Kisah Ibu Nyai Maryam: Ulama Perempuan Pendamping Korban KDRT

Kisah Ibu Nyai Maryam: Ulama Perempuan Pendamping Korban KDRT

Tulisan ini menceritakan pengalaman Ibu Nyai Maryam dalam memperjuangkan hak-hak perempuan di Sulawesi. Ibu Nyai Maryam salah satu ulama perempuan yang aktif di KUPI

Kisah Ibu Nyai Maryam: Ulama Perempuan Pendamping Korban KDRT

Tahun kemaren, tepatnya bulan November (23-26/11/22), para ulama perempuan Indonesia mengadakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Ke-2 yang diselenggarakan di dua tempat yaitu Semarang dan Jepara. Perkumpulan tersebut melibatkan para ulama, aktifis, akademisi dan korban dari berbagai daerah dan perwakilan dari 20 negara yang masih konsen terhadap isu-isu perempuan dan keislaman. Acara perkumpulan ini tampak dari luar seperti perkumpulan elite karena banyaknya pejabat pemerintah yang ikut andil di dalamnya. Flayer-flayer yang tersebar di beranda medsos pun menampilkan beberapa sosok mentri dan legislator yang menghiasi jalanya acara tersebut.

Meskipun demikian, uniknya KUPI tidak ada agenda menentukan bentuk organisasi struktural. Artinya KUPI adalah salah satu kongres yang menjadi magnet ribuan orang namun tidak ada pemilihan pemimpin gerakan. Lantas apa motif perkumpulan KUPI yang bisa mengumpulkan orang sebanyak itu bahkan ada sebagian yang jauh datang dari luar negeri.

Keresahan ini terjawab setelah menyimak pidato salah satu anggota Majelis Musyawarah KUPI, Nyai Badriyah Fayumi yang menjelaskan secara terang-terangan di hadapan audien, bahwa Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) adalah ruang perjumpaan perspektif dan gerakan. Dalam forum KUPI ini para ulama perempuan menyatukan sudut pandang untuk membahas kondisi sosial ekonomi masyarakat yang melibatkan perempuan.

“KUPI bukan ormas, bukan organisasi struktural (melainkan) KUPI adalah gerakan, ruang perjumpaan ulama perempuan dengan ulama perempuan lainya, juga perjumpaan dengan aktifis perempuan, para korban, para pengambil kebijakan, para elemen lainya,” ungkapnya dalam sambutan pembukaan KUPI Ke-2.

Mengapa Harus Ada KUPI

Melihat banyaknya kasus diskriminasi, penyampingan, pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan, menumbuhkan kesadaran bersama sehingga terbentuklah ruang-ruang diskusi, halaqah dan musyawarah untuk membahas kondisi perempuan saat ini di lapangan. Sebagian peminggiran kasus tersebut dilegitimasi oleh tafsir keagamaan yang bias gender. Sehingga dalam perkumpulan ini para ulama perempuan menyusun metodologi fatwa KUPI agar putusan-putusan musyawarah keagamaan bisa sejalan dengan tujuan utama disyaria`tkanya agama Islam.

Tafsir keagamaan dirasa sangat membatasi gerak perempuan, misalnya perempuan hanya berkutat dalam urusan dapur, sumur dan kasur saja. Masih banyak terjadi perdebatan bolehkah perempuan keluar tanpa mahrom, bolehkah perempuan sekolah tinggi, bolehkah perempuan bekerja. Banyak literasi klasik yang melegitimasi untuk mengekang perempuan hanya menjadi pelayan seorang suami saja. Padahal perempuan juga memiliki hak untuk menentukan kehidupanya. Pemahaman yang tidak ramah tersebut diyakini sebagai ajaran dari agama dan sekarang menjadi budaya.

Sejatinya perempuan sebagaimana laki-laki ia memiliki hak untuk diberlakukan sebagai manusia yang merdeka. Ulama perempuan yang terlibat dalam KUPI memiliki cara sendiri dalam menafsirkan agama yang adil dan berkemanusiaan. Salah satunya adalah Metode Tafsir Mubadalah yang digagas oleh KH. Faqihuddin Abdul Kodir yang juga termasuk dalam anggota majelis musyawarah KUPI. Selain itu ada juga Nyai Nur Rofiah yang rutin mengampu Kajian Gender Islam (KGI) dan merumuskan teori Keadilan Gender Hakiki.

Berbincang dengan Ulama Perempuan

Di malam terakhir perhelatan KUPI saya berkesempatan untuk berbincang santai dengan Ibu Nyai Maryam salah satu peserta yang datang dari Parepare Sulawesi Selatan. Saya penasaran dengan semangat ulama perempuan yang berasal dari luar Jawa. Karena selama ini KUPI masih terkesan Jawa-sentris, beberapa ulamanya kebanyakan berasal atau berdomisili di pulau Jawa. Paham saya, Jawa sudah cukup dewasa dengan perbedaan keagamaan dan perselisihan toh akhirnya tetap saja bisa diselesaikan dengan baik-baik. Namun bagaimana budaya perbedaan paham keagamaan di luar Jawa.

