Menelusuri Perdebatan Moderatisme Islam dan Ultra-Konservatisme di Internet

Menelusuri Perdebatan Moderatisme Islam dan Ultra-Konservatisme di Internet

Bagaimana pertarungan wacarana antara moderatisme Islam dan konservatisme? Penelusuran perdebatan di digital menjadi penting untuk mengurai persoalan ini

Menelusuri Perdebatan Moderatisme Islam dan Ultra-Konservatisme di Internet
moderatisme dalam islam bukan sekadar wacana, apalagi jika dikaitkan dengan digital. (Desain Fera R)

Bagaimana pertarungan wacana antara moderatisme Islam dengan Konservatisme/Ultra-konservatisme bergelut di Internet. Tulisan ini mencoba menganalisis mendalam terkait fenomena ini dan efeknya

Sewaktu kecil, saya belum mengenal perbedaan mazhab atau perbedaan ritual keislaman. Sebab, saya hidup dalam sebuah masyarakat komunal yang mengamalkan kental Islam tradisionalis. Namun, semuanya berubah pada tahun 1994, kala itu ada masjid di dekat rumah Nenek saya merayakan hari raya berselisih dengan keputusan pemerintah.

Sejak itu saya baru mengetahui bahwa adanya orang Islam yang menjalankan ritual berbeda dengan apa yang saya jalankan selama ini. Sejak itu pula saya mengenal terminologi khas urang Banjar, yakni “buhan sebelah (orang sebelah)”. Kata tersebut merujuk pada sekelompok masyarakat yang menjalankan ritual keislaman yang berbeda dari kebanyakan masyarakat Banjar.

Baru setelah kuliah, saya baru menyadari istilah tersebut sebenarnya bernada negatif, karna dipakai sebagai ungkapan sarkasme dari masyarakat Banjar, yang mayoritas menjalankan Islam tradisionalis, untuk menunjuk mereka yang dianggap beraliran modernis. Segregasi ini di masyarakat Banjar masih dapat dirasakan dampaknya hingga sekarang.

Apa yang saya rasakan di tanah Banjar sebenarnya bukanlah barang asing di Indonesia. Diskursus keislaman di masyarakat sebenarnya masih berkutat pada klasifikasi klasik, yakni moderat vis a vis konservatif atau moderatisme Islam seakan bertarung dengan konservatisme maupun ultrakonservatisme. Anda boleh saja tidak setuju asumsi ini, namun diskursus keislaman yang dominan hadir di masyarakat, termasuk di internet, adalah diskursus dari dua kelompok tersebut.

Dengan kehadiran internet dan media sosial, khazanah diskusi keislaman populer di Indonesia bisa dijumpai dengan sangat mudah. Ia berseliweran hampir setiap saat di pelbagai platform dan kanal yang tersedia di internet. Masing-masing organisasi hingga aliran berekspresi dengan mudah menggunakan teknologi digital dan internet yang tersedia.

Menariknya, perbincangan keislaman populer di internet masih dipenuhi dengan berbagai sudut pandang yang berpijak pada oposisi biner konservatif/moderat. Rasa-rasanya sulit menjumpai ekspresi keagamaan selain dari keduanya.

Namun, dalam relasi kehidupan manusia yang saling berkelindan seperti sekarang ini, terutama pasca kehadiran internet, kita akan sangat mudah menjumpai postingan dari aliran atau kelompok yang berbeda dengan apa yang kita jalankan sehari-hari.

Tentu hal ini menuntut kita untuk lebih bijak menghadapi perbedaan tersebut. Namun, kita juga perlu melihat bagaimana irisan antara anak muda dan pergulatan wacana keagamaan moderat/ konservatif di dunia maya. Sepertinya pergulatan wacana keagamaan yang hadir di internet tidak cukup mempengaruhi keislaman yang mereka hadirkan di internet dengan kenikmatan dan lekat dengan modernitas.

***

Wahyudi Akmaliyah, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam artikelnya The Demise Of Moderate Islam: New Media, Contestation, And Reclaiming Religious Authorities, menegaskan bahwa di tengah kemajuan teknologi internet kelompok moderat merasa terintimidasi dengan kehadiran berbagai otoritas baru. Uniknya, kebanyakan otoritas baru ini lebih banyak menawarkan gagasan konservatif, ketimbang menghadirkan isu-isu moderat.

Kondisi di atas sebenarnya adalah imbas dari era Reformasi, di mana ruang publik dibuka seluas-luasnya sehingga memunculkan peluang-peluang baru bagi para aktivis-aktivis Muslim dengan berbagai latar dan agenda. Gagasan atau wacana tentang Islam Indonesia akhirnya tidak hanya dikuasai dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah.

