Pasca diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, 13 Maret 2020 dan ditetapkannya COVID-19 sebagai bencana nasional non-alam pada 14 Maret 2020, respons pemerintah menangani COVID-19 masih terlihat buruk, kedodoran di lapangan, diperparah dengan manajemen informasi dan komunikasi antara pusat dan daerah yang tidak selaras.
Merespons makin luasnya penularan dan bertambahnya pasien positif COVID-19 (134 orang) serta angka kematian mencapai 5 orang (per 16 Maret 2020, 18:00 WIB), pemerintah mengeluarkan kebijakan Social Distancing dengan “belajar, bekerja, beribadah” dari rumah. Pemerintah Pusat akhirnya juga mengizinkan pemerintah daerah untuk mengambil inisiatif menyiarkan informasi kepada masyarakat mengenai kasus COVID-19 di daerah masing-masing dan melakukan uji laboratorium.
Social Distancing atau mengambil jarak dari aktivitas sosial dimaksudkan untuk menekan risiko penularan, dengan itu ledakan jumlah pasien bisa dicegah sehingga institusi kesehatan memiliki kesempatan lebih banyak untuk melakukan perawatan sambil meningkatkan imunitas warga. Sayangnya, sejumlah persoalan masih terus terjadi dan perlu mendapat perhatian:
Pertama, social distancing tidak dikenal dalam ketentuan hukum Indonesia. Penetapan status bencana nasional itu merujuk pada UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, tetapi UU ini tidak mengenal konsep social distancing. Apabila yang dimaksud dengan social distancing adalah “pembatasan sosial”, hal itu dikenal di UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Pasal 59 UU 6/2018 menyebutkan “Pembatasan Sosial Berskala Besar” (PSBB) yang merupakan bagian dari “Kedaruratan Kesehatan Masyarakat” (KKM). Tetapi, status KKM harus ditetapkan terlebih dahulu oleh pemerintah. Sejauh ini, pemerintah menetapkan status “bencana nasional.” Kalau PSBB mau ditempuh, dia juga mencakup peliburan sekolah dan tempat kerja. Akhirnya, social distancing hanya bersifat himbauan saja kepada individual, dan tidak diikuti oleh tempat kerja/perusahaan. Imbasnya kebijakan social distancing tidak dapat berjalan efektif, sebagaimana diuraikan di bawah.
Kedua, kebijakan social distancing belum disertai dengan koordinasi yang baik antara pusat dan daerah serta sektor-sektor lain. Contoh nyata adalah penumpukan penumpang bus Trans Jakarta, dan MRT pada hari Senin, 16 Maret 2020, di Jakarta, pasca himbauan untuk social distancing oleh presiden. Penumpukan terjadi akibat: pertama, tidak ditaatinya anjuran untuk bekerja di rumah, dan kedua, adanya pengurangan layanan bus transjakarta secara ekstrem.
“Yang lebih buruk adalah, kami melihat ada komunikasi yang kurang sehat antara Presiden dengan Gubernur Jakarta. Kami mendesak, di masa krisis di mana keselamatan rakyat menjadi taruhannya, para pemimpin menahan dan menunda segala jenis persaingan individual/politik dan lebih berfokus untuk bersama-sama menangani bencana. Tanpa kebersamaan dan sikap satu suara, kebijakan apapun akan kandas. Kepentingan kemanusiaan harus berada di atas kepentingan politik,” bunyi siaran pers dari jaringan masyarakat sipil yang diterima redaksi (16/3)
Ketiga, kebijakan social distancing juga belum disertai dengan peningkatan kapasitas dan ketersediaan pelayanan rumah sakit. Dalam pelbagai edaran, pemerintah memang telah mengumumkan sejumlah rumah sakit yang katanya disiapkan untuk menangani pasien COVID-19, namun kenyataan di lapangan menunjukkan hal-hal yang sama sekali bertentangan. Sejumlah laporan membeberkan betapa buruknya pelayanan dan respon rumah sakit di Jakarta terhadap warga yang bermaksud memeriksakan diri. Buruknya respon rumah sakit menunjukkan betapa rumah sakit-rumah sakit itu sama sekali tidak siap menangani pasien terutama para pasien dari kalangan rakyat biasa.