Di salah satu gazebo Pesantren Hasyim Asyari Bangsri saya mulai mengajak (dengan gaya wawancara) Ibu Nyai Maryam untuk bercerita soal  perjuanganya mengenalkan prinsip KUPI di kampungnya. Ia kemudian pelan-pelan bercerita dengan memulai dari kondisi sosial dan budaya masyarakat di daerahnya dan latar belakang keluarganya. Maryam lahir sebagai muslim dari keluarga yang agamis, ayahnya adalah tokoh masyarakat di desanya dan kakeknya adalah pengajar di majelis-majelis pengajian. Sehingga budaya-budaya kesantunan sudah melekat dalam dirinya. Seperti patuh terhadap orang tua, kakak hingga patuh terhadap suami.

Maryam tumbuh besar di tengah masyarakat yang agak patriarkis, beberapa warganya masih menabukan perempuan untuk sekolah tinggi-tinggi dan menempuh pendidikan yang jauh dari kampung halamanya. Alasan utamanya adalah karena perempuan, anak perempuan dianggap tidak bisa mengatur dirinya dan susah menjaga diri dari godaan di luar sana. Fenomena budaya yang mengakar ini menjadi dilema bagi para perempuan untuk memilih jalan pendidikanya. Selain itu, Maryam bercerita bahwa di daerahnya masih banyak terjadi perkawinan dini pada perempuan bahkan diusia Sekolah Menengah Pertama (SMP) sudah diizinkan atau disuruh untuk melakukan pernikahan. Sehingga banyak terjadi KDRT dan berujung pada perceraian.

Sejauh ini pemahaman masyarakat soal kesetaraan gender sudah mulai merata namun belum maksimal. Maryam dalam obrolanyanya juga mengatakan bahwa ia juga menikah diusia muda namun alasanya untuk menikah bukanlah hanya karena budaya semata melainkan ia juga melihat kondisi sosial ekonomi keluarganya.

Setelah lulus MAN ia melanjutkan kuliah di Universitas Hasanuddin dan pada waktu itu pula ada seorang lelaki yang mendekatinya dan melamarnya. Maryam memikirkan hubunganya sehingga ia memutuskan untuk serius karena ia melihat ibundanya sudah meninggalkanya (wafat) dan ia adalah anak ke tiga dari tujuh bersaudara.

Kiranya pernikahan yang diputuskan Maryam adalah bentuk mengurangi beban ekonomi keluarga. Setelah menikah ia menjalani rumah tangganya dengan sederhana dan mandiri suaminya pada saat itu masih menempuh semester enam di Universitas Hasanuddin. Sebelum menikah Maryam mengajukan komitmen bersama dengan suaminya yaitu untuk tetap melanjutkan studinya. Suaminya sangat mendukung komitmen tersebut karena baginya dalam urusan belajar tidak ada kata selesai apalagi kalau hanya karena pernikahan.

Setelah menikah Maryam memutuskan untuk ikut mengajar di sekolahan yang didirikan kakeknya, tampil sebagai guru yang humble, ramah dan peka terhadap lingkungan sosialnya. Sehingga banyak murid yang nyaman untuk bercerita tentang perkembanganya sebagai murid dan cita-citanya di masa yang akan datang. Keramahan Maryam tersebut ternyata menjadikanya sebagai wadah cerita bagi murid-muridnya sehingga ada juga diantara mereka yang bercerita pengalamnya menjadi korban kekerasan, baik kekerasan rumah tangga, pemaksaan pernikahan hingga kekerasan seksual.

Murid-muridnya khususnya yang perempuan kerapkali dilamar terlebih dahulu sebelum masanya. Bahkan banyak siswa yang masih kelas 1-3 SMP sudah dilamar dan menikah. Melihat hal tersebut Maryam merasakan keresahan, ia merasakan bagaimana menikah di usia yang belum matang, pasti akan banyak masalah yang diselesaikan dengan tidak dewasa. Ia sangat beruntung menemukan suami yang tepat, meskipun dirinya menikah muda. lantas apa yang akan terjadi pada murid-muridnya yang usianya belum matang namun sudah disuruh untuk menikah.

Maryam prihatin, akhirnya ia mendampingi secara rutin untuk tetap sekolah dan menikah diusia yang sudah matang. Maryam memberanikan diri untuk bertemu dengan orang tuanya dan mengajak diskusi untuk membahas masa depan seorang anak. Usaha-usaha yang dilakukan oleh Maryam memang tidak selalu berjalan mulus namun setidaknya sudah ada upaya untuk menyampaikan apa yang perlu dilakukan. Menurutnya perempuan berhak mendapatkan Pendidikan yang memadai agar ia lebih dewasa dalam mengontrol kepribadinya ketika menjalani rumah tangga.

Ia bercerita selama menjadi guru ia mendapatkan banyak kisah dari murid-muridnya yang mengalami pemaksaan nikah dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bagi yang sudah menikah. Dengan keterbatasan ruang dan waktu ia sebisanya menyampaikan prinsip-prinsip KUPI yang sudah didapatkan dari ulama-ulama KUPI. Secara gerakan ia aktualisasikan melalui pendampingan-pendampingan korban. Sementara secara edukatif ia bisa menyampaikan dari kelas ke kelas dan dari majelis pengajian ke majelis pengajian lainya.