Larangan Pencatatan Perkawinan Beda Agama; Supremasi Agama Atas Ruang Privat?

Larangan Pencatatan Perkawinan Beda Agama; Supremasi Agama Atas Ruang Privat?

Alih-alih meluruskan pranata hukum perkawinan di Indonesia, Surat Edaran MA No. 2 Tahun 2023 justru bisa semakin memvalidasi kuasa mayoritas dalam mengontrol ruang publik dan privat.

Larangan Pencatatan Perkawinan Beda Agama; Supremasi Agama Atas Ruang Privat?

Mahkamah Agung resmi mengundangkan aturan tentang larangan pencatatan perkawinan beda agama. Aturan tersebut dinyatakan melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 2023 tentang petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan pernikahan dan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan.

SEMA tersebut menegaskan dua hal. Pertama, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Kedua, hakim dilarang untuk mengabulkan pencatatan pernikahan yang berbeda agama.

Sebelum SEMA diundangkan, pengabulan permohonan perkawinan beda agama sepenuhnya bergantung pada kebijaksanaan hakim. MUI memang mengeluarkan fatwa soal larangan nikah beda agama pada Juli 2005 silam, namun keputusan MUI tersebut tidak berkekuatan hukum.

Karena itu, Asrorun Niam Sholeh, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang fatwa, mengapresiasi keputusan MA ini. Menurutnya, dilansir Nasional Tempo, SEMA tersebut dapat memberikan kepastian hukum dan menutup celah bagi pelaku perkawinan beda agama yang berusaha mengakali hukum.

UU Perkawinan; Titik Temu Tiga Kepentingan

Sepanjang sejarah Indonesia, wacana Undang-Undang Perkawinan setidaknya selalu melibatkan tiga kepentingan, yakni aspirasi agama, kekuasaan negara, dan suara perempuan.

Dalam wacana dikotomi publik-privat, perbincangan seputar perkawinan cenderung dianggap sebagai ruang privat. Pengaturan perkawinan tidak bisa dilepaskan dari wacana keluarga. Dalam konteks inilah baik agama dan negara sebagai institusi memiliki kepentingan untuk mengadakan pengaturan.

Agama sebagai institusi memiliki kepentingan yang signifikan atas keluarga, karena keluarga adalah satuan kelompok sosial terkecil yang memiliki peran penting dalam penanaman nilai-nilai dasar agama. Sementara itu, negara sebagai institusi modern pun tidak bisa mengabaikan keluarga dalam menciptakan ketertiban dalam konteks warga negara.

Ditambah, identitas Islam adalah unsur dominan dalam satu wadah yang disebut Indonesia. Bahkan, komunitas Muslim paling besar dalam satu negara di dunia. Karena itu, menjadi masuk akal jika memahami alur perjalanan dan logika hukum perkawinan di Indonesia.

Ada dua pertanyaan menarik. Seberapa besar pengaruh Islam dalam pembentukan UU Perkawinan di Indonesia. Apakah hukum perkawinan di Indonesia adalah upaya Islam untuk “mengakrabkan” warganya dengan hukum Islam. Sayang sekali, dua pertanyaan itu tidak disinggung mendetail di sini.

Riwayat Perdebatan UU Perkawinan

Keputusan Mahkamah Agung tersebut menginduk pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan UU Perkawinan tahun 1974 sendiri bisa dikatakan kristalisasi dari wacana-wacana hukum Islam tentang perkawinan yang terakumulasi sejak era kolonial.

Awalnya, RUU Perkawinan berhasil diajukan ke parlemen pada 1958. Namun saat sidang DPR, fraksi nasionalis yang diwakili Partai Negara Indonesia (PNI) menyatakan bahwa UU Perkawinan haruslah mencakup semua golongan lapisan masyarakat Indonesia tanpa harus membedakan agama, ras, dan suku tertentu.

Di sisi lain, Nahdlatul Ulama sebagai representasi kelompok religius menegaskan bahwa dalam negara yang berlandaskan ‘Ketuhanan yang Maha Esa’, seharusnya nilai dan pengertian tentang perkawinan didefinisikan menurut ajaran agama, bukan semata urusan keperdataan. Artinya, sah atau tidaknya sebuah perkawinan itu benar-benar dikaitkan dengan institusi agama.

Kontestasi argumen ini sempat mengubur realisasi RUU Perkawinan. Namun, beberapa organisasi perempuan seperti Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) dan Badan Musyawarah Organisasi-organisasi Islam Wanita Indonesia mendesak pemerintah untuk segera mengajukan kembali RUU perkawinan pada 1972.

RUU akhirnya diajukan kembali pada 1973. Namun, RUU tersebut mendapat banyak pertentangan salah satunya dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. PPP menganggap ada 11 poin yang bertentangan dengan ajaran Islam, salah satunya adalah perkawinan antar agama.

Untuk mencari jalan keluar dari pertentangan itu, dibuatlah lima kesepakatan. Salah duanya adalah Hukum Agama Islam dalam RUU Perkawinan tidak dikurangi atau dirubah. Kemudian hal-hal yang bertentangan dengan Agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dalam UU ini dihilangkan.

Akhirnya, RUU tersebut disahkan pada 2 Januari 1974, dan diundangkan menjadi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Salah satu poin yang direvisi adalah bolehnya perkawinan beda agama.

SEMA No. 2 Tahun 2023; Degradasi Hukum Perkawinan?

Menimbang masyarakat Indonesia yang pluralistik, sangat mungkin terjadi perkawinan di antara dua orang pemeluk agama yang berlainan. Karena itu, banyak kasus pencatatan perkawinan beda agama yang telah terjadi di Indonesia. Misalnya di PN Semarang dan PN Surabaya.

Menurut banyak kalangan, dikabulkannya permohonan penetapan kawin beda agama oleh Pengadilan Negeri (PN) itu mereduksi UU No. 1 Tahun 1974. Hal ini dianggap meresahkan. Keresahan plus desakan banyak kalangan itulah sabab musabab SEMA Nomor 2 Tahun 2023 lahir.

Dilansir dalam situs resmi Kemenag, masyarakat banyak beranggapan keabsahan ini sebagai degradasi hukum perkawinan di Indonesia. Penetapan permohonan pencatatan kawin beda agama oleh hakim pengadilan dinilai masyarakat bukan menjadi terobosan atau solusi atas kebuntuan hukum, akan tetapi menjadi preseden buruk bagi pranata hukum perkawinan di Indonesia.

Di sisi lain, beberapa kalangan juga menyoroti keputusan MA tersebut. Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menilai SEMA nomor 2 tahun 2023 tersebut sarat dengan intervensi politik yang bertentangan dengan Undang-Undang Administrasi Kependudukan serta melanggar hak asasi manusia.

Direktur Program Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Ahmad Nurcholis, yang juga sebagai konselor pasangan beda agama, mengatakan terbitnya SEMA merupakan kemunduran yang luar biasa bagi Mahkamah Agung.

Menurutnya, MA tergolong progresif dalam hal perkawinan beda agama dengan terbitnya putusan MA No. 1400/K/Pdt/1986. Putusan itu menyatakan perkawinan beda agama sah di Indonesia dengan jalan penetapan pengadilan. Karena itu, munculnya SEMA No. 2 Tahun 2023 cenderung mengagetkan dan menjadi semacam titik balik kemunduran MA.

Jika dicermati, substansi perdebatannya nyaris sama seperti ketika RUU Perkawinan 1974 hendak di ajukan, perkawinan sebagai pranata agama atau hak kemanusiaan.

Sebuah Kaca Mata Alternatif

Sebuah putusan hukum ditetapkan atas dua hal; legal justice dan moral justice. Legal justice (keadilan umum) adalah keadilan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku dan dari putusan hakim pengadilan yang mencerminkan keadilan hukum negara dalam bentuk formal. Moral justice (keadilan moral) adalah keadilan berdasarkan moralitas.

Dalam tataran keadilan moral, aktor yang “dianggap” paling otoritatif menentukan koridor moralitas di Indonesia adalah umat Islam bersama tokoh-tokoh agamanya. Salah satu produknya adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang akhirnya melahirkan SEMA No. 2 Tahun 2023.

Karenanya, alih-alih meluruskan pranata hukum perkawinan di Indonesia, Surat Edaran MA No. 2 Tahun 2023 bisa juga dilihat sebagai validasi kekuasaan mayoritas dalam mengontrol ruang publik dan privat.

Dalam tataran tertentu, realitas ini tidak dipersalahkan. Di belahan bumi manapun, produk hukum akan selalu dipengaruhi oleh nilai-nilai dominan di wilayah tersebut. Namun, penting untuk melihat sebuah fenomena dari banyak sisi. Paling tidak sebagai upaya check and balances.

Walakhir, mengabaikan aspirasi agama tampak tidak mungkin di Indonesia. Yang terus menjadi catatan adalah soal porsi dan takarannya. Artinya, kebijakan yang diambil harus dalam koridor kebijaksanaan untuk mengantisipasi dominasi yang terlalu berlebihan, melampaui batas, hingga merugikan kelompok lain.