Dalam tulisan sebelumnya [klik di di sini] disebutkan ada stigma negatif terhadap the living law nusantara. Pertanyaannya terletak di mana dan mengapa?
Sayyid Utsman pernah menjelaskan di antaranya penyebab “kaburnya” kaum terpelajar Hadrami dari Nusantara karena alasan the living law Islam Nusantara yang sulit dikonstruksikan menurut hukum Islam.
Ia mencontohkan beberapa kasus, di antaranya: Pemilihan jalur “murtad sementara” daripada menggunakan “suami muhallil” untuk menghalalkan rujuk akibat cerai 3 kali: upaya hukum istri memutus hubungan dengan suami dengan cara “Rapaq” atau meminta penjatuhan ta’liq talaq yang dianggap melampaui ketentuan “khuluk” dsb.
Menurut mereka kebiasaan ini tidak dibenarkan karena tidak ada rujukannya dalam kitab fiqih. Dengan alasan ini pula Sayyid Utsman mengenalkan istilah Kutubul Mu’tabaroh di Indonesia, sekalipun di sana sini tidak pernah diterapkan secara konsekuen.
Sikap berbeda justru lahir dari sarjana Belanda yang semula apatis terhadap the living law nusantara dikarenakan bertolak belakang dengan sistem common law yang mereka anut. Berbekal politik etis mereka terjun ke pelosok nusantara untuk mengkooptasi kebiasaan, norma, dan etika yang berkembang di tengah masyarakat.
Dengan jangkar ilmu yang disebut etnologi mereka mengkooptasi nalar hukum profetik masyarakat nusantara cukup dengan memakai pendekatan geneologis teritorial. Maka lahirlah apa yang disebut Adatrecht: Hukum adat Jawa, Sunda, Batak, Bali dst.
Memahami the living law Nusantara cuma dengan geneologi territorial, apa tidak berarti menganggap masyarakat Indonesia sebagai kumpulan orang-orang tertutup? Bukankah masyarakat nusantara terkenal sebagai bangsa yang terbuka? Kalau dianggap tertutup; Apa tidak keliru menyebut the living law nusantara dengan hukum adat (adat sendiri istilah dari mana)? Apa tepat menyebut milike/duweke suku Jawa (misalnya) sementara asal kata “milk”/”zduw” tidak terdapat dalam kamus bahasa Jawa?
Hal ini menunjukkan the living law tak cukup hanya dengan pendekatan geneologis territorial. Ada yang masih tertinggal yakni pendekatan hukum proferik. seperti apa? [Bersambung]
*) Penulis adalah Dosen Tetap di UIN Syekh Maulana Hasanudin Banten dan Dosen di Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta