Dampak Buruk KUHP Baru Bagi Perempuan dan Kepercayaan Minoritas: Catatan Diskusi Srikandi Lintas Iman, UNU Yogyakarta dan SP Kinasih

Dampak Buruk KUHP Baru Bagi Perempuan dan Kepercayaan Minoritas: Catatan Diskusi Srikandi Lintas Iman, UNU Yogyakarta dan SP Kinasih

UU KUHP baru telah disahkan dan memantik perdebatan publik. Bagaimana dampak KUHP baru bagi perempuan dan kepercayaan minoritas sebagai kelompok rentan?

Dampak Buruk KUHP Baru Bagi Perempuan dan Kepercayaan Minoritas: Catatan Diskusi Srikandi Lintas Iman, UNU Yogyakarta dan SP Kinasih

Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Republik Indonesia memantik perdebatan publik. Pasalnya, UU KUHP terbaru yang disahkan oleh pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 6 Desember 2022 tersebut menyimpan potensi pelanggengan pelanggaran HAM alih-alih terwujudnya keadilan. Klausul pidana terbaru yang tertuang dalam KUHP terbaru ini ditengarai belum memberi perlindungan penuh bagi perempuan dan kelompok kepercayaan minoritas yang selama ini menjadi kelompok rentan.

Berdasarkan kegelisahan tersebut, komunitas Srikandi Lintas Iman (Srili) Yogyakarta, bekerjasama dengan Solidaritas Perempuan Kinasih dan Direktorat GESI Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta menggelar diskusi publik bertajuk “Dampak Buruk KUHP bagi Perempuan dan Keyakinan Minoritas.” Diskusi ini dilaksanakan pada tanggal 23 Desember dan diselenggarakan secara daring.

Salma Safitri dari Solidaritas Perempuan Nasional yang juga pakar hukum menunjukkan di awal paparannya, bahwa salah satu kecacatan yang dimiliki KUHP yang baru akan diimplementasikan kepada setiap warganegara akhir 2025 nanti, adalah sejak masa perumusan draf atau ketika masih berupa Rancanga Undang-undang. Dibandingkan dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), RUU KUHP tidak terjadi diskusi publik yang terbuka sejak mula, bahkan draf naskahnya sulit sekali untuk bisa diakses dan dipelajari.

Baca juga: Meninjau Penghapusan Frasa “Penodaan Agama” dalam KUHP Terbaru

Kondisi demikian menunjukkan tendensi bahwa dalam proses penyusunan RUU KUHP suara rakyat tidak didengar dan dilibatkan. Sehingga memunculkan dugaan sirkulasi informasi RUU KUHP hanya berputar di lingkaran elit oligarki politik maupun ekonomi. Padahal banyak isu yang perlu diperbincangkan kepada publik, terutama terkait dengan kekhawatiran dorongan main hakim sendiri, dengan adanya pengakuan akan Living Law yang malah bisa dijadikan dasar penjatuhan hukuman kepada orang lain.

Risma Umar sebagai penanggap dari Solidaritas Perempuan Nasional banyak mencemaskan tentang Living Law ini. Ia mengatakan, bahwa dari sekian banyak hukum adat yang digunakan masyarakat Indonesia, mayoritas tidak berpihak kepada perempuan.  Sebelum ada KUHP saja, perempuan banyak kehilangan haknya dalam sistem masyarakat yang masih terjebak dalam pola pikir patriarkis.

Satu penanggap dari Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS), Tri Noviana, mencemaskan keberadaan KUHP dari sisi aspek kependudukan kaum penghayat kepercayaan yang merupakan kelompok minoritas. Ia menyoroti tentang administrasi kependudukan yang masuk kategori pidana. Hal ini amat riskan bagi kelompok penghayat kepercayaan, sebab sebelum disahkannya KUHP terbaru pun, negara amat lambat dalam mengakomodasi hak mereka.

Kegelisahan ini dibenarkan Salma Safitri sebagai narasumber, yang mengemukakan bahwa ketika pasal hukum sebelumnya mengungkapkan keterlambatan urusan kependudukan hanya dikenai denda administrasi, pada KUHP baru nantinya, akan dikategorikan dalam tindak pidana. Sebuah kenyataan yang sesungguhnya menciderai perlindungan kepada setiap warganegara.

Anastasia Kiki, penanggap lain dari Jaringan Perempuan Yogyakarta yang selama ini banyak mengawal pendampingan hukum untuk korban kekerasan seksual dan kaum minoritas, mengemukakan bahwa KUHP baru ini bagai sebuah kecelakaan. KUHP baru akan memidanakan semua yang menganggu kepentingan penguasa politik maupun ekonomi mereka di semua level.

Penguasaan sumber daya di sebuah daerah yang mengeksploitasi kepentingan rakyat kecil tidak bisa diusik. Menentang kebijakan otoritarian tersebut hanya akan menghadapkan rakyat kepada ancaman sanksi hukum pidana.

KUHP terbaru juga ditengarai tidak berpihak pada perempuan dan wilayah isu seksual. Ada kekhawatiran pada kasus kekerasan seksual yang apabila pelakunya memiliki kedudukan atau kekuasaan tertentu, relasi kuasa dan hukum pidana baru ini akan dipergunakan untuk membungkam korban.

Selain juga perihal pendidikan kesehatan reproduksi yang akan dianggap mengajarkan anak atau remaja tentang seks, sehingga kegiatan tersebut berpotensi dipidanakan, meski semua orang kini menyadari sedemikian pentingnya memberi pemahaman kepada anak muda tentang tindak kekerasan atau pelecehan seksual yang mungkin dialami.

Sebuah kesimpulan dari diskusi daring ini, bahwa setiap orang bisa terjerat kriminalisasi dari KUHP terbaru ini. Karena siapa saja yang memiliki akses kapital dan memegang kuasa politik, bisa memidanakan orang lain dengan berbekal pasal-pasal di KUHP, serta tambahan Perda-perda di tiap daerah yang makin memberatkan.

Dengan gelaran diskusi publik ini, penting bagi jejaring kelompok solidaritas perempuan dan kepercayaan minoritas untuk bersinergi dan berkolaborasi dalam kerja edukasi masyarakat, serta mengawal revisi isi KUHP yang berpotensi merugikan banyak pihak, terutama perempuan dan kelompok minoritas. Agenda bersama ini menjadi semakin penting mengingat KUHP akan diimplementasikan pada akhir tahun 2025.

Kontributor: Ivy Sudjana