Saya teringat bahwa salah satu poin rekomendasi hasil Rembug Budaya dalam rangka Haul Gus Dur ke-10, beberapa waktu lalu, berisi sebagai berikut:
“Kebudayaan harus melestarikan kemanusiaan dengan menangkap pergumulan kemanusiaan, khususnya pengalaman hidup kelompok-kelompok rentan/lemah seperti perempuan, penghayat kepercayaan, difabel, dll.”
Rembug Budaya saat itu membicarakan masalah dan rekomendasi kebudayaan yang ada di Indonesia. Dihadiri oleh Hilmar Farid selaku Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, kemudian banyak sekali para pegiat dan aktivis kebudayaan mulai dari akademisi, penulis, sutradara, pendidik, ulama, sampai komedian, keresahan-keresahan soal budaya Indonesia disalurkan. Satu penyampaian yang menarik – jika saya tak salah, disampaikan oleh Pak Hairus Salim, disampaikan bahwa,
“Salah satu kelompok yang sering mengalami diskriminasi budaya dan perlu mendapatkan perhatian adalah para penganut agama minoritas, dalam hal ini para penghayat kepercayaan.”
Tidak semua orang pernah berinteraksi dengan para penghayat kepercayaan. Bagi sementara orang – setidaknya dari pengalaman pribadi penulis, beragam kepercayaan semacam itu jarang menunjukkan eksistensi yang semarak di masyarakat. Mungkin saja kalangan semacam itu ada di sekitar kita, namun tertutupi (atau mungkin menutup diri) baik karena soal identitas, sistem pendidikan, atau diskriminasi.
Bertempat di Goethe Institut, Menteng, Jakarta Pusat, saya mengikuti peluncuran dan diskusi film Atas Nama Percaya, yang kiranya mampu membuka wawasan dan kesadaran soal peliknya kehidupan masyarakat penghayat kepercayaan di Indonesia. Film ini adalah bagian dari program Indonesian Pluralities, kerjasama CRCS (Center for Religious and Cross-cultural Studies) UGM Yogyakarta, Watchdoc, dan Pardee School of Global Affairs, Boston University.
Dalam peluncuran dan diskusinya di Jakarta, dihadirkan Samsul Maarif dari CRCS UGM, kemudian Andri Hernandi dari masyarakat Aliran Kebatinan Perjalanan, serta Henny Supolo Sitepu dari Yayasan Cahaya Guru sebagai penyelenggara.
Film dokumenter ini secara garis besar menyorot dua komunitas penghayat kepercayaan yang eksis di Indonesia, yaitu Aliran Kebatinan Perjalanan di Subang, Jawa Barat, serta penghayat Marapu di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Setidaknya dari refleksi pribadi penulis, film ini menyorot setidaknya tiga masalah yang menaungi para penghayat kepercayaan di negeri ini: persoalan administrasi, utamanya terkait kolom agama di KTP; kemudian soal adanya diskriminasi yang terjadi di ruang publik, dalam hal ini stigma dan riwayat kekerasan budaya yang dialami; serta persoalan pendidikan “agama-agama lokal” ini di sekolah-sekolah.
“Semoga pertemuan dan diskusi film ini bisa menjadi ruang perjumpaan bagi kita semua,” demikian terang Henny Supolo Sitepu dari Yayasan Cahaya Guru. Benar saja, saya sendiri menyadari bahwa pengalaman dan pengetahuan saya soal kepercayaan-kepercayaan masyarakat ini sangat sedikit, atau jika bisa dikatakan, nyaris nol.
Mulanya adalah persoalan administratif. Kita mungkin pernah mendengar pernyataan seorang pejabat bahwa kolom agama dalam KTP akan ditiadakan. Kontroversi ini merebak di mana-mana. Rupanya bagi penghayat kepercayaan, kolom agama ini menjadi soal. Berdasarkan keterangan Andri Hernandi, selaku salah satu pemimpin masyarakat Aliran Kebatinan Perjalanan, sekian banyak orang beradaptasi demi persoalan administratif ini. Para penghayat memilih mengisi agama sekenanya, meski pada praksisnya mereka tidak mengamalkan agama sesuai yang tercatat.
Namun zaman bergulir, pada tahun 2006 kolom agama diperbolehkan untuk dikosongkan. Dalam perkembangannya, berdasarkan ketetapan Mahkamah Konstitusi tahun 2017, kolom agama di KTP bisa diisi dengan “Kepercayaan kepada Yang Maha Esa”.
Lain di Aliran Kebatinan Perjalanan, lain pula di Marapu. Masyarakat adat tersebut banyak yang mengisi dengan isian Katolik atau Protestan. Mereka menyatakan bahwa kalaupun kepercayaan mereka tidak diatur oleh pemerintah, mereka akan mengatur kepercayaan leluhur ini dengan cara mereka sendiri.
Masyarakat Marapu ini memiliki kawasan eksklusif keagamaan yang terlarang diakses orang lain. Larangan ini, dalam film ditegakkan oleh para tetua adat yang meriung membahas datangnya wartawan untuk melakukan liputan. Mereka menyembelih ayam yang telah dibacakan doa-doa, lalu dilihat dari bagian hatinya: mereka membaca isyarat dari hati ayam itu bahwa leluhur tidak berkenan ada orang asing masuk ke kawasan ekslusif keagamaan mereka.
Selain itu, demi eksistensi kepercayaan Marapu, setidaknya dari sekian anak yang ada dalam keluarga mesti ada satu atau dua orang yang menjadi penerus kepercayaan Marapu. Dari sini, diskusi tentang konten pendidikan penghayat kepercayaan secara formal mulai dibincangkan.
Dalam film itu disajikan bahwa ada seorang anak penghayat kepercayaan Aliran Kebatinan Perjalanan yang sekolah di salah satu SMA di Subang, yang memilih untuk mengikuti kegiatan agama Islam, meskipun ketika sudah pulang ke rumah, ia tetap mengikuti kegiatan dari kepercayaannya itu. Hal ini juga dijelaskan oleh Andri Hernandi, bahwa semasa ia sekolah, ia mengikuti pelajaran agama Islam atas saran orang tuanya,
“Karena kata guru saya dulu, pelajaran untuk penghayat kepercayaan itu tidak ada. Jadi oleh orang tua disarankan ikut pelajaran agama lain saja.”
Begitupun di Marapu, dalam film tersebut disorot bagaimana penghayat kepercayaan dari beragam aliran di Sumba diundang dalam sebuah sarasehan budaya, membincangkan masa depan dan kebutuhan pendidikan untuk generasi mereka. Saya kira perhatian mereka pada adat dan kepercayaan leluhur tidak main-main.
Seluruh aliran kepercayaan ini saling memberi hormat, mengapresiasi penghayatan setiap masyarakat tentang “Tuhannya”, dan mencari solusi demi eksistensi apa yang telah mereka yakini dan amalkan selama ini.
Diakui oleh Andri Hernandi, ia dan orang-orang dari MLKI (Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia) telah menyusun draf dan pedoman didik untuk siswa-siswa penghayat kepercayaan di Indonesia, dengan segala tantangannya. Salah satu hal sulit dari menyusun pedoman ini, adalah persoalan tentang apa itu “Tuhan” bagi tiap-tiap penghayat.
Tak hanya dari sisi administratif dan pendidikan formal juga, riwayat represi budaya juga pernah terjadi di Aliran Kebatinan Perjalanan. Salah satu penyintasnya menyatakan dalam film bahwa pada suatu masa tidak jauh dari masa Gestapu 1965, orang-orang dari beragam penganut aliran kepercayaan dikumpulkan ke lapangan, lalu diinterogasi, dituding tidak beragama dan komunis, serta tidak sedikit juga yang mengalami siksaan fisik. Dinyatakan telah cukup lama banyak hak-hak sipil yang tidak terpenuhi untuk mereka, seperti urusan kerja, beribadah, dan sebagainya.
Samsul Maarif dari CRCS UGM mengatakan, “Agama adalah bentuk konstruksi politik.” Salah satu wujudnya adalah pengakuan agama-agama di Indonesia, yang hanya enam jumlahnya. Padahal pengamal kepercayaan di masyarakat Indonesia, mungkin lebih tua dan lebih banyak dari agama yang diakui itu sendiri di Indonesia.
Ia juga mengutip Shakman Hurd, terkait bentuk agama yang ada di masyarakat. Ada govern religion (agama yang diatur pemerintah); expert religion (agama yang diajarkan oleh para ahlinya, seperti oleh para ulama); serta lived religion, yaitu agama-agama yang telah mentradisi dan hidup di masyarakat. Samsul Maarif mencontohkan, bahwa tradisi kenduri atau slametan di masyarakat adalah wujud akomdasi agama dan tradisi yang sudah hidup itu. “Dengan demikian sebenarnya kita melihat bahwa masyarakat adat dan penghayat kepercayaan ini lebih terbuka dengan budaya dari luar. Justru yang kerap diskriminatif adalah agama-agama yang diatur pemerintah, govern religion itu.” imbuhnya.
Menonton dokumenter Atas Nama Percaya ini, rasanya berjumpa serta mengakui yang berbeda adalah hal yang perlu dibiasakan. Masih banyak sekali prasangka-prasangka yang ada dalam pikiran orang kebanyakan bahwa penghayat kepercayaan adalah entitas yang jauh dan terasingkan.
Diskriminasi sangat mungkin muncul dari diri setiap manusia. Dan konon, sikap diskriminatif kerap muncul dari gelagat sikap merasa menjadi mayoritas atau memiliki kuasa tertentu. Hal ini seakan menafikan bahwa keragaman dan kebudayaan-lah yang “membangun” Indonesia.
Barangkali pengalaman seperti itu yang saya refleksikan secara pribadi dari menonton film Atas Nama Percaya. Film ini konon sudah diputar oleh banyak komunitas dan institusi di Indonesia, dan mungkin jadi preseden yang baik untuk mulai berpihak pada keragaman, kemanusiaan serta kebudayaan sebagai penyangga republik ini. (AN)