Lukman Hakim Saifuddin menyebut salah satu kekuatan perempuan paling utama adalah rasa cinta dan kasih sayangnya. Hal ini dia sampaikan dalam Halaqah Kebangsaan Kongres Perempuan (KUPI) II di Pesantren Hasyim Asy’ari, Jepara (24/11/2022).
“Apalagi ini ulama perempuan. Mengutip Gus Mus, ulama adalah mereka yang selalu melihat umatnya dengan landasan kasih sayang dan cinta,” kata Menteri Agama RI 2014-2019 ini.
Bicara mengenai peran ulama perempuan dalam meneguhkan kebangsaan, ada dua kata kunci yang, menurut Lukman Hakim, perlu diperhatikan. “Pertama adalah ulama perempuan itu sendiri, yang haikatnya adalah agama Islam. Lalu yang kedua adalah kebangsaan.”
Lebih lanjut, Lukman Hakim menegaskan bahwa ketika bicara tentang relasi agama dan kebangsaan, maka harus berbasis pada realitas kita sebagai bangsa Indonesia. Menurutnya, ada dua ciri utama yang selalu melekat pada diri bangsa ini, keberagaman dan keberagamaan. Dua komponen itu sudah dikenal oleh publik internasional sebagai jati diri bangsa Indonesia.
Sebelum membincang soal peran perempuan, Lukman Hakim menekankan tentang perlunya memahami bagaimana sesungguhnya relasi antara agama dan negara dalam konteks Indonesia.
“Relasi ini penting untuk dipahami guna memetakan apa tantangan kita dan bagaimana langkah-langkah yang bisa kita lakukan menghadapi tantangan tersebut,” ujarnya.
Relasi antara agama dan negara itu setidaknya dicirikan dalam dua hal, yaitu: pertama, relasi saling membutuhkan. Hubungan ini mengasumsikan bahwa negara membutuhkan agama, sebaliknya agama pun juga memerlukan negara. Agama, melalui nilai-nilai spiritualitas, diperlukan bagi negara dalam menjalankan kebijakannya. Spirit nilai-nilai religiusitas diperlukan sebagai pedoman ke arah mana negara ini akan menuju.
“Tidak hanya sebagai dasar, tetapi sekaligus juga orientasi tujuan negara,” terang Lukman Hakim.
Agama juga memerlukan negara, setidaknya sebagai jaminan kemerdekaan hak warga negara dalam memeluk agama dan menjalankan ajaran agama. Negara juga berfungsi sebagai proteksi dan fasilitator bagi kegiatan-kegiatan keagamaan di Indonesia.
Relasi kedua adalah check and balances. Saling mengimbangi dan saling mengontrol. Negara bisa berfungsi sebagai penyeimbang dan kontrol terhadap agama untuk mengawasi ormas-ormasnya, para pemuka agama, yang berpotensi untuk melampui batas dan melakukan praktik-praktik majoritarianisme berbasis agama.
Praktik mayoritarianisme di sini adalah kondisi sebuah kelompok dominan yang cenderung merasa benar sendiri, lalu menyalah-nyalahkan kelompok lain, dan merasa memiliki kuasa untuk mengatur pola pikir publik. Praktik ini bisa dikontrol melalui peran negara dan aparaturnya.
Sebaliknya, agama, melalui tokoh-tokohnya, pun juga bisa melakukan fungsi pengawasan terhadap jalannya kehidupan bernegara. Para otoritas dan tokoh publik agama bisa melakukan kritik yang membangun untuk kepentingan kehidupan berbangsa.
“Dengan melihat relasi ini, maka kita bisa mengidentifikasi tantangannya dalam kehidupan kebangsaan, terutama terkait dengan kontribusi ulama perempuan dalam menghadapi tantangan-tantangan itu,” lanjutnya.
Lukman Hakim menjelaskan bahwa ada empat tantangan utama terkait peran ulama perempuan dalam konteks Indonesia. Pertama, sebagai bangsa yang religius, bangsa yang agamis, Indonesia sedang menghadapi sebuah fenomena kehidupan keagamaan yang nampak mengabaikan inti pokok ajaran agama itu sendiri.
“Fenomena keberislaman, misalnya, justru menyimpang dari nilai-nilai fundamental Islam itu sendiri. Nilai fundamental Islam yang dimaksud di sini adalah kemanusiaan dan upaya untuk membangun kemaslahatan bersama.”
Tantangan kedua, menurut Lukman, adalah lahirnya tafsir-tafsir keagamaan yang tidak bertanggungjawab dan tidak kontekstual. Tafsir-tafsir semacam ini sangat mendiskreditkan peran perempuan bahkan merendahkan perempuan itu sendiri. Tafsir-tafsir yang bertolak belakang dengan prinsip keadilan gender. Tantangannya adalah bagaimana mengantisipasi diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan sebab tafsir-tafsir konservatif itu.
Tantangan ketiga adalah munculnya kebijakan-kebijakan negara melalui regulasi yang belum berpihak pada keadilan gender. Tantangan terakhir adalah praktik-praktik bermasyarakat yang masih menempatkan perempuan dalam posisi marginal dan inferior, bisa dilatarbelakangi oleh budaya, adat kesukuan, dan semacamnya.
“Mungkin masih ada tantangan-tantangan lain yang masih bisa diidentifikasi, namun setidaknya, empat tantangan tersebut yang paling menonjol. Empat tantangan itu setidaknya yang bisa menjadi justifikasi urgensi peran ulama perempuan dalam konteks kebangsaan.”
“Yang bisa dilakukan KUPI ke depan adalah, bersama mitra kerjanya masing-masing, KUPI melakukan identifikasi di mana letak kutub-kutub ekstrem itu. Ekstrem di sini adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang berlebih-lebihan, melampaui batas, yang justru mengingkari inti pokok dari ajaran agama itu sendiri. Mengingkari kemanusiaan dan kemaslahatan,” pungkasnya.