Meningkatnya kesadaran beragama kelas menengah Muslim direspon pasar dengan kehadiran produk-produk berbalut label syariah. Mulai dari bank syariah sampai spa syariah, dari kosmetik halal sampai pariwisata halal. Tak aneh jika iklan kosmetik kita belakangan ini banyak menghadirkan model iklan berhijab. Terbaru, Fatin Sidqia menjadi model iklan sebuah merek shampo.
Di Solo, kota tempat saya tinggal, bermunculan hotel-hotel syariah. Di antaranya: Zaen Hotel Syariah, Hotel Aziza, Syariah Hotel Solo, Hotel Arini Syariah dll. Hotel-hotel itu tampaknya menjadi jujugan banyak orang. Salah satu yang saya amati adalah Syariah Hotel Solo. Beberapa kali menggelar acara di sana, hotel itu terlihat ramai pengunjung.
Sayangnya saya punya pengalaman buruk dengan Syariah Hotel Solo. Suatu ketika, saya menyantap hidangan prasmanan yang disediakan pihak hotel. Saya mengambil nasi, ayam kecap dan bakmi goreng. Ada oseng-oseng genjer dan sup yang tak saya ambil. Semua baik-baik saja, sampai setelah gigitan ketiga, saya menemukan warna merah yang kental pada ayam kecap yang saya makan.
Begitu menemukan ayam kecap saya masih berdarah-darah, saya kehilangan nafsu makan. Saya tidak habis pikir, bagaimana bisa hotel bintang empat seteledor ini. Apalagi mereka menggunakan kata “syariah” sebagai nama mereka. Spontan saya memanggil petugas hotel dan memberi tahu keberadaan ayam kecap berdarah itu. Mereka minta maaf dan mengambil piring saya.
Saya tentu saja berharap kata “syariah” digunakan bukan hanya untuk penamaan belaka. Jika nyatanya praktik pelayanannya belum juga syar’i, penggunaan istilah “syariah” menjadi paradoks. Kasus ayam kecap masih berdarah saya pikir bukan hal sepele. Sebagaimana muslim yang lain, perihal makanan bukan sesuatu yang bisa diremehkan. Di luar soal halal-haram dan thoyib, ayam kecap berdarah sebetulnya menjijikkan.
Kebetulan, pengalaman tidak menyenangkan dengan yang “syariah” tidak hanya sekali. Di Bank BNI Syariah Solo saya mendapat pelayanan yang mengecewakan. Hal yang remeh sebetulnya, soal ATM yang tak kunjung jadi, tapi menjengkelkan. Mereka berjanji, ATM akan siap pada tanggal sekian. Saya ke sana di tanggal itu dan ATM belum jadi. Mereka berjanji lagi, akan jadi tanggal X. Tanggal X saya kesana dan ATM belum juga siap. Saya diminta meninggalkan nomor, mereka janji akan menghubungi saya jika ATM sudah jadi. Sampai sekarang, setelah berbulan-bulan, mereka belum juga menghubungi saya.
Lagi-lagi saya bertanya, begitukah karakter bank syariah? Saya yakin, tidak semua demikian. Mungkin saya sedang apes saja. Hanya saja, saya ketiban apes ketika sedang berhadapan dengan dua institusi berlabel syariah.
Saya tentu saja tidak anti dengan segala yang berlabel syariah, selama proses penerapannya berdasarkan prinsip-prinsip Islam secara konsisten dan tidak artifisial. Saya meyakini kebaikan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam dan berharap nilai-nilai itu mewujud dalam pelayanan semua lembaga yang belabel syariah, bukan sebaliknya.
Jangan sampai label syariah hanya mengejawantah pada satpam yang selalu mengucap salam ketika membuka pintu, dinding yang berhias kaligrafi dan karyawan yang berhijab-berpeci. Lebih dari itu, pelayanan yang Islami harus menjadi ruh yang menghidupi lembaga. Jika itu sudah menjadi spirit lembaga, tidak ada lagi ayam kecap berdarah seperti yang saya temui. Karena mereka akan menerapkan quality control yang ketat. Tidak ada lagi ATM yang telat dicetak dst.
Terakhir, saya ingin mengutip cuitan Gus Mus pagi ini: Marilah berusaha menghadirkan keindahan agama kita melalui perilaku kita. Kalau belum bisa, minimal jangan sampai mencorengnya.
#TweetJumat: Marilah berusaha menghadirkan keindahan agama kita melalui perilaku kita. Kalau belum bisa, minimal jangan sampai mencorengnya.
— A. Mustofa Bisri (@gusmusgusmu) April 26, 2018