Setahun yang lalu setelah pengajian Maulid di Kanzus Sholawat, saya sowan kepada Maulana Habib Luthfi Bin Yahya, Pekalongan. Sebab beberapa malam sebelumnya saya sudah sowan dalam mimpi bersama beliau.
Ternyata betul, meskipun antri seharian bersama banyak orang dengan identitas berbeda-beda, satu persatu bergantian menghadap Habib Luthfi. Giliran saya di hadapan beliau saya mengenalkan diri. Tanpa basa-basi Habib Luthfi langsung menyapa saya dengan Bahasa Madura. Padahal tidak pernah ada perjumpaan sebelumnya. Sebagai santri yang lama di Ploso, saya tetap memakai bahasa Kromo Inggil dari logat Jawa. Habib Luthfi tidak bergeser tetap menggunakan Bahasa Madura. Akhirnya sowan saya kepada beliau tidak dipahami oleh tamu-tamu yang lain.
Para tamu saya lihat tidak ada yang sama, ada dari kalangan sesama Habaib yang berjubah, ada dari kalangan kiai yang melilitkan surban di kepalanya, ada model santri, juga terlihat seorang tamu berambut gondrong di atas bibirnya melintang kumis tebal, juga ada orang yang rapi sekali dalam berpakaian putih dan celana hitam. Intinya semua diterima oleh Habib Luthfi dan mereka nyaman dan merasa ternaungi di dekat teduhnya kata-kata dan pandangan Habib Luthfi.
Inilah dakwah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam yang dijalankan oleh Habib Luthfi sebagaimana firman Allah kepada Nabi-Nya:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
Artinya:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka…” (QS: Ali Imran ayat 159)
Di kesempatan yang lain, saya menjumpai kalangan Non Muslim pun juga ditemui oleh Habib Luthfi. Saya juga tidak pernah mendengar beliau mencaci maki atau mendoakan buruk kepada Non Muslim. Inilah yang beliau warisi dari leluhurnya yang agung, yakni Rasulullah shalallahu alaihi wasallam:
ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ، ﻗﺎﻝ: ﻗﻴﻞ: ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ اﺩﻉ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺸﺮﻛﻴﻦ ﻗﺎﻝ: ﺇﻧﻲ ﻟﻢ ﺃﺑﻌﺚ ﻟﻌﺎﻧﺎ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺑﻌﺜﺖ ﺭﺣﻤﺔ
Artinya:
“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ditanya, ‘Wahai Rasulullah, doakanlah marabahaya untuk orang-orang Musyrikin’. Nabi bersabda, ‘Aku diutus bukan sebagai tukang laknat. Aku diutus sebagai Rahmat/ pembawa kasih sayang’. (HR Muslim).
Ini adalah perilaku keseharian Maulana Habib Luthfi Bin Yahya dalam berdakwah. Jikalau hari ini mendapat gelar kehormatan sebagai Doktor Honoris Causa di bidang dakwah hanyalah formalitas belaka.
Di antara yang beliau sampaikan saat penganugerahan gelar doktor adalah keutamaan dakwah tanpa menghunus pedang, atau tanpa membunuh orang. Saya yakin beliau sudah menguasai banyak kitab. Namun bagi orang yang baru tahu seperti saya, inti dawuh beliau adalah bersumber dari beberapa literatur kitab Fikih, seperti yang disampaikan Syekh Khatib Asy-Syarbini yang mengutip dari Syekh Az-Zarkasyi:
ﻭﻭﺟﻮﺏ اﻟﺠﻬﺎﺩ ﻭﺟﻮﺏ اﻟﻮﺳﺎﺋﻞ ﻻ اﻟﻤﻘﺎﺻﺪ، ﺇﺫا اﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﺑﺎﻟﻘﺘﺎﻝ ﺇﻧﻤﺎ ﻫﻮ اﻟﻬﺪاﻳﺔ ﻭﻣﺎ ﺳﻮاﻫﺎ ﻣﻦ اﻟﺸﻬﺎﺩﺓ، ﻭﺃﻣﺎ ﻗﺘﻞ اﻟﻜﻔﺎﺭ ﻓﻠﻴﺲ ﺑﻤﻘﺼﻮﺩ ﺣﺘﻰ ﻟﻮ ﺃﻣﻜﻦ اﻟﻬﺪاﻳﺔ ﺑﺈﻗﺎﻣﺔ اﻟﺪﻟﻴﻞ ﺑﻐﻴﺮ ﺟﻬﺎﺩ ﻛﺎﻥ ﺃﻭﻟﻰ ﻣﻦ اﻟﺠﻬﺎﺩ
Kewajiban jihad adalah sebagai perantara, bukan tujuan. Sebab tujuan jihad dalam perang adalah hidayah dan syahid. Membunuh orang kafir bukan tujuan jihad. Jikalau hidayah dapat diperoleh dengan diskusi dalil tanpa perang adalah lebih utama dari pada perang (Mughni Al-Muhtaj, 4/9).
*Tulisan ini diambil dari FB KH. Ma’ruf Khozin, selengkapnya klik di sini