Mengapa Terjadi Perbedaan Pendapat dalam Kasus Nikah Beda Agama?

Mengapa Terjadi Perbedaan Pendapat dalam Kasus Nikah Beda Agama?

Setiap ada kasus nikah beda agama, masyarakat berbondong-bondong membully para pelakunya. Padahal ada berbagai perdebatan dalam ayat-ayatnya.

Mengapa Terjadi Perbedaan Pendapat dalam Kasus Nikah Beda Agama?

Setiap muncul berita nikah beda agama, media sosial menjadi riuh. Bukan hanya sekedar riuh, muncul pula banyak kalimat-kalimat tak patut, mulai kafir, zina, hingga meragukan keabsahan pernikahannya. Bahkan terkadang diimbuhi dengan kalimat-kalimat yang merendahkan, seolah sang komentator paling islami sendiri. Padahal bisa jadi kalau ditanya alasannya, hanya sebagian kecil yang bisa menjelaskan. Yah, namanya juga netizen. hehe.

Sebelum terlalu yakin atas pendapat keharaman nikah beda agama, ada baiknya para pembaca mengetahui berbagai pendapat terkait nikah beda agama.

Ayat Al-Quran yang menyebutkan terkait pernikahan beda agama setidaknya ada dua. Pertama, surat al-Baqarah ayat 221.

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ ࣖ
Artinya,
Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.

Kedua, surat al-Mumtahanah ayat 10.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا جَاۤءَكُمُ الْمُؤْمِنٰتُ مُهٰجِرٰتٍ فَامْتَحِنُوْهُنَّۗ اَللّٰهُ اَعْلَمُ بِاِيْمَانِهِنَّ فَاِنْ عَلِمْتُمُوْهُنَّ مُؤْمِنٰتٍ فَلَا تَرْجِعُوْهُنَّ اِلَى الْكُفَّارِۗ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّۗ وَاٰتُوْهُمْ مَّآ اَنْفَقُوْاۗ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اَنْ تَنْكِحُوْهُنَّ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۗ وَلَا تُمْسِكُوْا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقُوْاۗ ذٰلِكُمْ حُكْمُ اللّٰهِ ۗيَحْكُمُ بَيْنَكُمْۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Artinya,

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang telah kamu berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.

Dua ayat ini termasuk ayat Madaniyah yang melarang perempuan maupun laki-laki menikahi pasangan yang musyrik. Al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib-nya menjelaskan bahwa ayat tersebut merupakan sebuah informasi yang menjelaskan apa yang halal dan yang haram. Dalam kasus menikahi pasangan musyrik tersebut tergolong perkara yang haram: dilarang.

Lalu apakah dengan dua ayat ini bisa disimpulkan dan disepakati bersama bahwa menikah dengan pasangan yang non-muslim juga haram? Ternyata tidak selesai sampai di sini.

Perdebatan Pertama: Non-Muslim termasuk kategori Musyrik atau Ahlul Kitab?

Para ulama memperdebatkan, apakah umat Kristiani, Yahudi, dan juga umat-umat agama lain termasuk kelompok musyrik sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut atau tidak.

Imam al-Razi misalnya menyebut sebagian ulama memasukkan Nasrani dan Yahudi termasuk bagian dari musyrik. Nasrani misalnya menganggap bahwa Isa adalah Allah dan putra Maryam. (Q.S al-Maidah: 17), atau al-Masih putra Allah. (Q.S al-Taubah: 30), dan beberapa ayat lain yang menjelaskan kemusyrikan kaum Nasrani. Begitu juga dengan Yahudi, digolongkan sebagai musyrik karena mereka menganggap Uzair sebagai putra Allah (Q.S al-Maidah: 30).

Namun, sebagian ulama lain menyebut bahwa Yahudi dan Nasrani tidak bisa digolongkan sebagai musyrik. Karena dalam ayat lain disebut bahwa mereka sebagai bagian dari ahlul kitab. Ibnu Qudamah menyebut hal itu ada dalam beberapa ayat, seperti al-Bayinnah: 1, 6; al-Maidah: 82; dan al-Baqarah: 105; musyrik dibedakan dengan ahlul kitab.

Sebagian ulama menyebut bahwa musyrik dalam konteks pernikahan di atas adalah bukan karena mereka menyembah selain Allah, melainkan karena mereka menentang nabi dan dakwahnya, bahkan mereka dengan segenap kekuatan ingin melawan nabi dan melenyapkannya.

Hal ini mengingat ada ayat lain, yaitu surat al-Maidah ayat 5 yang menyebutkan bahwa laki-laki muslim boleh menikahi perempuan ahlul kitab.

اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ ۖوَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖوَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسٰفِحِيْنَ وَلَا مُتَّخِذِيْٓ اَخْدَانٍۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِالْاِيْمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهٗ ۖوَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ ࣖ

Artinya,

Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.

Dari perbedaan terkait ini bisa didapati dua kelompok, kelompok pertama percaya bahwa pernikahan beda agama haram, karena menganggap Yahudi dan Nasrani, juga agama-agama lain bagian dari orang musyrik; dan kelompok kedua membolehkan karena Yahudi dan Nasrani bukan musyrik, bahkan bagian dari ahlul kitab yang disebutkan dalam surat al-Maidah ayat 5.

Apakah hanya sekedar perdebatan ini? Tentu tidak, masih ada berbagai perdebatan lain terkait nikah beda agama.

Perdebatan Kedua: Apakah orang-orang Yahudi dan Nasrani sekarang Bisa Dikategorikan sebagai Ahlul Kitab?

Setelah beberapa hal di atas, perdebatan selanjutnya adalah apakah orang Yahudi dan Nasrani pada masa sekarang bisa digolongkan sebagai ahlul kitab atau tidak? Karena hal ini konsekuensinya pada pernikahan beda agama di masa sekarang. Jika bisa disamakan dengan ahlul kitab zaman nabi, maka dianggap sah pernikahan beda agama, dalam hal suami muslim dan perempuan Nasrani atau Yahudi. Begitu juga sebaliknya.

Namun, para ulama memiliki definisi yang berbeda terhadap term ahlul kitab. Muhammad Abduh misalnya, menyebutkan bahwa setiap pemeluk agama yang memiliki kitab suci, baik itu Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha, selama mereka memiliki kitab suci maka mereka disebut sebagai ahlul kitab, baik masa dahulu maupun masa sekarang.

Para mufassir lain berbeda. Ada yang menyebut bahwa Ahlul Kitab hanya Yahudi dan Nasrani, bukan yang lain. Salah satu mufassir yang berpendapat demikian adalah al-Jashshash al-Hanafi dalam kitab tafsirnya. Pendapat lain menyebut bahwa yang dimaksud ahlul kitab hanya kelompok umat agama Yahudi dan Nasrani pada masa nabi saja. Sedangkan Yahudi dan Nasrani pasca nabi tidak termasuk ahlul kitab.

Perdebatan ini menjadi penting karena berkaitan dengan konsekuensi kebolehan seorang laki-laki muslim menikah dengan pasangan yang berbeda agama. Jika mengikuti pendapat yang menyebut bahwa Yahudi dan Nasrani sekarang bukan termasuk ahlul kitab maka pernikahan tersebut dilarang. Jika mengikuti pendapat yang menyebut Yahudi dan Nasrani sekarang, bahkan para pemeluk agama lain termasuk ahlul kitab, maka diperbolehkan.

Perdebatan Ketiga: Surat al-Maidah: 5 (boleh menikahi perempuan ahlul kitab) masih berlaku atau sudah dihapus (Mansukh)?

Menurut Rasyid Ridha, orang-orang yang mengharamkan laki-laki muslim menikahi perempuan non-muslim adalah menganggap bahwa surat al-Maidah ayat 5 sudah dinasakh oleh al-Baqarah 221. Namun menurut Rasyid Ridha hal ini salah, mengingat surat al-Maidah ayat 5 turun lebih akhir dibandingkan al-Baqarah 221. Pada dasarnya, ayat yang dihapus (mansukh) harus diturunkan lebih dahulu dari pada ayat yang menghapus (naskh).

Rasyid Ridha memilih untuk menjadikan surat al-Maidah: 5 sebagai takhsish (pengecualian) atas ayat al-Baqarah 221. Yakni, memang diharamkan menikahi perempuan yang musyrik, kecuali para perempuan ahlul kitab. Pendapat ini juga didukung oleh al-Qaradhawi.

Perdebatan Keempat: Jika dalam al-Maidah: 5 Laki-laki Muslim boleh Menikahi Perempuan Ahlul Kitab, Bagaimana jika sebaliknya?

Al-Qaradhawi menyebut bahwa faktor dilarangnya muslim menikah dengan perempuan yang berbeda agama adalah karena pada saat itu posisi Islam masih membangun dan mudah digoncang. Sehingga dikhawatirkan jika pernikahan beda agama dilaksanakan maka akan mengganggu stabilitas keimanan dan juga keamanan kelompok muslim saat itu.

Hal seperti ini tentu bisa difahami. Apalagi bagi kita yang sering menonton film-film yang bercerita peperangan zaman dahulu. Cara dan intrik apapun digunakan untuk bisa melemahkan lawan. Salah satunya membuat lawan takluk dengan cinta. Dengan cara ini spionase dan proses menghancurkan lawan dari dalam bisa dengan mudah dilakukan. Oleh karena itu, dengan adanya alasan logis di atas dan juga nash yang ada maka menikahi perempuan ahlul kitab diperbolehkan menurut sebagian pendapat.

Permasalahannya adalah dengan sebaliknya, seorang muslimah yang dinikahi oleh laki-laki ahlul kitab. Problem ini cukup rumit karena tidak ada sama sekali nash Al-Quran yang melarang maupun memperbolehkan secara jelas.

Penulis menemukan sebuah hadis riwayat al-Thabari dalam tafsirnya yang menyebutkan Rasulullah SAW bersabda: “Kami menikahi para perempuan ahli kitab, sedangkan para laki-laki ahli kitab tidak boleh menikahi para perempuan kami.” Hadis ini mauquf, karena sanadnya terputus pada seorang rawi bernama Jabir.

Al-Thabari juga mengutip sebuah kaul Umar yang menyebut, “Seorang muslim menikahi perempuan Nasrani, sedangkan laki-laki Nasrani tidak boleh menikahi wanita muslimah.”  Sebagian ulama menyebut bahwa kaul Umar ini merupakan kekhawatirannya jika perempuan muslimah dinikahi laki-laki non-muslim maka ia akan pindah agama, karena pada saat itu Islam masih belum cukup kuat. Sehingga ulama yang menyebutkan pernikahan muslimah dengan laki-laki non-muslim adalah masih dalam taraf ijtihadi.

Namun jika mengikuti pendapat yang paling masyhur, hanya laki-laki muslim yang boleh menikahi perempuan non-muslim, bukan sebaliknya.

Demikian beberapa perdebatan terkait pernikahan beda agama. Penulis tidak hendak menjustifikasi pendapat mana yang paling benar. Penulis hanya memberikan informasi kepada segenap pembaca agar tidak mudah menyalahkan hanya karena baru mengetahui satu pendapat. Semoga kita semua semakin bijak mengomentari segala permasalahan yang sedang terjadi. Wallahu a’lam. (AN)