Ramadhan kemarin, salah satunya saya isi dengan mengkaji manhaj Salafi secara lebih utuh, dibanding pemahaman sporadis saya selama ini. Saya merasa perlu mengetahui apa dan bagaimana tradisi teologi kelompok Salafi untuk bisa memahami secara adil. Secara pribadi, ini bagian dari komitmen terhadap pluralisme. Bagi saya, pluralisme bukan hanya berisi kesanggupan membangun pengertian antar-agama yang berbeda-beda tapi juga intra-agama (aliran-aliran dalam agama yang saya imani).
Hasil kajian pribadi ini mengerucut pada dua perspektif: teologis dan historis. Keduanya saya pandang penting karena kesimpulan-kesimpulan teologis mereka perlu dilihat secara empatik dengan dikaitkan dengan kesejarahannya. Perspektif teologis membawa pada jawaban dari apa itu Salafi dan perspektif historis memberikan petunjuk-petunjuk tentang “mengapa”.
Meski tidak dapat dikatakan pemahaman saya sudah mencapai kelengkapan ilmiah, namun saya pikir cukup untuk bisa berbagi dan mengajak orang lain untuk sama-sama belajar lebih serius tentang kelompok ini. Alasannya sederhana, dakwah mereka semakin mewarnai kehidupan ummat Islam di Indonesia bahkan sampai hal sekecil apakah diperbolehkan salaman ke kanan kiri setelah selesai sholat. Yang terakhir, banyak dari mereka yang mendakwahkan kebid’ahan ucapan “maaf lahir bathin” dan yang senada selama Idulfitri.
Bahkan, mereka sudah semakin cerdas dengan branding yang tidak lagi menggunakan istilah Salafi tapi dengan istilah yang lebih umum yaitu “sunnah”. Mereka sebut ustadz mereka dengan ustadz sunnah, mesjid mereka dengan mesjid sunnah, dan mereka terkadang membagi muslim menjadi sudah “nyunnah” dan belum “nyunnah”. Dalam hal ini, saya cuma mau bilang ke mereka: you are so easily busted.
Di beberapa konteks mereka juga menggunakan terminologi “hijrah” untuk mengkategorisasi muslim secara halus menjadi muslim yang sudah hijrah dan belum hijrah. Tentu saja, yang hijrah adalah yang sesuai idealisasi tafsir mereka terhadap Islam. Dengan branding semacam ini, yang menghindari kata-kata Salafi, mereka tampil seolah sebagai representasi Islam semata, bukan firqah/kelompok tertentu.
Tak heran, dakwah aliran ini jadi begitu mudah diterima. Apa yang lebih kuat dari formula logika tekstual yang sederhana ditambah label yang terkesan universal serta tindakan aktif menjemput kebutuhan banyak muslim yang ingin memperbaiki diri secara religius?
Bagaimana pun, perkembangan ini harus disikapi dengan positif dan tentu saja kritis. Positif di sini dalam arti perbedaan dan keragaman pendapat harus dirayakan dengan sebenar-benarnya. Sementara itu, sikap kritisnya harus dilandasi sebuah niat untuk melawan (potensi) hegemoni (dominansi wacana) kelompok ini terhadap umat dan bukan untuk menghancurkan gerakan mereka.
Dengan demikian, saya tidak akan memilih jalan yang dipilih orang-orang yang membubarkan pengajian atau orang-orang yang menyerukan pembubaran sebuah kelompok hanya karena mereka dianggap mengancam NKRI. Buat saya, menghidupkan demokrasi adalah soal membangun kekuatan argumen yang meyakinkan, bukan kekuatan massa yang membubarkan.
Menyangkut aspek teologisnya, pada akhirnya tidak ada hal baru yang saya temui di kitab-kitab mereka. Saya membaca beberapa buku dan artikel yang ditulis sendiri oleh syaikh Albany, syaikh Bin Baz, syaikh Utsmain, syaikh Rabi’ bin Madkhaly dan tentu saja syaikh Ibnu Taimiyah maupun yang merujuk pada pendapat-pendapat mereka.
