada apa-apanya dibanding keilmuan iblis, tetapi iblis dilaknat oleh Allah Swt dikarenakan memperturutkan hawa nafsunya yang pongah kepada Adam As hingga iblis melanggar perintah Allah Swt.

Apa ada muslim yang begitu? Masya Allah, banyaknya kimplah-kimplah. Di arena politik praktis hari ini, luar biasa dahsyat dampak merusak perilaku orang-orang berilmu yang menjual ayat-ayat Allah Swt untuk kepentingan syahwat politik ekonominya.

Ontran-ontran al-Maidah 51 tiada habis-habisnya, terus diperpanjang entah sampai kapan, dengan berbagai skema, nama, aksi, dll. Belum lagi komodifikasi agama yang luar biasa dieksploitasi untuk mengeduk rente meski jelas-jelas itu pun bagian dari menjual ayat-ayat Allah Swt dan membodoh-bodohi umat. Entahlah, kita nampak begitu melampaui batasnya hari ini, speechless….

Orang-orang awam lain lagi pusarannya. Betapa banyak orang yang benar-benar berniat untuk belajar Islam, memperdalam ilmu agama, bergabung di berbagai forum kajian, pengajian, dan komunitas, lalu hanya dalam selentingan kotoran kuku berfatwa halal-haram ke mana-mana, utamanya di sosial media, hingga menguarkan keresahan dan keributan.

Ini bisa dikarenakan paham berislam yang diikutinya mengajarkan paham begitu, bisa karena fase step by step perjalanan pemahaman dan keilmuan yang belum diarunginya dengan menep tetapi ia sudah keburu merasa paripurna saja. Ia telah merasa tinggi, alim, padahal yang dituainya hanyalah perasaan ana khairun minhu….

Belum lagi fenomena mualaf yang tiba-tiba berkhutbah ke mana-mana pula dengan keilmuan yang belum ada apa-apanya (pada dasarnya bisa dimaklumi karena belum lamanya ia berislam), plus bumbu-bumbu melecehkan, menghina, dan merendahkan keyakinan lamanya. Mereka jualan mantan agamanya dengan begitu entengnya, dibingkai seolah itu adalah jalan hidayahNya yang menakjubkan, padahal itu tetaplah hanyalah celaan-celaan tak beradab kepada pihak-pihak lain.

Kini kita mengerti bahwa perkara serius semua kita (ya, semua kita!), dari ahli ilmu sampai kaum awam, ialah hawa nafsu. Pertanyaannya kini bagaimana cara mengelola hawa nafsu agar mendapatkan berkah rahmat dari Allah Swt?

Bersambung…