Dalam kisah yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, dikisahkan seorang arab badui memasuki lingkungan masjid lantas mengencingi salah satu dinding masjid. Saat itu ada Kanjeng nabi dan sahabat-sahabat yang kebetulan berada di sekitar tempat itu.
Para sahabat yang mengetahui perilaku badui itu marah dan menghardik orang tersebut, tetapi kita tahu, nabi malah melarang sahabat untuk marah dan meminta mereka bersabar, setelah badui itu menyelesaikan hajatnya nabi meminta sahabat mengambil air dan membersihkan bekas kencing itu disirami sampai bersih.
Kisah ini ada di kitab Bulughul Marom karya Ibnu Hajar. Keutamaan ahlak nabi dan sahabat awal mula memang tak bisa dibandingkan dengan kita. Tapi ini bisa jadi pelajaran penting, jangankan kencing, berapa dari kita yang pernah dihardik karena tidur di masjid/musholla?
Ada cara yang luar biasa damai dengan pendekatan non kekerasan yang dilakukan nabi saat menghadapi problem. Ini bukan sekali saja dicontohkan, dalam kisah lain juga nabi pernah bertemu badui yang meminta-minta. Si badui ini meminta dengan menarik kasar selendang nabi hingga berbekas.
Saat itu nabi bersama Anas bin Malik, ia begitu marah kepada badui ini tapi nabi justru terseyum dan meminta Anas memberi sesuatu kepada badui itu. Dua kisah ini menyertakan cerita bahwa dua kali nabi bertemu dengan orang badui yang tidak berilmu (bukan istilah derigatori, artinya memang tak punya privilej berpendidikan) dan kesabaran nabi luar biasa besar.
Bagaimana nabi merespon pertemuan dengan dua badui tentu menjelaskan polsisinya. Pertama kepada orang tak berilmu yang mengencingi masjid, tempat suci dan ibadah umat, nabi tidak marah dan hanya meminta membersihkan. Kedua saat nabi dipalak/dimintai jatah oleh badui dengan kasar, ia tidak marah, malah memberi.
Kalau mau nabi bisa membiarkan sahabat-sahabatnya main hakim sendiri dengan mendatangi badui-badui tadi, memukul kepalanya, lantas memaksa badui tadi minta maaf kepada nabi, tapi tidak dilakukan.
Dalam kisah lain juga diceritakan bagaimana nabi kerap disapa dengan salam menyumpahi oleh yahudi. Yang kira-kira intinya celakalah kamu Muhammad. Salam ini berulangkali disampaikan oleh yahudi itu kepada nabi Muhammad.
Suatu hari saat si yahudi menyumpahi nabi, Siti Aisyah ra, yang hadir di sampingnya, marah dan menyumpahi balik si yahudi dengan makian. Nabi menegur dan mengingatkan istrinya itu. Bahwa Allah tidak suka hal yang berlebihan, jika Allah mau, ia bisa menghukumnya.
Lantas Aisyah bertanya, mengapa nabi santai saja dimaki dan disumpahi semacam itu? Nabi menjawab bahwa, ia juga telah membalas bahwa setiap kutukan yang diucapkan yahudi itu semoga tertimpa balik padanya. Nabi hendak mengajarkan bahwa tak perlu berlebihan merespon sebuah masalah, jangan emosi, dan harus proporsional.
Itu kan nabi, tapi kita bukan nabi, boleh dong marah.
Dalam sahih bukhori dikisahkan bahwa nabi pernah bersabda “Seorang hakim dilarang memutuskan antara dua orang ketika marah.”
Dalam kisah lain diceritakan Khalifah Umar bertemu dengan pemabuk, ia lantas hendak menghukum pemabuk itu. Sebelum dihukum pemabuk itu memaki umar dengan kata-kata kasar, siapapun yang mendengar makian itu pasti akan marah. Alih-alih marah, kalifah Umar melepaskan pemabuk itu.
Seorang sahabat heran dan bertanya mengapa ia melepaskan pemabuk itu?
“Aku takut menghukumnya dalam keadaan marah,” katanya. Kalifah umar takut ia tidak menghukum pemabuk itu karena Allah, tapi karena marah dimaki. Maka kita tahu bahwa, jangankan main hakim sendiri, menghukum seseorang, apalagi memaksanya minta maaf sambil memukul karena marah adalah kondisi yang tidak baik.
Lalu bagaimana jika saya hendak mencari keadilan?
Sebagai muslim kita tentu pernah mendengar kisah tentang Imam Ali bin Abi Thalib yang menemukan baju zirahnya di pasar. Baju zirah itu ternyata dimiliki orang yahudi, saat islam berkuasa kita tahu daya kuasa Imam Ali, ia bisa saja merebut dan main hakim sendiri, mengerahkan masa pendukungnya untuk melakukan aksi jutaan umat, tapi tentu ini tidak ia lakukan.
Imam Ali dan Yahudi itu lantas menemui hakim Syuraih bin al-Harits al-Kindi, yang kebetulan sahabat baik imam Ali. Sang hakim meminta imam Ali menghadirkan saksi, maka didatangkanlah Hasan dan Husain anak Imam Ali yang ditolak oleh hakim, karena anak berapapun jumlahnya tidak sah sebagai saksi.
Kita tahu bagaimana akhirnya, Imam Ali lantas menerima vonis itu, padahal sebagai kepala negara ia bisa saja melakukan intervensi, mengerahkan masa di depan ruang persidangan untuk membuat ancaman bunuh yahudi, tapi tidak ia lakukan. Imam Ali memilih menempuh jalur hukum dan menerima vonis apapun hasilnya.
Hakim Syuraih adalah hakim yang sama yang menghadapi sengketa kuda antara Umar bin Khatab dan seorang badui. Dikisahkan Umar membeli kuda secara kontan dari badui, saat pergi dan menaiki kuda itu, Umar menemukan luka pada kudanya.
Umar lantas kembali dan memprotes minta uangnya dikembalikan, si badui menolak, karena dianggap saat transaksi dilakukan tak ada masalah. Buntu, keduanya lantas menemui Hakim Syuraih. Di sini masalah mereka diselesaikan dengan baik.
Hakim bertanya kepada Umar apakah saat membeli ia memeriksa dengan seksama kuda itu, Umar menjawab sudah dan tak ada luka. Mendengar itu hakim memenangkan perkara pada badui. Kita tahu hakim Syuriah dipilih sendiri oleh Umar, ia bisa saja melakukan intervensi, tapi tidak dilakukan.
Umar yang dikenal tegas, garang, dan pemberani itu bisa saja memaksa si badui mengembalikan uangnya. Melakukan pemaksaan minta maaf secara tertulis sembari memukuli kepalanya. Tapi tentu tidak dilakukan, ia memilih mempercayakan masalahnya kepada otoritas negara.
Di sini kita belajar bahwa dalam islam sebuah vonis hukuman hanya boleh diberikan oleh hakim yang adil. Pelaksanaan hukuman juga dilakukan oleh representasi negara. Main hakim sendiri jelas dilarang, apalagi atas nama orang lain.
* Kisah Umar dan pemabuk diambil dari buku Imam Ahmad Ibnu Nizar, Nabi Sulaiman dan Burung Hudhud, saya tak menemukan sumber primer dari catatan ini.