Pokok-pokok pikiran di sumber-sumber yang saya baca sudah sangat populer di Internet sejak dulu. Ini bukti bahwa dakwah Salafi memang kental sekali dibangun di platform Internet. Sejak zaman pra-media sosial sampai sekarang. Blog, artikel media online, Twitter, Facebook dan Youtube menjadi ladang jihad mereka sejak lama. Zaman sekarang yang didominasi media sosial (text-based maupun visual-based), mungkin bisa dibilang menjadi salah satu puncaknya.
Pada intinya, dari berbagai bahasan yang ada, mereka sangat terobsesi untuk mengecek apakah suatu amalan itu bid’ah atau bukan, meski itu bukan satu-satunya poin dakwah Salafi.
Penekanan ini berbeda dengan empat imam mazhab fiqih yang cenderung merumuskan metode yang lebih terstruktur dan kompleks dalam menarik kesimpulan hukum.
Imam-imam mazhab tidak hanya menekankan soal bid’ah tapi juga kategori hukum yang lebih terperinci (wajib, sunnah, makruh, mu’bah haram). Soal bid’ah pun dibagi menjadi sesuai dengan kelima kategori tersebut. Jadi, ada bid’ah yang wajib, sunnah, makruh, mu’bah dan haram. Pembagian yang lebih sederhana menyebutkan dua pembagian yaitu bid’ah hasanah (yang baik) dan bid’ah dhalalah (yang buruk).
Cara membuat hukum dan fatwa-nya pun didasari berbagai paket metode fiqih yang sangat mendetil. Mereka, sebagai contoh, tidak hanya membagi sumber hukum menjadi dua (al Quran dan as-Sunnah dengan pemahaman generasi Salaf), tapi juga melihat urf (adat) dan ijmak (kesepakatan ulama) sebagai sumber dalil yang perlu dipertimbangkan. Dalam memahami al-Quran dan as-Sunnah, mereka tidak hanya melihat secara tekstual tapi ada sederetan ilmu pemahaman teks yang menyangkut tata bahasa, asal kata, konteks historis (asbabul nuzul dan asbabul wurud) dan lain-lain.
Buat salafiyyun, semua makna dalil agama Islam diambil dengan cara penyimpulan termudahnya: tekstual. Cukup sering mereka kurang mempertimbangkan konteks, khususnya yang menyangkut asbabul nuzul (kisah penyebab turun ayat) kitabullah serta asbabul wurud (penyebab diucapkan) hadits Rasulullah. Salafi jarang menggunakan metode yang sekomprehensif imam mazhab dalam mengartikan teks. Dan oleh karenanya, kajian-kajian mereka terlihat hanya melibatkan pola menyimpulkan yang polos dalam hal rasio namun otoritatif secara teologis.
Dalam perjalanan sejarahnya, kelompok-kelompok di Salafi ternyata juga tidak tunggal. Perbedaannya cukup besar satu sama lain. Mereka berbeda dalam hal metode perjuangan (jihad perang vs. jihad damai), kebolehan mengikut mazhab fiqih (boleh selama tetap memperhatikan dalil yang dipakai vs. tidak boleh sema sekali mengikuti selain apa yang lahiriyah tertulis di Alquran-Al Hadits), takfiri pemimpin (apakah pemimpin muslim yang memimpin dengan hukum sekuler tergolong kafir atau bukan), bahkan tentang apakah iman harus divalidasi oleh perbuatan atau tidak.
