Manbaul Maarif, Pesantren Perempuan Pertama di Pulau Jawa

Manbaul Maarif, Pesantren Perempuan Pertama di Pulau Jawa

Meskipun pesantren telah lahir di Indonesia berabad-abad lalu, namun perjalanan pendidikan perempuan di pesantren tidak berjalan bersamaan.

Manbaul Maarif, Pesantren Perempuan Pertama di Pulau Jawa
Dalam islam, pendidikan itu lebih penting daripada menikah

Meskipun pesantren telah lahir di Indonesia berabad-abad lalu, namun perjalanan pendidikan perempuan di pesantren tidak berjalan bersamaan. Hal ini tidak lepas dari sejarah kelam pendidikan perempuan di Indonesia. Para perempuan baru berkecimpung di dunia pesantren pada tahun 1927 M, setelah Pesantren Manbaul Ma’arif membuka pesantren untuk perempuan.

Pesantren yang berlokasi di Denanyar Jawa Timur ini didirikan oleh Kiai Bisri Syansuri. Daerah Denanyar ketika itu bukanlah tempat yang dikelilingi oleh penduduk religius. Berbagai kasus kejahatan justru banyak terjadi. Namun hal itulah yang membuat murid K.H. Hasyim Asyari ini semakin berambisi untuk mendirikan pesantren.

Kiai yang menjadi salah satu tokoh penting di Nahdlatul Ulama ini awalnya hanya memiliki empat orang santri yang tinggal di surau kecil. Hingga pada tahun 1917 M/1336 H, dengan dukungan dari istrinya, Nyai Hj. Noor Khodijah dan mertuanya, KH. Hasbullah, serta gurunya, KH. Hasyim Asyari, pesantren Manbaul Ma’arif resmi didirikan.

Santri Kiai Bisri semakin bertambah, bahkan sepuluh tahun setelah didirikan, beliau membuka kelas khusus untuk santri perempuan, tepatnya pada Tahun 1927. Menurut Hj. Aisyah Hamid Baidlowi, pesantren ini adalah pesantren perempuan pertama di jawa timur. Bahkan bisa disebut sebagai pesantren perempuan pertama di jawa.

Satu hal yang sangat tak lazim kala itu, pemikiran masyarakat mengenai pendidikan perempuan masih sangat terbelakang, bahkan perempuan masih kesulitan mendapatkan pendidikan. Kiai Bisri ingin membuka wawasan dan pandangan hidup masyarakat, beliau ingin menyadarkan bahwa perempuan juga memiliki hak untuk menuntut ilmu.

Meskipun telah dibangun pesantren untuk perempuan, bukan berarti kesetaraan pendidikan telah dicapai. Pada masa itu santriwati bukan disiapkan untuk menjadi ulama perempuan di kemudian hari, melainkan disiapkan untuk menjadi seorang ibu rumah tangga yang berbekal pengetahuan agama yang memadai.

Perbedaan ini terbukti dalam kurikulum serta kitab yang digunakan bagi santriwan dan santriwati. Kitab-kitab yang dipelajari santriwati lebih banyak membahas tentang kewajiban seorang istri seperti Uqud al-Lujain fi ‘Uqad az-Zaujain karangan Syekh Nawawi Al-Bantani. Selain itu, materi ilmu alat yang diperuntukkan santriwati beberapa tingkat lebih rendah dibandingkan dengan materi untuk santriwan.

Seiring dengan berjalannya waktu, kurikulum untuk santriwan dan santriwati tidak lagi dibedakan. Namun tetap ada beberapa kitab yang hanya dikaji oleh santriwati misalnya kitab risalatul haid (membahas tentang perkara haid).

Saat ini pesantren Manbaul Ma’arif diasuh oleh KH. Abdussalam Shohib. Manbaul Ma’arif semakin mengepakkan sayap, kini, pesantren ini telah membuka berbagai tingkatan pendidikan, yaitu MI, MTsN, MTsM, MAN, MAM, SMK, dll.

Gebrakan Kiai Bisri membuka pesantren bagi perempuan perlu diapresiasi, berkat kerja keras beliau para perempuan bisa mengenyam pendidikan agama yang setara. Hingga kini, ratusan pesantren juga membuka pendidikan untuk perempuan. Memberikan kesempatan kepada para perempuan untuk menjadi kader ulama masa depan.