Ini Makna Kata Rabb dalam Al-Qur’an: Meluruskan Logika Aman Abdurrahman

Ini Makna Kata Rabb dalam Al-Qur’an: Meluruskan Logika Aman Abdurrahman

Aman Abdurrahman keliru dalam memahami makna kata Rabb dalam al-Qur’an

Ini Makna Kata Rabb dalam Al-Qur’an: Meluruskan Logika Aman Abdurrahman
Pendiri JAD, Aman Abdurrahman divonis mat atas tindakan terornya selama inii. Apakah ia tergolong mati syahid?

Semula segala dalam Al-Qur’an dimaknai dengan budaya kelimuan yang mapan. Namun setelah kaum radikal muncul kini ayat-ayat Al-Qur’an mulai diarahkan pada sisi dangkal kerongkongan mereka. Kemudian mulai subur pemaknaan-pemaknaan serampangan berdalil pada Al-Qur’an yang mereka tafsiri semaunya. Aman Abdurrahman misalnya, seorang terpidana kasus terorisme, terlihat kocak ketika memberi pengertian terhadap kata Rabb. Ia berangkat dari QS. Al-Taubah ayat 31 untuk kemudian berlanjut memberi pengertian perihal kata arbab  dalam ayat tersebut.

Dikatakannya bahwa arbab adalah bentuk jamak dari kata tunggal rabb. Kata rabb ini menurutnya berarti tuhan pengatur atau yang mengatur. Lebih kocak lagi ia katakan bahwa kata atur berhubungan dengan aturan seperti hukum atau undang-undang. Rabb adalah tuhan yang mengatur dan menentukan hukum, simpulnya.

Pak Aman juga membikin simpulan lagi bahwa Allah disebut Rabb al-alamin karena Allah yang mengatur alam raya, baik secara hukum alam ataupun syariat. Terakhir ia mengajukan tesis bahwa jika ada orang yang mengaku atau mengklaim dirinya berhak mengatur maka ia memosisikan diri sebagai rabb.

Untuk menguatkan tesisnya ini pak Aman mengutip Muhammad bin Abdul Wahab, sesepuh utama aliran Wahabi, bahwa definisi kata rabb menurutnya adalah orang yang memberikan fatwa kepada kalian dengan fatwa yang menyelisihi kebenaran dan kalian mengikutinya seraya membenarkan.

Di sini perlu digarisbawahi bahwa pada dasarnya meskipun dari akar kata yang sama pengertian rabb dan arbab bertentangan satu sama lain. Yang pertama merujuk kepada tauhid sementara yang terakhir adalah bentuk pengkhianatan terhadap keesaan Allah SWT. Pak Aman tidak membedakan hal ini dan pukul rata ketika mendefinisikannya.

Para mufasir tidak banyak memberi pengertian perihal kata rabb  pada ayat ini. Hal ini karena kata rabb sendiri sejak awal sudah ditafsirkan, tepatnya dalam surat al-Fatihah.

Kata rabb menurut Imam al-Qurthubi termasuk nama dari berbagai asma Allah SWT. Di samping itu kata ini juga digunakan untuk menyebut beberapa makna selainnya. Pada masa jahiliyah kata ini digunakan untuk menyebut raja. Pun kata ini dapat dimaknai sebagai tuan seperti yang tercatat dalam QS. Yusuf ayat 42. Rabb juga dapat berarti yang memperbaiki, yang mengatur, yang memulihkan, yang mendirikan.

Kata rabb disebut untuk siapa yang mendirikan kebaikan terhadap sesuatu dan menyempurnakannya. Oleh karenanya orang-orang yang konsisten dengan kitab-kitab disebut al-rabbaniyyun.

Makna lain dari kata rabb adalah al-ma’bud atau yang disembah. Di sisi lain secara etimologi para ulama berbeda pendapat akan kata rabb ini. Satu pendapat menyebut kata ini berasal dari kata tarbiyah, mengasuh atau memelihara. Oleh karenanya orang tua yang mengasuh anaknya atau guru yang mengasuh muridnya dapat disebut dengan murabbi. Dalam QS. Al-Nisa’ ayat 23 disebut kata rabaib, bentuk jama dari rabibah atau anak dari istri karena diasuh oleh suaminya yang baru.

Sampai di sini Imam al-Qurthubi menyimpulkan bahwa makna pengaturan dan pengasuhan yang terkandung dalam kata ini bersifat verba. Sementara al-rabb yang dimaknai raja atau tuan bersifat nomina. Kita bisa menyebut bentuk kata ini adalah nomina verbal, nomina yang fungsi dan maknanya berdekatan dengan verba.

Apabila kata rabb didahului dengan alif lam atau lam ta’rif, al-Rabb, maka secara otomatis maknanya khusus untuk menyebut Allah SWT. Sementara jika lam ta’rif tersebut dibuang maka kata ini dapat berlaku baik untuk menyebut Allah ataupun makhluknya. Oleh karenanya dikatakan setiap rabb selain-Nya bukanlah Pencipta dan Pemberi rezeki. Sehingga meskipun sama-sama menggunakan kata rabb dapat dibedakan dengan jelas mana yang bersifat ilahiah dan mana yang bukan.

Ketidakmampuan untuk membedakan sifat berlainan dalam suatu kata tentu bisa fatal akibatnya. Seperti pak Aman yang gagal membedakan sifat yang terkandung dalam kata rabb. Akhirnya ia mengilahikan rabb yang hanya makhluk. Uniknya tujuan pak Aman bukan untuk menganggap apa yang ia ilahikan sebagai Tuhannya melainkan hanya sebagai narasi keradikalan yang dangkal.

Pak Aman mengilahikan Pancasila, MPR, DPR, Lembaga Yudikatif negara, sampai NKRI untuk kemudian mengafirkan siapa saja yang membenarkan eksistensi nilai dan lembaga-lembaga tersebut. Apa yang tidak disenanginya disebutnya tuhan seraya menganggap orang-orang yang membenarkan hal tersebut telah melakukan kesyirikan.

Narasi dangkal yang dapat mempengaruhi orang yang masih minim pengetahuan agamanya. Menakut-nakuti mereka dengan kesyirikan ilusif. Seolah-olah yang tidak sependapat dengannya pasti masuk neraka karena syirik. Sebuah narasi yang menyebabkan seorang rela meledakkan bom yang terpasang di badannya untuk melukai bahkan membunuh manusia lain. Narasi yang hanya zahirnya saja membela tauhid, namun di dalamnya justru mengotori tauhid sejati kepada Allah.