Keempat, kebijakan dan penanganan yang dilakukan pemerintah belum disertai kerja sama global yang intens dan efektif. Sebelum COVID-19 tiba di Indonesia, ia telah menyerang di pelbagai negara. Ada banyak negara yang telah berhasil menangani virus ini mulai dari China, Korea Selatan, Taiwan dan Singapore. Sudah semestinya pemerintah bisa memetik pelajaran dan melakukan upaya yang tanggap dalam hal kerjasama internasional termasuk menerima bantuan teknologi uji laboratorium, tenaga dan analisis medis, sehingga wabah ini bisa lebih cepat diatasi di Indonesia. Untuk mengatasi krisis dan menyelamatkan warga, bukan pada tempatnya memancang sikap gagah-gahan yang konyol.
Kelima, social distancing memiliki implikasi politik kewargaan guna mendorong tumbuhnya solidaritas kemanusiaan. Pesan utama dari social distancing adalah dengan menjaga diri sendiri, Anda menjaga kesehatan orang lain! Untuk itu, social distancing mensyaratkan kepemimpinan yang efektif sekaligus peduli, guna melibatkan partisipasi pelbagai kelompok dan tokoh masyarakat yang seluas-luasnya.
“Secara khusus kami juga menyoroti absennya kepemimpinan yang peka krisis, tanggap, dan efektif. Penularan yang terjadi terhadap para pejabat di lingkungan Istana, menunjukkan betapa berisikonya sikap yang menganggap enteng penyebaran virus ini. Salah satu pihak yang paling bertanggung jawab dalam soal ini adalah Menteri Kesehatan RI. Sejak awal Menkes menunjukkan sikap pongah, menganggap enteng, dan anti-sains, yang terus memandang rendah persoalan, namun berakibat pada hilangnya kewaspadaan,” tambah mereka.
Dalam catatan jarigan masyarakat sipil ini, beberapa pekan terakhir kami mencatat sejumlah kesalahan mendasar yang dilakukan oleh Menkes:
- Pernyataan bahwa pasien yang sudah sembuh akan imun, di saat pengalaman negara lain menunjukkan sebaliknya;
- Gagal mengkoordinasi RS agar sigap melakukan pemeriksaan dan penanganan COVID-19, termasuk memastikan ketersediaan dana/anggaran dan alat; dan juga menjaga mutu/kualitas kerja tenaga kesehatan, tenaga administrasi, pusat data dan informasi di RS, terutama di waktu krisis sekarang;
- Masih dimonopolinya pemeriksaan sample hasil tes swab di Litbangkes Jakarta yang memperlambat respons tanggap darurat;
- Menggelar acara publik dan bukannya turut menerapkan social distancing.
Hal ini membuat risiko yang dihadapi Indonesia saat ini tidak akan dapat ditangani tanpa Menteri Kesehatan yang betul-betul memahami kebijakan kesehatan publik. Bagaimana mungkin rumah sakit akan bekerja secara serius apabila Menkesnya sendiri beranggapan COVID-19 ini sama dengan flu biasa dan bisa sembuh dengan sendirinya?
“Kami mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengganti Menkes Terawan dengan figur yang lebih paham kesehatan publik, punya kepekaan krisis, yang akan memandu kita melewati krisis kesehatan terburuk ini,” tutup mereka.
Jaringan koalisi masyarakat sipil ini terdiri dari KontraS, Lokataru, YLBHI, LBH Masyarakat, WALHI, PKBI, YLKI, P2D, Migrant Care, AJAR, Amnesty International Indonesia, PSHK. Sebagai wujud membantu warga yang kesulitan mendapatkan pelayanan medis seputar COVID-19 ini, kami menyediakan saluran pengaduan online melalui email: [email protected] dan pengaduan via whatsapp di nomor: 081385412441 dan 089697820462.