The Living Law Islam Nusantara (Bag. II)

The Living Law Islam Nusantara (Bag. II)

Ada semacam stigma negatif dari orang asing tentang the living law Nusantara. Apa dan bagaimana?

The Living Law Islam Nusantara (Bag. II)

Ada semacam stigma negatif dari orang asing tentang the living law Nusantara. Dalam catatan Sayyid Utsman disebutkan keluhan orang-orang Hadrami yang tidak menyukai praktik hukum di kalangan masyarakat pribumi.

Hal itu juga yang menyebabkan salah satu gurunya yakni Sayyid Abdullah terpaksa kembali ke Arab. Besar kemungkinannya orang-orang Hadrami dan Arab lainnya yang betah hidup di Indonesia adalah pihak pihak yang menerima the living law Nusantara.

Sikap yang sama juga ditunjukkan kolonial Barat. Mereka menganggap the living law Nusantara sebagai sistem hukum yang buruk dan harus diganti dengan hukum Barat. Penolakan keras masyarakat pribumi-lah yang menyebabkan mereka mengalihkan strategi politik etis dengan mengkotak-kotakkan the living law Nusantara.

Mereka melakukan identifikasi dengan membuat blok yang terpisah antara hukum adat, hukum agama, dan hukum Eropa. Tujuannya adalah memecah belah bangsa Indonesia.

Provokasi ini cukup efektif hasilnya. Para sarjana hukum terpolarisasi: ada sarjana hukum agama dan sarjana hukum umum. Tanpa mereka sadari sekalipun pandangan mereka berbeda tapi sesungguhnya pola pikirnya sama.

Sebut misalnya Hazairin yang menyebut kelahiran Piagam Jakarta sebagai dasar hukum ketidakberlakuan teori receptie-nya Snouck Hurgronje. Dengan demikian menurutnya, Hukum Islam menjadi hukum yang berlaku di Indonesia.

Apa yang dikemukakan dalam acara pengukuhan dirinya sebagai guru besar Universitas Indonesia itu oleh Daniel S Lev dianggap bertolak belakang dengan sikapnya selama ini. Pasalnya, kenapa saat dia menjadi kepala jawatan kehakiman (Kantor wilayah Kementerian Hukum dan Ham) di Jambi menolak permintaan para hakim agama setempat untuk memperbaiki sistem peradilan agama.

Terlepas ada motif khusus atau tidak pemikiran Hazairin tentang hukum Islam yang berlaku di Indonesia, sebetulnya ia juga telah terjebak dalam alam pikir positivisme hukum seperti halnya pihak-pihak yang dikritiknya. [Bersambung]

 

*) Penulis adalah Dosen Tetap di UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten dan Dosen di Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta