Pemberitaan terkait terorisme rawan terpeleset menjadi ruang publikasi teror itu sendiri. Kebutuhan informasi yang presisi dari masyarakat menuntut media agar mampu menghadirkan informasi yang lugas namun tetap aman dan nyaman untuk dikonsumsi.
Menyelidik hal tersebut, kami mewawancarai Hartanto Adi Saputra (HAS), seorang wartawan, terkait liputannya dalam persidangan Aman Abdurrahman yang divonis mati. Nama yang disebutkan belakang adalah terpidana terorisme yang menyedot perhatian publik sejak 2018 lalu. Saat itu, HAS intens meliput jalannya persidangan untuk harian Jawa Pos.
HAS yang saat ini adalah redaktur media online ayoindonesia menekankan pentingnya keterbukaan cara pandang wartawan dalam melihat persoalan yang berkaitan dengan terorisme.
Anggota AJI Yogyakarta ini juga melihat perlunya wartawan memahami kode etik dan elemen jurnalisme dengan benar, agar setiap pemberitaan yang dihasilkan tidak kabur dan turut berpeluang membawa dampak buruk untuk masyarakat. Berikut petikan wawancaranya;
Coba ceritakan terlebih dahulu bagaimana Anda dapat mengawal isu ini?
Pada awalnya, aku tidak ada niat khusus meliput kasus Aman Abdurrahman ini. Memang dulu aku di Koran Jawa Pos ditugaskan (meliput) di daerah Jakarta Selatan, bagian (desk) metropolitan. (Aku) kebagian Polres Jakarta Selatan, Kantor Walikota, dan Pengadilan Negeri (PN). Sidangnya (Aman) ada di PN Jakarta Selatan. PN Jakarta Selatan memang secara keseluruhan adalah PN yang ramai diberitakan. Selain kasus terorisme, PN itu juga ramai dengan sidang-sidang artis. Itu salah satu pos-ku (wilayah yang ditetapkan redaktur).
Ketika aku meliput kasus Aman, pada mulanya sepi. Hanya wartawan yang biasa pos di situ saja yang meliput. Kasus Aman ini menarik, karena satu orang dikaitkan dengan banyak kasus terorisme di Indonesia, misalnya Bom Thamrin, Samarinda, pelatihan-pelatihan (teror), hingga (dakwaan) bom panci.
Dari segi isu (untuk pemberitaan), ini menantang. Kita tidak hanya mengupas satu kasus saja. Jadi kita dapat membuat berita yang banyak dari sini. Karena setiap peristiwa (yang dikaitkan) tadi, dihadirkan tersangka lain dan keluarga korban.
Isu Terorisme selalu menyita perhatian publik, bagaimana Anda menulis untuk perhatian publik yang demikian besar?
Kasus Aman Abdurrahman ini tidak langsung mengundang perhatian publik. Seperti yang aku katakan tadi, awalnya biasa banget, seperti sidang kriminal lain. Wartawan yang masuk, bebas saja. Kemudian terjadi kerusuhan di Mako (Markas Komando) Brimob Kelapa Dua Depok itu (Mei 2018)
Ini konteksnya. Ketika ada peristiwa di Mako Brimob itu, (kasus Aman) jadi perhatian besar, karena Markas Brimob dikuasai napiter (narapidana teroris). Dan berdampak ke persidangan.
(Aman Abdurrahman dalam banyak pemberitaan disebut berkontribusi mengakhiri kerusuhan di Mako Brimob, karena pengaruhnya dalam kelompok dan gerakan teror.)
Aku menulis tetap dengan memperhatikan fakta yang terjadi di lapangan. Namun yang perlu diperhatikan itu justru JPU-nya (Jaksa Penuntut umum). Karena ada tuntutan publik yang besar, jaksa cenderung menuntut dengan maksimal. Tuntutan maksimal dari JPU ini agak berbeda dengan tuntutan untuk kasus-kasus kriminal lain.
Kasus Terorisme yang melibatkan Aman Abdurrahman ini cenderung dibawa pada ideologi Islam tertentu, bagaimana Anda melihat persoalan ini?
Aku melihat persoalan ini, dengan saksi yang dihadirkan itu, lebih tepat disebut pilihan politik. Mereka tidak sepakat dengan NKRI. Ya, ini sama dengan awal kemerdekaan; ada yang menginginkan bentuk negara federal, ada gerakan DI/TII, Republik Maluku, atau Papua. Itu adalah jalan politik mereka.
Namanya politik itu, ya mereka memiliki argumentasi. Nah mereka menggunakan argumentasi Islam yang sesuai dengan tafsiran mereka.
Saksi-saksi yang dihadirkan di persidangan, ada juga yang sudah terpidana, bahkan ada yang lebih ngeri lagi; sudah menggunakan kata thogut. Tidak ada toleransi-toleransi sama sekali. Kalau Aman Abdurrahman ini lembek, banyak ketawa-ketawa gitu. Di persidangan, ngak banyak ngomong juga.
Menurut ku pribadi (politik dengan argumentasi/tafsiran Islam tersebut) ngak masuk akal. Sebagai jurnalis, aku meliput banyak persoalan, mulai dari kasus kriminal, korupsi, hingga kasus berat seperti konflik agraria. Ketika hidup dengan pandangan seperti itu, di tengah kasus-kasus yang kompleks dan realitas saat ini, ngak mungkinlah tercipta masyarakat yang mereka impikan, dengan satu ideologi.
Tugas insan media memberitakan isu terorisme cukup berat. Jika tidak awas, dapat berbalik menjadi corong penyebarluasan teror itu sendiri. Bagaimana Anda melihat hal ini?
Secara umum, media sangat mungkin menjadi tempat berkembangnya pikiran radikal. Sebagai wartawan, kita mesti berpegang pada kode etik jurnalistik dan sembilan elemen jurnalisme untuk menghindari hal itu. Jadi tidak hanya sekadar menulis apa yang terlihat atau terdengar saja.
Seorang jurnalis, terlebih dalam kasus-kasus seperti terorisme ini, tidak boleh berprasangka jahat, termasuk pada terdakwa.
Prinsipku dia (Aman dan para terdakwa lainnya) adalah korban. Maka aku berpikir, hak dia sebagai warga negara mesti dilindungi. Apabila, misalnya, pengadilan berjalan ngak sesuai dengan semestinya, juga harus diberitakan. Itu termasuk memantau kekuasaan yang semestinya dilakukan media.
Dalam isu-isu terorisme seperti ini, kita juga mesti sadar kerja kita untuk publik, bukan untuk satu kelompok. Tentu tidak semua yang kita dengar dan lihat di persidangan langsung dapat kita tulis. Kita juga harus memikirkan dampak (buruk) dari tulisan nantinya.
Aku juga memfilter. Tidak semua omongan Aman Abdurrahman ataupun saksi yang dihadirkan di persidangan aku tulis. Meskipun ada informasi yang bombastis kalau semisal dijadikan judul atau kutipan, namun jika berdampak buruk pada masyarakat, itu aku hilangkan.
Contohnya seperti apa?
Banyak sekali, seperti bahasa-bahasa yang dapat memecah belah umat antar agama. Atau misalnya di persidangan kan dijelaskan bagaimana mereka membuat bom panci. Wartawan yang punya perspektif yang benar, tidak akan menulis angle berita atau tutorial mereka membuat bom banci. Kita kan tidak tahu nanti ada pembaca iseng yang lantas mencoba (sambil tertawa).
Apakah media-media di Indonesia sudah fasih dengan batasan-batasan tersebut?
Sayangnya ini masih menjadi problem di banyak media kita. Di ruang-ruang redaksi media jarang sekali membahas hal seperti ini (batasan dan etik). Sebenarnya ini semua sudah ada dalam buku dan pedoman yang diterbitkan Dewan Pers. Tapi mungkin karena sosialisasinya masih kurang atau bagaimana, tidak banyak wartawan yang mengerti.
Pendidikan untuk meningkatkan pemahaman wartawan terkait liputan terorisme atau kekerasan lainnya juga kurang diberikan. Minim sekali, hanya di beberapa media saja.
Apa pesan Anda untuk para pewarta terorisme ataupun isu-isu lain yang berkaitan dengan ideologi dan kekerasan, sebagaimana yang Anda katakan tadi?
Teknisnya, saran ku, dalam pemberitaan isu seperti ini, lebih baik fokus ke fakta kasusnya saja. Dalam hal ini jalannya persidangan, bukan ideologi orangnya. Kalau fokus ke ideologinya, sangat banyak ideologi di dunia ini dan bisa saling berbenturan.
Kita juga dapat fokus ke masalah hukumnya. Apa yang dilanggar oleh Aman Abdurrahman. Apakah persidangan sudah berjalan sesuai dengan hukum dan aturan yang berlaku atau tidak.
Sebab tanpa itu, sangat mungkin berita yang dihasilkan itu menjadi bias. Wartawan harus waspada dengan bias yang ditimbulkannya. []
*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT