Pernak-Pernik Satu Abad NU: Dari Para Kyai yang Terjebak Macet dan Kritik yang Proporsional

Pernak-Pernik Satu Abad NU: Dari Para Kyai yang Terjebak Macet dan Kritik yang Proporsional

Pernak-Pernik Satu Abad NU: Dari Para Kyai yang Terjebak Macet dan Kritik yang Proporsional

Resepsi Satu Abad Nahdlatul Ulama sudah selesai dan menyisakan banyak hal mengesankan. Melihat ribuan warga Nahdliyyin berbondong-bondong ikut serta hadir untuk mengekspresikan rasa cintanya kepada NU, membuat hati saya bergetar. Belum lagi jika mendengar pidato Gus Yahaya yang dengan berapi-api menyambut kedatangan abad ke-2 NU, getaran rasa haru tiba-tiba menyeruak ke sekujur tubuh.

Meskipun telah usai, pernak-perniknya masih melekat dan terbawa sampai hari ini, seperti halnya Qasidah Nahdliyah Satu Abad NU karya K.H Afifuddin Muhajir, yang lirik serta aransemennya sangat indah dan sarat akan makna, membuat saya tidak pernah bosan mendengarkannya berulangkali, dan membawa perasaan khidmat tersendiri tiap kali mendengarkannya.

Namun di luar semua itu, pernak-pernik Satu Abad NU yang tak kalah mengesankannya adalah cerita-cerita yang menyertainya.

Para Kyai Sepuh Terjebak Macet

Seperti cerita tentang sebagian kiyai-kiyai sepuh NU yang tidak bisa hadir di Stadiun Delta Sidoarjo karena terjebak macet, atau seperti video yang dibagikan oleh salah seorang teman di status whatsapp-nya yang memperlihatkan K.H Afifuddin Muhajir tengah berjalan kaki sementara rombongan pejabat negara dengan protokol ketatnya meluncur mulus melewati beliau menuju tempat acara Resepsi.

Tak sedikit rekan-rekan yang mengritik hal tersebut, melihatnya sebagai suatu kemiriasan; bagaimana bisa para kiyai sepuh yang seharusnya diposisikan sebagai shahibul hajah justru tidak dapat hadir karena macet sedangkan para pejabat negara yang hanya sebatas tamu undngan justru berbanding terbalik. Bahkan, ada beberapa orang yang sampai mencibir kecewa terhadap penyelengraraan acara dengan mengatakan bahwa puncak Resepsi Satu Abad NU adalah ‘resepsinya pejabat pemerintah’.

Tentu kekecewaan itu sangat bisa dimaklumi, ekspresi kecewa semacam itu tentu adalah bagian dari ekspresi cinta mereka kepada para guru, masyayikh, dan kiyai-kiyai khos NU.

Saya pun jujur merasa sedikit kecewa pertama kali melihatnya, seperti ketika membaca status whatsapp Ny. Shobihah Maimun yang bercerita tentang rombongan beliau bersama para masyayikh sepuh yang berangkat jam empat pagi dari hotel menuju Stadiun Delta Sidoarjo terjebak macet dan terpaksa harus turun dan berjalan kaki menuju rest area terdekat, membayangkan keadaan dan kondisi belaiu-beliau saat itu saja sudah membuat hati cukup kucewa dan sedih.

Kritik yang Proporsional

Namun cukuplah kekecewaan semacam itu kita simpan untuk introspeksi diri, tidak harus berlebihan mengkritik penyelenggaraan Resepsi Satu Abad NU, apa lagi sampai menyebarluaskan sentimen negatif yang dapat menyulut rasa dengki orang lain pada NU.

Sebaliknya, justru kita sudah seharusnya dapat mengambil pelajaran dari sikap para masyayikh kita, tentang kesabaran, ketawadlu’an, ketulusan serta kebesarana cinta mereka pada NU, sehingga meskipu terhenti di rest area, mereka tetap bertahan di sana sampai acara usai.

Jangan sampai rasa cinta kita pada para ulama, menjadikan kita jatuh kedalam ego trap diri sendiri. Merasa pantas menghakimi dan memandang rendah orang lain yang tidak merasakan hal yang sama dengan yang kita rasakan serta mempunyai ekspresi cinta yang berbeda dengan yang kita miliki.

Bukankah beliau-belaiu yang kita cintai dan takzimi itu yang mengajarkan kepada kita untuk berkhidmah dan mencintai NU, cinta mereka kepada NU yang tanpa syarat, yang senantiasa mereka perlihatkan disetiap dawuh dan tindak lampah mereka, harusnya sudah cukup sebagai dalil kita untuk juga mencontohnya.

Tidak ada yang sempurna di dunia ini, selalu ada kemungkinan bagi kita untuk kecewa terhadap sesuatu, termasuk juga pada NU. Tapi yang perlu kita pastikan adalah tekad kita untuk membersamai ketidaksempurnaan itu demi membawa visi Islam yang rahmatan lil alamin lewat Nahdlatul Ulama. Seperti salahsatu bait Qasidah K.H Afifuddin Muhajir:

بِنَهْضَةِ العُلَمَا اَنْهِضْ عَزَائِمَنَا : نَرْعَى بِهَا الْمَجْدَ وَالْإِسْلَامَ وَالْوَطَنَا

 “Dengan Nahdlatul Ulama, kita bangkitkan tekad # Melalui Nahdlatul Ulama kami menjaga kemulian, Islam dan tanah air.”

NU bukan sekedar jam’iyah yang kita bangga-banggakan sebagai organisasi Islam terbesar di dunia, lebih dari itu, NU adalah perwujudan dari tekad serta niat baik para ulama untuk menjaga kemuliaan Islam.

Selamat memperingati 100 tahun Nahdlatul Ulama bagi kita semua, selamat menyambut abad kedua dengan penuh rasa cinta dan tekad yang kuat untuk berkhidmah pada Islam lewat Nahdlatul Ulama. (AN)