Terkait yang terakhir, kita bisa menengok perdebatan antara syaikh al-Albany dengan syaikh al-Hawali (pemimpin gerakan al-Sahwa di Saudi Arabia). Al-Albany meyakini bahwa amal tidak menjadi prasyarat keimanan seseorang, tapi “sekedar” efeknya saja. Seseorang dianggap beriman semata karena sudah percaya pada Allah dan RasulNya. Kontan Al-Hawali menuduh Al-Albani terjerumus ke ajaran Murji’ah yang dipandang menyimpang dari apa yang diajarkan Rasulullah dan generasi salaf.
Pertentangan kedua ulama salafi tersebut sempat membuat kelompok-kelompok salaf terpecah menjadi aliran Saudi dan aliran Jordan (tempat Al-Albany tinggal dan berdakwah). Namun, untungnya, itu terjadi bertahun-tahun lalu dan sekarang sudah tidak terlalu tajam perpecahannya.
Dalam hal segregasi kelompok, di Saudi Arabia sendiri, negeri yang dianggap asal ajaran kelompok Salafiyyun, ada tiga kelompok besar. Pertama, kelompok pro kerajaan. Mereka biasanya anti jihadist dan cenderung memilih perdamaian selama kerajaan aman-aman saja. Berbeda dengan kebanyakan salafi di Indonesia, salafi pro kerajaan ini memilih bermazhab dalam fiqih. Mereka mengikui mazhab imam Ahmad Hambali, sejalan dengan junjungan salafiyyun, Ibnu Taimiyah.
Kedua, gerakan al-Sahwa. Mereka ini cenderung aktif dalam mengadvokasi perubahan sosial secara damai (tanpa kekerasan). Tapi “nyinyirnya” memang luar biasa (hahaha). Dan pada akhirnya, mereka direpresi oleh pihak kerajaan. Diduga ada kaitan dengan permintaan ulama pro kerajaan. Al-Sahwa sendiri artinya adalah “kelompok aktivis”.
Ya, gerakan ini memang kental dengan nuansa aktivisme. Mereka membuat berbagai petisi,
pernyataan politik dan mendorong ummat untuk membangun tatanan sosial politik yang, menurut tafsir mereka, lebih sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah. Salah satu yang mereka tuntut untuk berubah adalah pihak kerajaan sendiri. Mereka meminta ulama diberi peran lebih besar dalam mengelola Saudi Arabia dan mengurangi peran keluarga kerajaan. Mereka juga mendesak transparansi pihak kerajaan ke publik dalam hal pengelolaan negara dan keuangannya.
Ketiga, kelompok Madkhali. Kelompok ini tergolong paling rumit posisi teologis, ideologis dan aktivismenya. Mereka di satu sisi sering berposisi berbeda dengan kelompok salafi lainnya, namun menyerukan patuh pada pemerintahan di negara-negara Arab tanpa syarat. Menurut mereka, siapa pun yang memimpin muslim, adalah yang dikehendaki Allah. Jadi, melawan mereka berarti melawan keputusan Allah. Ini bahkan berlaku juga bagi mereka yang memimpin dengan hukum sekular, bukan hanya yang menggunakan syari’at.
Saya menduga, ustadz Salafi Indonesia seperti Khalid Basalamah mencomot posisi partikular ini. Pandangannya tampak jelas sejalan dengan Madkhaliyah ketika ia mendakwahkan ketidakbolehan melawan pemerintahan Jokowi, sungguhpun kelompok ummat di genre 212 dan afiliasinya mati-matian menyuarakan perlawanan terhadap rezim dengan berbagai alasan yang diawali dengan alasan teologis sampai yang murni politis.
Madkhali juga dikenal kritis pada Ikhwanul Muslimin (IM). Meskipun secara teologi mereka dapat dikatakan bercorak mirip, namun secara politik berbeda secara diametral. IM adalah organisasi yang dibangun sebagai perlawanan terhadap rezim yang dianggap menindas dan keluar dari ajaran Islam di negeri muslim. Untuk mewujudkan sikap perlawanan ini, IM tidak jarang melibatkan kekerasan sebagai metodenya. Sementara Madkhali cenderung pasifis dan mendakwahkan kepatuhan (pada pemerintahan). Baru-baru ini saja IM mengambil pola perlawanan yang lebih lunak dengan berpartisipasi dalam demokrasi, sistem yang dulu pernah mereka tentang karena dianggap sekular.
