Lebaran tahun ini akan segara tiba. Ramadhan kian berlalu. Tidak ada jaminan, Ramadhan yang akan datang akan jadi milik kita lagi. Selalu saja ada perasaan bahagia bercampur haru menanti kehadiran hari raya yang sudah di ambang mata. Kepergian Ramadhan yang ditandai dengan hadirnya Idul Fitri mengajarkan kepada kita, betapa perasaan sedih dan bahagia tidak selamanya datang silih berganti. Ia bisa hadir bersamaan.
Bagi sebagian orang, akhir Ramadhan adalah detik-detik menanti kebahagiaan. Idul Fitri bagi mereka tak hanya menjadi momen pensucian diri, setelah sebulan lamanya menempa diri dan berburu amal ibadah, tapi juga menjadi moment yang dinanti-nanti kehadirannya guna merayakan kebahagiaan bersama orang-orang tercinta.
Mudik yang telah menjadi tradisi tahunan di bangsa ini, tiada lain adalah bagian dari laku memperjuangankan kebahagiaan. Salah satunya adalah kembali menengok kampung halaman, setelah berbulan-bulan berjibaku dengan rutinitas kerja di rantau yang membosankan.
Namun demikian, cerita tentang mudik, kebahagiaan serta kehangatan berlebaran bersama keluarga itu, tampaknya hanya akan menjadi kenangan tahun ini. Wabah corona yang hingga saat ini belum jelas kepastiannya kapan berakhir, menjadi alasan akan hal itu. Corona tak hanya berhasil mengubah pola hidup manusia, tapi juga merenggut kebahagiaannya. Oleh karenanya, boleh jadi, tahun ini kita merayakan Idul Fitri di tengah keterbatasan. Shalat Idul Fitri sendiri di rumah, terbatas jarak, jauh dari sentuhan kasih sayang keluarga sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.
Meski terasa berat serta jauh dari kebahagiaan, kenyataan ini harus bisa diterima dengan penuh kesabaran. Biarkan lebaran kali ini menjadi kenangan di masa yang akan datang. Kenangan yang tidak selamanya menyisakan kebahagiaan, melainkan kesedihan.
Orang bijak bilang, kesedihan adalah penyempurna kebahagiaan. Silih bergantinya kesenangan dan kepedihan mengiringi kehidupan adalah pertanda bahwasanya manusia itu masih hidup. Tinggal bagaimana kita mengambil hikmah dibalik setiap peristiwa.
Bagi mereka yang terbiasa menjalani Ramadhan serta merayakan lebaran dengan penuh kecukupan bersama keluarga, tentu saja, Ramadhan dan Lebaran tahun ini akan terasa hambar. Berbeda bagi mereka yang hidup kesehariannya susah. Tanpa corona, semeriah apapun suasana lebaran tetap tawar baginya.
Untuk itulah puasa, selain mengajarkan kesabaran, juga kesederhanaan dan kepedulian. Maka dari itu, esensi dari ibadah puasa sesungguhnya bukanlah ajang untuk bermegah-megahan, termasuk dalam hal urusan makan dan minum.
Hal ini penting diketahui, mengingat betapa banyak orang diantara kita mengaku berpuasa, namun pada kenyataannya tidak demikian, justru dalam faktanya, ia hanya memindahkan jadwal makan. Akibatnya, puasanya pun berujung pada kehampaan. Sebagaimana hadis Nabi “Betapa banyak orang-orang yang berpuasa, namun ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya, kecuali lapar dan haus” (H.R. Ath-Thabrani)
Corona hadir untuk menguji kesabaran dan kecintaan kita kepada materi yang kerap membuat manusia lupa diri. Olehnya itu, masa pandemi ini bisa menjadi wahana untuk bermuhasabah diri guna menjernihkan hati dan pikiran kita, sebab hanya dengan itu, kita bisa menangkap hikmah terdalam dari ibadah puasa kita yang kita jalankan.
Jika corona membatasi ruang gerak serta interaksi sosial kita, Ramadhan pun demikian. Puasa mengajarkan kita membangun jarak dengan kesia-siaan dan dosa. Karena dosa tak ubahnya seperti virus yang bisa menjangkiti semua manusia.
Demikian pula bahwa pandemi corona tak mengenal status sosial, agama, budaya dan negara. Demikian pula dengan dosa. Makan dari itu, pertobatan dan pemaafan dengan penuh ketulusan, baik kepada Tuhan maupun kepada sesama adalah upaya kita memulihkan diri dari infeksi bernama dosa.
Kita tidak perlu khawatir jika lebaran kali ini tidak disertai dengan jabat tangan, sebagaimana lazim dilakukan usai shalat Idul Fitri. Jabat tangan hanya selebrasi, bermaafan adalah esensi. Bermaafan yang sesungguhnya adalah kerelaan hati untuk menerima dan melebur kesalahan orang lain kepada diri.
Betapa banyak orang yang bersalaman dengan alasan memberi dan meminta maaf, namun ketulusan untuk memaafkan tak hadir menyertainya. Dendam dan kebencian masih saja tertanam kuat dalam hati dan pikiran. Jika demikian, lalu apa arti Idul Fitri (kembali suci)?
Pada akhirnya, jabat tangan bukanlah penentu kembalinya manusia ke fitrahnya, karena yang sesungguhnya menjadi penentu adalah ketulusan, baik bagi penerima maupun pemberi maaf. Maka dari itu, tidak mengherankan jika Al-Quran memberi predikat khusus bagi mereka, orang yang bisa memberi maaf.
Memberi maaf jauh lebih mulia ketimbang meminta maaf, tentunya hanya orang-orang tulus bisa bisa melakoninya. Itulah esensi dari hari raya. Walhasil, hadirnya corona di Lebaran tahun ini mengharuskan kita berjarak, sejatinya tidak membuat hati dan pikiran dan ketulusan kita ikut berjarak. Kita tetap saling memaafkan.