Makna Dakwah dan Fenomena Ustad Selebriti

Makna Dakwah dan Fenomena Ustad Selebriti

Makna Dakwah dan Fenomena Ustad Selebriti

Fenomena munculnya ustad selebriti di berbagai stasiun layar televisi menggambarkan begitu mudahnya media dakwah berkembang. Sarana pendukung dakwah kian beragam dan cukup maju, serta membantu para pendakwah dalam menyampaikan ayat qouliyah (al-Qur’an). Dulu, keberadaan media dakwah belum berkembang massif seperti saat ini yang hampir semua orang bisa mengaksesnya melalui berbagai macam media elektronik.

Dakwah merupakan tugas yang mulia sekaligus bagian dari ibadah ghoiru mahdhah yang memiliki nilai maslahat luas bagi masyarakat. Persoalan keumatan akan terus berkembang di zamannya selaras dengan berbagai permasalahan yang timbul. Maka dari itu dibutuhkan tawaran solutif untuk menjawab setiap kerumitan yang kerapkali ganjil dan membingungkan kalangan masyarakat.

Keberadaan ustad selebriti begitu marak beberapa tahun belakangan dan tak sekali memunculkan persepsi yang beragam. Umumnya, beberapa kalangan dari ustad selebriti dalam menyampaikan materi dakwah terpacu pada penyampaian yang normatif. Rujukan terhadap beberapa ulama khos atau kitab klasik seakan belum menjadi pilihan. Sehingga dalam banyak kasus, kerap terjadi kerentanan multi pemahaman dari pemaknaan aslinya. Apalagi, mayoritas jamaah yang hadir dalam suatu majelis tersebut tergolong orang yang baru belajar tentang agama. Tak menutup kemungkinan akan terjadi distorsi pemahaman yang keliru karena dimaknai secara mentah.

Makna dakwah mengandung unsur syiar agama yang baik manakala dimaknai dengan sebenarnya. Materi dakwah disampaikan dengan cara yang santun, berlandaskan pemahaman yang mumpuni dan tidak berorientasi pada sesuatu selain ibadah. Dakwah sendiri merupakan tugas agama, bukan tuntutan profesi atau iming-iming popularitas yang tinggi. Tugas pendakwah adalah menyampaikan kebaikan dan mencegah timbulnya keburukan (mara bahaya). Sehingga dalam situasi apapun panggung dakwah menjadi terobosan dan penyelesain masalah keumatan.

Era popularitas begitu mengusik beberapa kalangan yang tidak sepaham dengan munculnya para pendakwah dadakan. Muncul ke publik secara tiba-tiba, mengagetkan masyarakat awam dan kerap menimbulkan kontroversi. Kehadirannya bisa dikatakan sederhana dengan cukup bermodalkan penyampaian dakwah yang kocak, bernuansa lucu, maka panggung dakwah akan menjadi semacam komoditas hiburan.

Pada prinsipnya, hadirnya dakwah selain sebagai bagian mengajak pada kebaikan namun juga menghibur para jamaah supaya dakwah tidak terkesan kaku dan melulu pada kebosanan. Selain itu, agar masyarakat awam sekalipun memahami dengan mudah materi dakwah yang telah disampaikan para pendakwah. Namun, konteks sekedar menghibur tidak bisa disamakan dengan komodifikasi agama yang rentan unsur transaksional.

Sosok RM. Said (Sunan Kalijaga) adalah sosok wali yang telah berhasil menyampaikan dakwah dengan cara yang unik. Perpaduan budaya menjadi metode dakwah yang relatif efektif dengan melihat corak masyarakat yang masih kental dengan budaya leluhur. Nilai dakwah disampaikan melalui pagelaran wayang kulit yang intinya mengajak sekaligus menghibur masyarakat supaya memiliki keinginan untuk hadir dalam acara tersebut. Perlahan, masyarakat mulai terhibur dan diperkenalkanlah agama sebagai bagian dalam menapaki kehidupan.

Hal seperti inilah yang seharusnya menjadi rujukan dalam memaknai dakwah sebagai nilai ibadah. Ada makna perjuangan yang terkandung, keikhlasan dalam beramal dan konsistensi berdakwah. Permasalahan dakwah yang saat ini terjadi yakni terletak pada minimnya pemaknaan ikhlas beramal, dan teguh berprinsip. Sehingga, lahan dakwah sering dimaknai sebagai tempat mencari nafkah dan popularitas. Kesalahan besar ini harus direparasi untuk menemukan makna dakwah sebagai pencerdasan publik.

Saat ini, keberadaan para pendakwah telah bertebaran di banyak tempat. Model dakwahnya pun  variatif, namun tak sedikit dari isi materi dakwahnya yang sebagian menyinggung atau menyudutkan kelompok tertentu. Fenomena hujat menghujat, saling sikut dan bentrok antar kelompok menjadi ujung pangkal atas penyampaian dakwah yang provokatif. Sehingga, perlu kiranya ada standarisasi dakwah yang sesuai dengan disiplin ilmu. Hal itu dikarenakan, supaya orang awam yang memiliki keinginan belajar agama tidak tergiring pada arus kepentingan pihak tertentu.

Cara penyampaian dakwah harus disampaikan dengan cara yang demokratis. Tak perlu menggunjing kelompok tertentu dan bersikap intoleran terhadap sesama. Selagi konteks dakwah yang disampaikan masuk pada koridor yang maslahat dan tidak mengindikasikan munculnya perpecahan antar umat beragama maka perlu didukung dengan cara yang bijak. Percuma saja menyampaikan dakwah dengan semangat, lantang gelombang dan kobar membara kalau pemaknaan dakwahnya sebagai alat untuk menggunjing serendah iman dan i`tikat untuk menjatuhkan sesama. Wallahu a’lam.

Mustaq Zabidi, Penulis adalah pegiat di Solo Reform Institute dan Kader muda GP Ansor Kota Surakarta.