Selain ketiga golongan di Saudi Arabia tadi, masih ada kelompok-kelompok Salafi lain yang juga berpengaruh dan cukup berbeda satu sama lain, secara ajaran maupun sikap politik. Ada Salafi Mesir yang arus utamanya berisi mereka yang garis keras dan sekaligus suka menggunakan kekerasan. Ada juga yang lebih mengambil jalan damai.
Selain itu, ada juga golongan Salafi yang menginduk pada al-Albany dari Jordan. Mereka ini fokus sekali pada fiqih yang kontra mazhab. al-Albany menekankan dakwahnya pada aspek teologis dan menghindari interaksi atau persentuhan dengan kaum Salafi yang mengambil jalan jihad peperangan. Secara politik, kelompok Salafi Jordan cenderung kalem. Mereka lebih fokus benar-benar pada bagaimana muslim beribadah. Meski semua kelompok Salafi cenderung terobsesi pada soal bid’ah, pengikut al-Albany adalah yang paling keras dalam menghukumi sesuatu sebagai bid’ah atau bukan. Namun, di sisi lain, mereka cenderung lunak dalam soal keimanan, sebagaimana telah disebutkan di atas.
Kemudian kita juga dapat menemukan kelompok takfiri yang gemar mengkafirkan siapa pun yang dipandang tidak sesuai Islam (berdasarkan tafsir mereka) baik mereka yang tergolong muslim maupun non-muslim. Khususnya, mereka terapkan takfiri ini pada pemimpin yang tidak menggunakan hukum Islam sebagai basis kepemimpinannya. Salah satu ekspresi yang sering kita dengar adalah pembagian pemimpin menjadi thagut (sesat) dan haqq (sesuai syar’iat).
Kelompok takfiri juga ada yang cenderung pada kekerasan dan ada yang lebih suka perdamaian bersyarat. Mereka yang lebih percaya perdamaian bersyarat ini umumnya merasa bahwa peperangan tidak menyelesaikan masalah sosial politik di dunia Islam saat ini karena situasi dan kondisi tidak memungkinkan. Suatu hari nanti, mungkin saja perang lebih cocok sebagai metode menegakkan Islam di muka bumi.
Di Indonesia sendiri, saya belum mendapati keterangan yang jelas tentang bagaimana kelompok-kelompok varian Salafi di atas menancapkan pengaruhnya di negeri kita. Saya mendapati jejak-jejak aliran-aliran sub-Salafi di atas pada video dan tulisan ustadz-ustadz “sunnah” dari zaman ke zaman. Bagaimana pun saya rasa masih sulit disimpulkan apakah perubahan metode dan gaya dakwah Salafi Indonesia berasal dari adanya kelompok-kelompok berbeda sesuai realita di dunia Arab atau semata konsolidasi internal di antara mereka.
Memahami latar belakang teologis dan historis kelompok Salafi di Indonesia perlu jadi kajian khusus agar ummat juga tahu bahwa setiap materi dakwah tidak lahir dair ruang hampa sosial politik. Tanpa harus melibatkan logika konspiratif, mengetahui asal muasal sejarah sebuah pesan dakwah (selain akarnya dari nash/teks religi) menjadi penting untuk kita mengkritisi dan memahami serta memutuskan mematuhi atau mencari opini lain.
Sekeras-kerasnya kelompok Salafi meyakinkan kita bahwa mereka hanya mendasarkan diri pada al Quran dan as Sunnah, tetap mereka tidak bisa begitu saja menyangkal bahwa ada aspek sejarah dan dinamika politik intra Salafiyyun yang mempengaruhi apa yang mereka sampaikan.
Selamat menjalankan puasa Syawal!