Melestarikan Syi’ran di Wonosobo

Melestarikan Syi’ran di Wonosobo

Melestarikan Syi’ran di Wonosobo

Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an diturunkan ditengah masyarakat yang memiliki tradisi sastra yang sangat tinggi, oleh karena itu salah satu keunggulan dari Al-quran adalah dapat mengungguli sastra yang telah berkembang di masyarakat.

Dalam berbagai ayat, Al-Qur’an dapat menantang penyair untuk membuat sepenggal ayat yang sama dengan Al-Qur’an.

Sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 23 yang artinya: “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad) buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”.

Ayat tersebut merupakan tantangan bagi mereka yang meragukan kebenaran adanya Al-Qur’an, bahwa Al-Qur’an tidak dapat ditiru walaupun mengerahkan para ahli sastra dan bahasa maupun para penyair, karena Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW.

Islam bukanlah sekumpulan doktrin, akan tetapi sebuah ajaran. Islam dihayati dan diamalkan oleh para pemeluknya yang kemudian menjadikan agama itu menjadi realitas budaya sebagai bagian dan hasil dari tindakan para pemeluknya.

Salah satu dari realitas budaya adalah sastra yang dihasilkan di kehidupan masyarakat muslim. Semisal kitab – kitab yang dikarang oleh para ulama yang berupa karya sastra dalam bentuk nadzam syiir (red: syair)

Syiiran(red: syair) adalah tradisi sastra yang sederhana berupa tuturan ‘lisan’ atau tembang (red: nyanyian) yang berisi dawuh ‘ajaran’. Syiiran tersebar di tengah masyarakat dalam bentuk lantunan pujian di masjid maupun mushola.

Biasanya dilantunkan oleh jamaah yang sudah hadir untuk menunggu imam datang dan melaksanakan sholat. Syiiran juga dilantunkan pada saat acara pengajian.

Syiiran tampaknya sangat disukai masyarakat, terbukti setiap ada acara keagamaan selalu dilantunkan, dan hingga saat ini di Wonosobo masih dilantunkan syiiran atau disebut pujian (red: puji-pujian). Meskipun terkadang hanya segelintir masjid dan mushola yang melantunkannya. Seperti mushola Asy-Syukron di Garung, Wonosobo.

Menurut nadhir Mushola Asy-Syukron garung, Wonosobo menuturkan, bahwa syiiran atau puji-pujian masih berlangsung hingga sekarang dan terus istiqomah dilantunkan sebagai selingan ketika menunggu imam datang. didalamnya menyimpan makna dan sebagai media dakwah yang santun dan mencerahkan.

Berikut ini merupakan cuplikan dari beberapa syair pujian yang biasanya dilantunkan di Wonosobo.

Astaghfirullahal ‘adzim astaghfirullahal ‘adzim astaghfirullahal adzim

innaallaha ghofurrohim (sesungguhnya Allah maha pengampun lagi Maha Penyayang)

Gusti Allah kula nyuwun ngapura (2x)

(Ya Allah saya minta ampun)

Sekatahe dosa kula dosa ingkang ageng kelawan ingkang alit

(Sebanyak-banyak dosa dari yang kecil sampai yang besar)

Mboten wonten ingkang saget ngapura (2x)

(Tidak ada yang bisa memberi maaf (pengampunan))

Kang kagungan sifat Rohman kang ngratoni sekatahe para ratu

(Yang mempunyai sifat pemurah dan merajai segala raja)

Hiya iku Allah asmane (2x)

(Yaitu Allah SWT)

Syair yang terdiri atas 9 nadzam syair di atas merupakan syiir istighfar. Syair tersebut menjelaskan tentang permohonan ampun kepada Allah SWT, karena Allah itu Maha Mengampuni dan Maha Penyayang, baik dosa yang besar maupun kecil tidak ada yang bisa mengampuni kecuali hanya Allah.

Selain syiir istighfar, ada pula syiir-syiir lain seperti syiir puasa Ramadhan yang beriskan ajaran puasa Ramadhan beserta kemuliannya, syiir Aswaja berisi tentang ajaran-ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, syiir sholawat yang berisi sholawat semisal syair sholawat nariyah dan sholawat nuril anwar, syair i’tiraf (pengakuan) seperti syair Abu Nawas, dan syair tauhid yang berisi puji-pujian kepada Allah SWT.

Wallahu A’lam