Wahyudi dalam artikel itu juga menjelaskan bahwa keterancaman kelompok moderat, dalam hal ini NU dan Muhammadiyah, atas kehadiran para pendakwah baru tersebut diekspresikan lewat ungkapan ketidaknyamanan, penolakan, hingga pengusiran. Kejadian ini bahkan terjadi tidak hanya satu atau dua kali dalam beberapa tahun terakhir.

Wacana moderatisme dalam diskursus keagamaan sejatinya tidak kalah, cuma suaranya saja lebih kecil. Pict by Fera R

Adapun alasan keterancaman dari kelompok moderat didasari pada kehadiran otoritas agama baru lewat media baru, terutama di media sosial, dan situs-situs Islam. Hal ini memberi mereka kesempatan untuk memperbesar suara mereka, yang berdampak pada perhatian ranah Muslim di Indonesia.

Jadi, pergulatan wacana keislaman di internet antara kalangan moderat dan konservatif tidak hanya soal kehadiran subjek pendakwah. Namun, juga terkait soal gagasan yang dihadirkan oleh para pendakwah baru tersebut, yang ditengarai dekat dengan gagasan konservatisme.

Dalam hal ini Carol Kersten, akademisi di King’s College, London, menjelaskan salah satu perdebatan paling sengit terkait isu moderatisme di Indonesia adalah terjadi pada tahun 2005. Pada saat itu Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang mengharamkan pluralisme, liberalisme dan sekularisme karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam, terutama dalam hal akidah dan ibadah.

Kersten juga menjelaskan bahwa sejarah intelektual Indonesia sangat dipengaruhi fenomena domestik mantan penjajahnya, yaitu Belanda. Kolonialisme di Indonesia mewariskan fenomena “Verzeuling” atau lebih dikenal dengan aliranisasi. Ini mengacu pada fragmentasi kehidupan politik, sosial, budaya, pendidikan, dan tentunya keagamaan. Sehingga wajar jika kita sekarang mengenal Islam di Indonesia dalam fragmentasi moderat-konservatif, sebagaimana dijelaskan di atas.

Sebelum lebih jauh, kita perlu mengetahui bahwa penelusuran atas wacana yang beredar di internet, dalam hal ini dikuasai oleh kalangan pendakwah baru, harus dilihat dari bagaimana praktik wacana tersebut. Norman Fairclough, akademisi asal Inggris, ada dua hal yang paling penting dalam praktik wacana tersebut; yakni produksi teks dan konsumsi teks.

Di atas kita telah membicarakan bagaimana para pendakwah baru tersebut seringkali tidak memiliki keterkaitan dengan dua ormas agama terbesar di Indonesia. Mereka memiliki hubungan dengan kelompok Salafi, Tahriri, hingga Wahabi. Ketiga aliran ini sangat dekat dengan isu-isu konservatif, seperti pemurnian akidah atau pendirian negara Islam. Akibatnya, praktik wacana dalam keislaman  (baca: moderatisme) di internet terutama dijejali dua isu yang saling berkelindan ini.

Untuk menjelaskan bagaimana isu atau wacana konservatisme yang didedahkan lewat internet, kita perlu menelusuri terlebih dahulu bagaimana kemunculan wacana keislaman konservatif tersebut dalam rentang sejarah Islam. Karen Amstrong dan Bassam Tibi menjelaskan bahwa wacana konsevatisme ditengarai mulai muncul atas respon dari perjumpaan masyarakat Muslim dengan modernitas.

Karen Amstrong, penulis buku tentang agama-agama, menjelaskan pernyebaran semangat konservatisme di kalangan muslim dimulai  sejak abad ke-16. Masa itu ditandai sebagai awal perjumpaan masyarakat Muslim dengan modernitas. Perlu diketahui sebelumnya, kala itu terdapat tiga kerajaan Islam yang besar: Utsmaniyyah di Asia Kecil, Anatolia, Irak, Suriah, dan Afrika Utara; Safawiyah di Iran; dan Mongol di India. Dalam pemerintahan ketiga kerajaan inilah masyarakat dunia sedang memodernkan diri, namun mereka tidak melakukan perubahan radikal.

Akibatnya, ketiga kerajaan tersebut menunjukkan apa yang disebut oleh Marshal Hodson, penulis The Venture of Islam, sebagai “semangat konservatif.” Ketika peradaban modern mulai hadir masyarakat muslim dalam ketiga kerajaan tersebut malah menyambutnya dengan anggapan bahwa gagasan-gagasan baru yang dihadirkan oleh kebudayaan modern dianggap menganggu tatanan sosial dan membahayakan masyarakat. Karen Amstrong menambahkan bahwa pada masyarakat konservatif, stabilitas dan keteraturan sosial dianggap lebih penting daripada kebebasan berekspresi.

Zaman keemasan primordial yang dipandang sebagai model untuk pemerintahan dan individu. Padahal, kita semua mengetahui setiap peradaban pada hakikatnya dianggap rapuh. Orang atau masyarakat bisa dengan mudah berubah menjadi barbarisme, seperti halnya Eropa Barat setelah kejatuhan Romawi pada abad ke-15. Jadi, saat Islam menghadapi serangan kebudayaan di masa pramodern awal, maka pilihan menghadirkan simbol atau model yang khas sebagai wacana tandingan adalah langkah yang populer di kalangan konservatif.

Selain itu, ciri lain di kalangan konservatif adalah aspirasi akan kemurnian, yang diajukan sebagai klaim autentisitas. Hal ini ditegaskan oleh Bassam Tibi dalam bukunya Islam dan Islamisme. Dia berpendapat sama dengan Karen Amstrong bahwa Fundamentalisme agama dalam semua kasus merupakan respon terhadap tantangan modernitas budaya atau muncul dari modernisasi yang sebagian besar telah gagal.

Dalam hal ini, Bassam Tibi menilai aspirasi dan usaha kalangan konservatif dalam autentisitas didasarkan pada agenda pemurnian budaya, atau lebih tepatnya mereka ingin memurnikan Islam dari “pengaruh Yahudi.” Idenya adalah memurnikan Islam dari pengaruh apapun, entah itu modernisasi, Yahudi atau apapun yang ada di luar Islam.

Baca juga: Perempuan dalam pandangan Islam konservatisme

Islam yang “tidak terkontaminasi” adalah ide baru yang jika ditelusuri kembali maka berujung pada karya Sayyid Qutb, yang kemudian diwarisi oleh anak muridnya, Yusuf al-Qardhawi. Selain itu, kalangan konservatif biasanya melabeli orang-orang yang berpikiran terbuka ala Barat sebagai orang yang telah terinfeksi oleh virus asing dan bukan lagi Muslim autentik.

Terakhir, permurnian lainnya yang khas di kalangan konservatif adalah pemurnian akidah dan ritual.  Persoalan ini telah lama ada di lintasan sejarah keislaman di Indonesia. Kehadiran kelompok Salafi dan Wahabi dianggap sebagai bagian dari proyek pemurnian ini. Lihat saja di media sosial kita, perdebatan terkait ritual masih bisa kita temui dengan mudah.

Jika kita amati penjelasan dari Tibi dan Karen di atas maka kita mendapati narasi-narasi yang dihadirkan oleh para pendakwah baru bukanlah wacana baru. Mereka hanya mereproduksi wacana-wacana khas konservatisme yang telah berlangsung lama dalam sejarah Islam.

Persoalannya kemudian wacana-wacana tersebut tidak familiar dan berbeda dengan apa yang selama dihadirkan oleh ormas NU-Muhammadiyah. Wacana kebangsaan dan toleransi antar umat beragama didedahkan oleh NU-Muhammadiyah seringkali berhadap-hadapan atau bertarung dengan kelompok konservatif.

Dalam kondisi ruang publik digital yang dikuasai oleh kelompok konservatif, wacana kebangsaan dan toleransi agak terpinggirkan. Padahal, biasanga, moderatisme tercirikan dengan itu. Sedangkan yang muncul ke permukaan adalah narasi atau wacana-wacana permurnian atau idealisasi Islam, baik ajaran atau sejarah.

Saya melihat terdapat persoalan besar yang mengakibatkan kelompok beserta wacana moderatisme tidak cukup diminati di dunia maya. Sepanjang pengamatan saya, persoalan tersebut terletak pada bagaimana wacana moderatisme yang hadir di dunia maya sepertinya belum terlalu cocok dengan selera warganet, yang dekat dengan kultur modern, konsumsi dan menyenangkan.

Jika kalangan moderat gagal beradaptasi dengan kultur tersebut, maka warganet yang sangat cair dalam beragama lebih cenderung mengonsumsi wacana dari kalangan konservatif. Wacana kekhilafahan dan pemurniaan akidah yang dihadirkan dengan menyenangkan, modern dan dekat dengan konsumsi jelas lebih laku.

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin

 

*Analisis ini hasil kerja sama Islami.co dan Maarif Institute*