Radikalisme yang menjalar di kampus kembali mengemuka lewat pernyataan Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Polisi Hamli yang menyebutkan bahwa 7 kampus besar di Indonesia telah terpapar beberapa waktu yang lalu. Sontak saja, pernyataan ini menimbulkan tanggapan dari berbagai pihak yang pro dan kontra atas pernyataan lembaga tersebut. Meskipun menimbulkan perdebatan, satu hal yang harus dipahami bahwa potensi radikalisme telah menjalar di level mahasiswa dan tersebar di berbagai kampus.
Sampel terpaparnya kampus atas paham radikalisme terlihat ketika terjadi penangkapan 3 orang di kampus Universitas Negeri Riau beserta barang bukti beberapa bom rakitan. Selain itu, terdapat nama Siska Nur Azizah seorang perempuan muda yang diduga akan melakukan serangan terhadap polisi juga memiliki latar belakang mahasiswi. Selama ini potensi munculnya radikalisme di kalangan terpelajar cukup besar.
Pada Tahun 2017 Kemarin, lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis data bahwa 6,12 %responden pelajar dan mahasiswa setuju jika bom Bali 2002 sebagai perintah agama. Lebih lanjut, riset juga merilis bahwa 40, 82 persen responden menjawab bersedia dan 8,16 persen responden menjawab sangat bersedia melakukan penyerangan terhadap orang atau kelompok lain yang dianggap menghina agama Islam. Data ini menjadi bahan yang harus diperhatikan bagi pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk meredam sikap dan faham radikalisme hingga potensi terorisme sejak dini.
Mencari Formula Efektif
Pencegahan penyebaran pemahaman radikalisme yang menjurus pada tindakan teorisme dilingkungan kampus dengan sikap represif perlu dirumuskan ulang sehingga memunculkan kebijakan dan langkah antisipatif yang efektif. Jika mengamini klasifikasi gerakan radikalisme menurut Azyumardi Azra ada dua yaitu soft radicalism yang menolak ajaran islam selain pemahaman mereka dan revolusioner radicalism dengan bentuk gerakan yang berorientasi pada tindakan jihad dan mendirikan khilafah. Untuk menyikapi paham ini, Kemenristekdikti dan Universitas secara otonom harus mengambil kebijakan atau langkah taktis yang sesuai dengan kapasitas mereka. Tidak bisa dengan sikap tergesa-gesa mengambil langkah represif.
Untuk melawan doktrinasi paham radikal di kampus, Kemenristekdikti perlu melakukan beberapa langkah taktis yaitu (1) melalui peran internal universitas dan (2) menjalin kemitraan dengan kelompok Cipayung (GMNI, PMII, HMI, PMKRI dan GMKI) untuk terlibat dalam counter wacana radikalisme di kampus.
Untuk internal universitas, Kemenrisetdikti perlu memberikan sebuah kebijakan khusus di ranah kurikulum yang bermuatan wawasan kebangsaan dan gagasan anti radikalisme di lingkup universitas.
Lebih lanjut, Kemenristekdikti mendorong universitas di seluruh Indonesia agar menghimbau organisasi intra kampus seperti Bem, DPM maupun Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) untuk meingkatkan diskursus rutin di tingkat mahasiswa dengan konten kajian-kajian pluralisme, toleransi, demokrasi, dan kajian moderat lainya. Gerakan ini diambil sebagai langkah konkret untuk membendung wacana radikalisme yang cenderung kontra dari gagasan tersebut.
Sejak kebijakan NKK BKK diterapkan di era orde baru melalui surat keputusan Nomor O156/U/1978, otomatis berdampak pada nihilnya eksistensi gerakan ekstra mahasiswa di lingkungan kampus. Kondisi ini pula yang menurut Azyumardi Azra membuat wacana radikalisme di kampus tidak memiliki saingan. Organisasi ekstra dalam hal wacana hari ini di kampus cenderung ompong. Karena itu, gerakan-gerakan anti pancasila, pro-khilafah dan kelompok-kelompok yang menghalalkan kekerasan seperti di Universitas Riau muncul dengan leluasa menanamkan doktrinnya.
Kemenristekdikti dituntut untuk lebih berani untuk menjalin komunikasi hingga kerjasama dengan kelompok Cipayung yang terdiri atas organisasi GMNI, HMI, PMII, PMKRI dan GMKI dalam upaya penyebaran wacana kontra radikalisme. Meskipun, NKK/BKK menghalau organisasi ekstra melakukan aktifitas dalam kampus, akan tetapi gerakan tersebut tetap tumbuh subur diluar pagar kampus. Kemenrisetdikti diharapkan membuat sebuah diskresi keputusan dengan mendorong kampus-kampus untuk menjalin kemitraan dengan kelompok Cipayung. Tujuan kerjasama tersebut adalah penyelenggaraan berbagai agenda kegiatan baik diskusi ilmiah dan populer hingga kegiatan inovatif bertema-kan anti radikalisme serta terorisme yang menyasar para mahasiswa.
Menyebar wacana tandingan
Saat menangani paparan radikalisme kampus tidak bisa kita menyamakan kapasitas insan akademis dengan langkah-langkah taktis pihak keamanan seperti densus 88. Kalangan akademisi harus tahu peran bahwa aparat keamanan yang menangani secara keras dan represif, sedangkan akademisi bermain di wilayah pertarungan wacana. Sebagai insan akademis kita perlu menempuh cara-cara elegan head to head langsung dengan kelompok-kelompok berpaham radikal melalui pembentukan diskursus tandingan yang masif.
Sebelum berbicara terlalu jauh layaknya anjing penjaga malam dengan mewacanakan langkah represif antisipasi, kalangan akademisi kita perlu merumuskan silabus atau panduan terkait konsep atau wacana apa yang efektif untuk memberangus pola fikir khilafah, jihad secara dangkal hingga menghalalkan kekerasan.
Menurut Joevarian (2018) dalam artikelnya yang bertajuk “Ideologi dan agama hanya sebagian alasan aksi terorisme pasca 11 September” menjelaskan jika sikap radikal hadir karena disebabkan beberapa hal seperti (1) persepsi atas ketidakadilan oleh kelompok tertentu, (2) merasa identitasnya terancam, (3) hilangnya makna hidup karena berbagai hal hingga standar justifikasi moral yang memperbolehkan kekerasan. Silabus itulah yang berfungsi untuk mematahkan segala argumentasi, perspektif dan keyakinan yang dimiliki karena berbagai sebab tersebut.
Langkah aksinya adalah menyuburkan panggung-panggung kajian, diskusi dan seminar yang membedah secara rinci terkait problematika dan kedangkalan yang hadir dari pemikiran dan sikap radikal yang mengarah pada tindakan terorisme.
Untuk itu, Kemenristekdikti dan Universitas perlu memberikan stimulus dana, fasilitas dan legitimasi formal. Struktur internal kampus seperti BEM hingga HMJ dan Kelompok Ekstra Cipayung grup menjadi garda terdepan dalam melakukan counter atas doktrin radikal yang terlanjur diyakini oleh beberapa kelompok mahasiswa.