Baru-baru ini, pendakwah favorit anak muda, Hanan Attaki, kembali mendapatkan penolakan warga di salah satu daerah Jawa Timur. Masyarakat di daerah tersebut menyebut Hanan terindikasi bermazhab Wahabi dan dituding sebagai anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi yang telah dicap terlarang oleh Pemerintah Indonesia.
Pendakwah asal Aceh itu telah memberikan klarifikasi dan bantahan atas tuduhan tersebut. Bahkan, warganet juga turut menyampaikan keberatan mereka atas penolakan tersebut, khususnya kalangan anak muda dan kelompok para pendakwah populer seperti Shifruun dan Aab ElKarimi.
Shifruun dalam konten Tik Toknya mengatakan, “Apakah ustadznya atau Islamnya yang kalian benci?” Jelas, pernyataan Shifruun ini seperti “memancing di air keruh.”
Saya sepakat penolakan warga atas sosok Hanan tidak bisa diterima begitu saja. Terlebih jika ditelisik lebih dalam, sikap antipati masyarakat tersebut malah bisa berubah menjadi langkah yang kontra-produktif. Jadi, mari kita telusuri bersama-sama.
***
Dalam laporan Alvara Institute terkait keberagamaan masyarakat urban dan kelas menengah Muslim, disebutkan bahwa preferensi keberislaman mereka tidak lagi sama dengan apa yang selama ini kita bayangkan terhadap Islam. Salah satu tanda dari pergeseran keberagamaan mereka adalah ikatan akan mazhab atau organisasi keberagamaan yang tidak lagi sama dengan masyarakat Muslim terdahulu.
Selain itu, ditambahkan oleh Greg Fealy, akademisi asal Australia, bahwa masyarakat Muslim perkotaan tersebut lebih bersifat mengonsumsi agama, ketimbang memeluk agama. Sehingga, agama tidak lagi dipandang sebagai sebuah ajaran yang dijalankan dengan ketaatan belaka, namun mereka juga melihatnya sebagai produk jualan yang bisa dipilih dan dipadukan yang sesuai dengan selera mereka.
Buktinya bisa kita lihat dari pernyataan dua pendakwah populer hari ini di kalangan Muslim perkotaan, yakni Hanan Attaki dan Felix Siauw. Saat memberikan pernyataan klarifikasi atas tuduhan padanya, Hanan Attaki tidak memberikan penegasan pada preferensi organisasi atau mazhab yang dia anut, walaupun dia menyampaikan bahwa amalan yang dilakukan adalah NU. Bahkan, Hanan juga menjelaskan sebagian besar keluarga dan dibesarkan di keluarga yang berlatar NU.
Akan tetapi, Hanan, di saat bersamaan, juga menegaskan bahwa dia lebih suka mengajarkan agama yang dekat dengan anak muda, ketimbang terbatas pada mazhab atau organisasi belaka. Sehingga, jika ditarik dari apa yang disampaikan oleh Hanan adalah sekat-sekat primordial seperti organisasi dan mazhab tidak lagi relevan dengan audiens ceramahnya.
Hampir serupa dengan Hanan, Felix Siauw saat ditanya apakah preferensinya NU atau Muhammadiyah dia malah menjawab, “Saya tidak tahu apakah saya ini NU atau Muhammadiyah” dengan sedikit bercanda. Walaupun begitu, Felix menyebutkan bahwa dia, secara ritual, dekat dengan NU. Sebaliknya di ranah pemikiran, Felix menegaskan bahwa dia dekat dengan Muhammadiyah.
Berangkat dari fakta di atas, antara klarifikasi Hanan dan penolakan warga atas dirinya terdapat perbedaan mencolok dalam melihat wajah keislaman hari ini. Agama bagi masyarakat disandarkan pada menjalankan ajaran dan ritual yang mengekor pada satu mazhab atau organisasi tertentu.
Berbeda dengan sebagian besar masyarakat kita, berislam adalah berpegang pada ajaran agama yang berasal dari satu atau beberapa ulama yang memiliki preferensi mazhab atau organisasi yang sama. Menurut mereka ber-NU atau Muhammadiyah lebih memudahkan dalam menjalankan ajaran agama, karena mereka hanya menjalankan apa yang disuruh atau diterima dari para ulama.
Selain itu, dulu ulama atau otoritas agama tidak bisa dipisahkan dengan tempat, teritori, atau daerah. Di beberapa kelompok masyarakat, otoritas agama biasanya dikaitkan dengan langgar, masjid, ruang diskusi ilmiah, mimbar jumat, pesantren, hingga majelis taklim, sebagai wadah membangun jemaah atau umat.
Biasanya otoritas agama mengajarkan atau menyebarkan pengetahuan dan ajaran agama di langgar, masjid, majelis taklim atau pesantren. Masyarakat pun biasanya mendatangi tempat-tempat tersebut untuk belajar agama. Selain itu, ulama tidak hanya pimpinan agama, namun juga pendamping kehidupan sehari-hari masyarakat Muslim. Mereka menjadi wadah masyarakat bertanya, berkonsultasi, hingga berbagi masalah sehari-hari.
