Mengapa Aman Abdurrahman Mengafirkan Kedua Orang Tuanya?

Mengapa Aman Abdurrahman Mengafirkan Kedua Orang Tuanya?

Di antara doktrin Aman Abdurrahman adalah tentang keharusan mengkafirkan individu atau kelompok yang dinilainya tidak memenuhi syarat keimanan sebagaimana yang diyakininya.

Mengapa Aman Abdurrahman Mengafirkan Kedua Orang Tuanya?
Pendiri JAD, Aman Abdurrahman divonis mat atas tindakan terornya selama inii. Apakah ia tergolong mati syahid?

Aman Abdurrahman menjadi nama yang populer di Indonesia. Ia dikenal sebagai gembong teroris. Kelompok binaannya yang bernama Jamaah Anshorut Daulah (JAD) aktif melakukan aksi terorisme sejak 2015. Kelompok ini terafiliasi dengan ISIS di Timur Tengah.

Aman Abdurrahman merupakan ideolog utama JAD. Sekalipun sebenarnya ia hanya menterjemahkan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Tetapi ketekunannya dalam menerjemahkan buku-buku karya ekstremis dari Timur Tengah membuahkan hasil dengan tumbuhnya pengikut yang fanatik di lingkarannya.

Salah ide utama yang disebarkan Aman Abdurrahman adalah tentang keharusan mengkafirkan individu atau kelompok yang dinilainya tidak memenuhi syarat keimanan sebagaimana yang diyakininya. Baginya, takfir atau pengkafiran merupakan rukun agama. Aman Abdurrahman mensyaratkan dua hal agar seseorang dapat disebut Muslim. Dalam buku Seri Materi Tauhid, ia menulis, “Keimanan seseorang kepada Allah tidak akan bermanfaat tanpa menjauhi thaghut, karena Laa ilaaha illallaah itu mempunyai dua rukun. Yang pertama Laa ilaaha yang berarti jauhi thaghut, sedangkan yang kedua illallaah (kecuali Allah) maksudnya ibadahlah kalian hanya kepada Allah. Salah satunya tidak bisa berdiri tanpa yang lainnya.”

Jadi, memang takfir menjadi pokok ajaran Aman Abdurrahman. Persoalannya menjadi rumit karena kenyataannya, orang-orang yang dikafirkannya karena tidak memenuhi syarat keimanan yang diakuinya adalah orang-orang Islam. Baik mereka yang berada di pemerintahan maupun dari kalangan masyarakat sipil. Pemerintah menjadi objek pengkafiran karena menurutnya pemerintah adalah orang yang membuat hukum yang harusnya merupakan hak mutlak Tuhan. Masyarakat sipil yang dikafirkannya adalah Muslim tradisional yang gemar berziarah ke makam para wali dan bertawasul dengan berbagai cara. Aman Abdurrahman menyebut mereka sebagai Quburiyun (penyembah kuburan). Sebuah istilah yang dimunculkan pertama kali oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, lalu dipopuler oleh para ulama Wahhabi generasi pertama untuk menyerang Kesultanan Turki Usmani yang didukung penuh kaum sufi.

Aman Abdurrahman mencoba menjalankan keyakinannya secara konsisten. Termasuk ketika dia harus menganggap kedua orang tuanya sebagai orang-orang kafir. Aman Abdurrahman menulis risalah kecil berjudul “Ayah, Ibu, Bergabunglah Bersama Kami.” Dalam buku kecil berjumlah 20 halaman itu menempatkan kedua orang tuanya sebagai orang kafir yang harus beriman sesuai dengan pahamnya.

Dalam paragraf-paragraf awal, Aman Abdurrahman menulis, “Ayah Ibu… itu tadi adalah inti dari “Dienul Islam.” Ini yang merupakan makna Laa ilaaha illallaah yang mana orang tidak menjadi muslim kecuali dengan merealisasikan hal itu. Semua rasul, inti dakwahnya adalah sama, yaitu beribadah kepada Allah dan menjauhi thaghut… Orang yang beribadah kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa namun tidak meninggalkan ibadah terhadap thaghut, maka dia tidak merealisasikan Laa ilaaha illallaah, sehingga dia bukan lagi orang muslim.”

Permis ini dilanjutkan dengan sebuah seruan. Aman Abdurrahman menulis, “Ayah Ibu… setelah uraian tadi, ananda ingin mengajak kalian untuk meninggalkan kemusyrikan dan kekufuran yang masih saja kalian lakukan.”

Dia juga menulis, “Janganlah kalian meminta doa atau syafaat kepada orang yang sudah meninggal dunia, meskipun itu adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.”

Dia menulis lagi, “Ayah Ibu… manfaat dan madharat, pemenuhan kebutuhan, penyelamatan dari bencana, dan pengkabulan do’a hanyalah di Tangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan bila itu diyakini dari selain Allah, maka itu adalah syirik akbar. Oleh karena itu jangan ikutikutan membaca shalawat Nariyyah (Munfarijah) yang dibuat-buat oleh kaum Quburiyyun karena isinya adalah syirik akbar, karena isinya banyak bertentangan dengan banyak ayat Allah dan hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.”

Pernyataan-pernyataan di atas menunjukkan bahwa Aman Abdurrahman merasa sudah berada di posisi yang benar. Sedangkan kedua orang tuanya berada dalam posisi salah, kafir dan musyrik. Apa saja yang menurut Aman Abdurrahman menjadi kesalahan dalam diri kedua orang tuanya? Ternyata adalah amalan yang sangat populer di kalangan Muslim tradisional seperti yang menjadi kebiasaan orang-orang NU.

Menurut Aman Abdurrahman, Shalawat Nariyah merupakan bacaan yang penuh dengan kemusyrikan. Bahkan berisi syirik akbar. Menurutnya, di dalamnya terkandung pernyataan yang bertentangan dengan Al-Quran dan hadis. Bacaan tersebut dibuat oleh kaum Quburiyun (penyembah kuburan).

Di sini, kita bisa melihat bahwa kedua orang tua Aman Abdurrahman agaknya adalah seorang Muslim tradisionalis. Hal ini diketahui oleh Aman Abdurrahman, karena memang Aman Abdurrahman pada masa kecilnya adalah seorang Muslim tradisionalis. Pernah mengaji dan belajar ilmu nahwu dan sharaf kepada kiai pesantren tradisional. Dalam fase hidupnya, Aman Abdurrahman setidaknya mengalami perubahan orientasi sebanyak lima kali.

Pertama, fase masa kecil hingga remaja yang didominasi pandangan tradisional Muslim. Kedua, fase puritan dimana dia mulai tertarik dengan ide pemurnian agama ala Wahhabisme. Puncaknya dia berhasil kuliah di LIPIA, Jakarta. Ketiga, fase politis pertama saat dia bergabung dengan Jamaah NII di kawasan Lenteng Agung, Jakarta. Keempat, fase politis kedua yang ditandai dengan bergabungnya Aman Abdurrahman sebagai salah satu kader Partai Keadilan (PK). Kelima, fase jihadisme yang ditandai dengan ketertarikan Aman Abdurrahman terhadap ide-ide Salafi-Jihadi ala Abu Muhammad Al-Maqdisi melalui doktrin Tauhid dan Jihadnya. Sekalipun pada akhirnya, Aman Abdurrahman juga mengkafirkan Abu Muhammad Al-Maqdisi karena tidak bersumpah setia kepada ISIS.

Bisa dikatakan, pandangan Aman Abdurrahman tidak berbeda dengan pandangan kaum Wahhabi pada umumnya yang memandang bacaan Shalawat Nariyah berisi kemusyrikan. Yang membuatnya berbeda adalah ketika Aman Abdurrahman berbicara tentang politik. Beberapa poin di bawah ini akan menggambarkannya.

Menyinggung demokrasi, Aman Abdurrahman menulis, “Ayah Ibu… apakah kalian ikut serta dalam pemilu, baik sebagai pemberi suara, panitia, saksi, petugas keamanannya atau tugas lainnya? Bukankah pemilu itu adalah pesta demokrasi? Sedangkan demokrasi itu adalah ajaran agama (dien) di luar Islam, karena dalam Islam sesungguhnya wewenang penetapan hukum hanya di tangan Allah.”

Aman Abdurrahman menggambarkan kedua orang tuanya sebagai orang yang bangga terhadap dasar Negara Indonesia, Pancasila. Aman Abdurrahman mengatakan,  “Ayah Ibu… saya melihat kalian sangat bangga sekali dengan Pancasila, sampai-sampai kalian senang sekali bila si kecil sudah pandai bernyanyi Garuda Pancasila, dan dengan bangganya kalian pasang gambar lambang burung tersebut, bahkan kalian ikut merayakan hari kesaktiannya.”

Orang tua Aman Abdurrahman agaknya adalah orang-orang yang sangat mencintai negerinya. Bangga dengan negaranya. Agaknya pengalaman masa kecil Aman Abdurrahman ini sangat berkesan. Dia pernah dibanggakan karena pandai menyanyikan lagu Garuda Pancasila. Mengenang masa kecilnya itu, Aman Abdurrahman menyesal dan menyatakan bahwa Pancasila yang dibanggakan kedua orang tuanya mengandung doktrin kemusyrikan. Dia menulis,

“Ayah Ibu… ketahuilah, sesungguhnya falsafah Pancasila yang dibanggakan oleh kaum musyrikin di negeri ini adalah ajaran kufur lagi syirik yang “digali” dari bumi Indonesia. Mereka akui itu bukan ajaran samawi (langit) tapi ajaran bumi yang penuh dengan syaitan jin dan syaitan manusia.”

Aman Abdurrahman membenturkan Islam dan Pancasila sebagaimana pandangan kaum ekstremis pada umumnya. Dia menulis, “Bukankah agama Pancasila mengakui semua agama-agama yang ada, semua direstui dan diridhai oleh “tuhan” Pancasila (burung garuda), sedangkan Tuhan Yang Maha Tinggi Allah hanya merestui dan meridhai satu saja, yaitu Al-Islam.”

Aman Abdurrahman agaknya pernah berdialog dengan kedua orang tuanya tentang paham yang dianutnya. Setelah dialog itu, dia merasa bahwa kedua orang tuanya bisa memahami keyakinannya. Tetapi mereka sendir tidak dapat meninggalkan posisinya sebagai Muslim tradisionalis yang setia dengan Pancasila karena alasan politis. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam pernyataan Aman berikut, “Ayah Ibu… masih ada satu lagi yang ingin ananda sampaikan. Ananda bersyukur ayah dan ibu telah memahami tauhid ini, tetapi ananda sangat kecewa saat ayah menyampaikan bahwa boleh melakukan kekafiran dengan alasan siasat (taqiyah) karena takut dari orang kafir.”

Di sini, dengan segala khazanah pengetahuan yang dimilikinya Aman Abdurrahman berusaha menunjukkan bahwa kedua orang tuanya berada dalam posisi yang salah dan mendukung kemusyrikan. Aman Abdurrahman kecewa dengan sikap orang tuanya.

Buku kecil “Ayah Ibu Bergabunglah Bersama Kami” menggambarkan relasi Aman Abdurrahman dengan kedua orang tuanya yang berbeda pandangan dalam masalah politik keagamaan. Dalam bagian lain tulisannya, Aman Abdurrahman sering menjelaskan bahwa konsekuensi kekafiran –seperti yang terjadi orang tuanya, adalah bolehnya membunuh pelakunya. Tetapi, sampai sejauh ini, penulis belum menemukan statemen Aman Abdurrahman yang ingin membunuh kedua orang tuanya. Ini tentu tidak diharapkan. Melihat bahasa yang digunakan Aman Abdurrahman yang masih mencerminkan kesopanan, bisa kita katakan, ketika seorang ideolog ISIS di Indonesia mengkafirkan orang tuanya, belum tentu juga dia berani membunuhnya. Berkata kasar saja dia masih pikir-pikir. Sekalipun tulisannya mengandung kekerasan-kekerasan tertentu, tetapi tidak secara vulgar ditampilkan sebagaimana dalam karyanya yang lain.