NU-Muhammadiyah mewadahi relasi ulama-masyarakat ini, bahkan tidak jarang kedua organisasi tersebut menjadi bagian dari identitas sebuah wilayah tertentu. Ada kampung Muhammadiyah dan ada juga desa NU, walaupun sangat jarang disebut, namun kebanyakan orang mengetahui fakta ini. Hubungan seperti ini punya sisi rentan, yakni fanatisme.
***
Koneksi antara ulama dan masyarakat sebagai jemaah mulai berubah sejak moda transportasi berkembang pesat. Kalau dulu kita sebagai muslim biasanya belajar terdekat dengan tempat tinggal, hari ini masyarakat semakin mudah menjangkau atau mendatangi ulama yang menggelar pengajaran agama jauh dari rumah mereka.
Ulama tidak lagi terikat pada komunitas kecil seperti langgar atau masjid. Beberapa ulama juga tidak lagi sekedar mengajar di wilayah mereka sendiri, namun juga mulai memiliki jadwal ceramah atau mengajar tetap di luar. Walaupun begitu, ikatan antara masyarakat dan ulama masih cukup kuat, karena mereka terikat dalam satu identitas ulama-jemaah.
Akan tetapi, sejak kehadiran media dan internet terjadi perubahan di kedua entitas, ulama dan masyarakat atau jemaah, yang lebih dahsyat lagi ketimbang kemajuan teknologi transportasi. Di sisi otoritas agama, sosok ulama tidak lagi perlu wadah atau tempat untuk mengajarkan ilmu agama. Bahkan mereka juga lebih banyak dilihat materi yang relate dengan kehidupan masyarakat atau jemaah, khususnya kelas menengah dan urban.
Pada gilirannya, masyarakat Muslim pun turut berubah menjadi pemirsa, ketimbang umat atau jemaah otoritas tertentu. Sehingga, hubungan antara ulama-jemaah tidak lagi sekuat dulu, sebab pemirsa memiliki keleluasaan dalam menentukan dakwah ulama mana yang dia inginkan. Lihat saja, pernyataan Felix dan Hanan di atas. Mereka mengelola pemirsa mereka dengan cara yang berbeda dengan ulama masa lalu, dengan beradaptasi dengan selera pemirsa (baca: jemaah) mereka.
Setiap zaman memiliki bahasa mereka sendiri. Maka, bahasa, gestur, mimik, hingga model pakaian mereka pun beradaptasi atau bernegosiasi dengan selera pemirsa. Mungkin kita tidak lupa dengan permasalahan diksi pada Nabi Musa yang disebut “preman” atau istri-istri Nabi Muhammad yang tergabung dengan “geng” masing-masing. Ini adalah bukti adaptasi atau negosiasi tersebut.
Sehingga, jika kita merunut defenisi otoritas agama dalam kajian yang dilakukan oleh Ismail Fadjrie Alatas, akademisi di New York University, disebutkan bahwa pekerjaan utama seseorang jika ingin menjadi otoritas agama adalah membangun jemaah, maka terdapat perbedaan besar dalam membangun dan pengelolaan jemaah antara ulama terdahulu dengan Felix dan Hanan dkk.
Maka, ikatan ulama-jemaah yang dulu dibangun dari fanatisme, yang mulai melonggar bahkan semakin kabur. Relasi tersebut mulai tergantikan dengan diksi ekskusivitas, yang menuntut masyarakat Muslim membayar lebih untuk menikmati konten keberagamaan yang lebih dalam. Masyarakat Muslim tidak lagi sekedar jemaah, namun juga pemirsa sekaligus konsumen yang siap membayar.
Memang kita juga tidak boleh lengah pada konten-konten Hanan dkk. Bangunan “Islam yang ideal” di ceramah-ceramah Hanan atau Felix bisa saja terselip narasi Islamisme yang kental, yang kapan saja bisa menjadi modal sosial menjadi gerakan Islam politik seperti HTI. Wajah Islamisme atau Islam Politik dengan otoritas agama macam Hanan dkk. jauh lebih kompleks dari ajakan untuk melakukan tindakan ekstrimisme atau vandalisme.
Ariel Heryanto, akademisi asal Australia, menyebutkan Islam di kebanyakan masyarakat perkotaan hari ini disandarkan pada komitmen moral untuk mengoreksi modernisasi, yang dianggap telah mengacak-acak ajaran Islam. Walaupun, di sisi lain, mereka juga menjadi konsumen aktif berbagai budaya atau gaya hidup modern.
Tuduhan “Wahabi” atau label aliran atau kelompok lain atas sosok Hanan sangat mungkin salah sasaran, sehingga dapat dibantah dengan mudah. Selain bagi kelompok Hanan dkk., aliran atau kelompok bernama jemaah tidak lagi relevan dengan model atau gaya dakwah mereka, narasi Islamisme atau narasi Islam Politik telah bertransformasi dengan model-model narasi yang semakin canggih. Maka, kita lebih dituntut lebih berfokus pada ide-ide ketimbang serangan konfrontatif.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin