Kyai Ahmad Sanusi, Ulama Sunda Keturunan Nabi yang Meraih Gelar Pahlawan Nasional

Kyai Ahmad Sanusi, Ulama Sunda Keturunan Nabi yang Meraih Gelar Pahlawan Nasional

Presiden Joko Widodo baru saja memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada lima tokoh dari berbagai daerah. Salah seorang yang menerima gelar tersebut adalah (Alm.) Kyai Ahmad Sanusi, ulama asal Sukabumi.

Kyai Ahmad Sanusi, Ulama Sunda Keturunan Nabi yang Meraih Gelar Pahlawan Nasional
Kyai Ahmad Sanusi, ulama Sunda peraih gelar Pahlawan Nasional. (Foto: jabarprov.go.id)

Presiden Joko Widodo baru saja memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada lima tokoh dari berbagai daerah yang telah memberikan kontribusi luar biasa bagi nusa dan bangsa. Acara penganugerahan diselenggarakan langsung di Istana Negara, pada Senin (7/11) dan dihadiri oleh para ahli waris dari tokoh penerima gelar Pahlawan Nasional. Salah seorang yang menerima gelar tersebut adalah (Alm.) Kyai Ahmad Sanusi, ulama asal Sukabumi. Siapakah beliau? Seperti apa jasa besar beliau untuk Bangsa Indonesia?

Kyai Ahmad Sanusi adalah salah seorang ulama Sunda. Beliau lahir di Sukabumi, pada 18 September 1888 atau bertepatan dengan 12 Muharram 1306 H. Tepatnya di desa Centayan, Kecamatan Cikembar Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Ayah beliau bernama KH. Abdurrahim bin Yasin. Menurut keterangan dari Prof. Said Agil Husein Munawwar yang dikutip oleh Istikhori dalam K.H. Ahmad Sanusi: Biografi Ulama Hadis Keturunan Nabi Saw. Asal Sukabumi, garis keturunan dari ayahnya bersambung hingga Rasulullah Saw. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:

Kyai Ahmad Sanusi bin Abdurrahim bin Yasin bin Nurzan bin Nursalam bin Nyi Raden Candra binti Abdul Muhyi Pamijahan bin RA Tanganziah bin Kentol Sumbirana bin Wira Candera bin Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri) bin Ishaq Ma’shum bin Ibrahim al-Ghazali bin Jamaluddin Husein bin Ahmad bin Abdullah bin Abdul Malik bin ‘Alawi bin Muhammad bin Shahib al-Mirbath bin ‘Ali Khalil Qasam bin ‘Alawi bin Muhammad bin ‘Alawi bin Abdullah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa al-Bisari bin Muhammad al-Faqih bin ‘Ali al-‘Uraydhi bin Ja’far as-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zayn al-‘Abidin bin Husein bin Siti Fatimah binti Rasulullah Saw.

Perjalanan Intelektual

Perjalanan ulama yang juga akrab disebut Ajengan Ahmad Sanusi ini dalam menuntut ilmu dimulai dari rumahnya. Beliau belajar langsung dari sang ayah yang juga pengasuh pesantren. Itu beliau lakukan hingga kurang lebih berusia 16 tahun. Setelahnya, beliau mengembara ke berbagai pesantren di berbagai kota di Jawa Barat seperti Sukabumi, Cianjur, Garut hingga Tasikmalaya.

Selama menjadi santri kelana yang mengembara ke banyak pesantren, Kyai Ahmad Sanusi tentunya berguru ke banyak ulama. Menurut Jajang A. Rohmana, hal itu membuatnya terhubung dengan jaringan ulama Nusantara. Beberapa guru beliau, misalnya, Kyai Nahrowi (Pesantren Kresek, Garut) dan Kyai Suja’i (Pesantren Kudang, Tasikmalaya) merupakan murid dari Syaikhona Kholil Bangkalan.

Koneksi itu semakin kuat ketika Kyai Ahmad Sanusi pergi beribadah haji pada sekitar tahun 1910. Beliau sekaligus menetap di Makkah dan menuntut ilmu di sana kurang lebih lima tahun. Di sanalah beliau bertemu dan belajar kepada ulama Nusantara yang berada di sana, seperti Kyai Mahfudz Termas. Di sana pulalah beliau memangun interaksi yang intens dengan para ulama Nusantara lainnya yang menetap di Makkah. Hal itu yang membuatnya selalu up-to-date dengan perkembangan sosial-keagamaan di Indonesia yang masih terjajah.

Di samping berguru kepada ulama Nusantara, kesempatan untuk berguru kepada ulama besar Syafi’iyah juga tidak disia-siakan oleh Kyai Ahmad Sanusi. Seperti Syekh Mukhtar ‘Atarid al-Bughuri, Syekh Shalih Bafadhil, Syekh Sa’id Jamani, dan Syekh ‘Abdullah Zawawi yang juga merupakan salah seorang guru KH. Hasyim Asy’ari.

Kontribusi Kepada Tanah Air

Sekembalinya dari Makkah, Kyai Ahmad Sanusi ikut membantu ayahnya untuk mengurus pesantrennya. Setelah kurang lebih 6 tahun, ayahnya menyarankan dirinya untuk mendirikan pesantrennya sendiri. Hal itu lantaran jamaahnya semakin banyak. Beliau menjadi primadona lantaran kemampuannya menjelaskan materi keagamaan yang mudah dipahami oleh masyarakat. Ayahnya menyarankan untuk mendirikan pesantren di daerah Genteng Babakan Sirna, Sukabumi. Dari situlah beliau nantinya dikenal akrab dengan sebutan Ajengan Genteng.

Kyai Ahmad Sanusi dikenal produktif dalam menghasilkan karya. Jajang A. Rohmana menyebutkan jumlah karya beliau adalah sebanyak 126 karya. Sebagian besar dari jumlah tersebut ditulis dalam bahasa Sunda. Ini menunjukkan kontribusi luar biasa sang Ajengan terhadap khazanah keilmuan Nusantara. Berbagai karya itu memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Di antaranya adalah respon terhadap kaum reformis dan mengobarkan semangat juang rakyat melawan kolonial.

Kolonial Belanda yang mulai mengendus pergerakan Kyai Ahmad Sanusi akhirnya memenjarakan beliau dengan tuduhan melakukan mobilisasi massa untuk melakukan perusakan fasilitas publik. Setelah setahun lebih dipenjara di Cianjur dan Sukabumi, pada akhir tahun 1928 beliau diasingkan ke Batavia Centrum Senen, Jakarta. Momen pengasingan itu dimanfaatkan oleh beliau untuk menghasilkan banyak karya tulis. Pada tahun 1939, akhirnya beliau bisa menghirup udara bebas.

Perjuangan Kyai Ahmad Sanusi terus berlanjut hingga Kolonial Jepang mengambil alih pendudukan Indonesia dari Kolonial Belanda. Namun, kali ini dengan cara yang berbeda dengan memanfaatkan situasi saat itu. Misalnya, beliau menginisiasi pelatihan militer untuk para ulama dengan dalih untuk memperkuat militer Jepang. Saat beliau diminta oleh Kolonial Jepang untuk menjadi Giin Bogor Shu Sangi Kai (Dewan Penasehat Daerah Bogot), beliau setuju dengan syarat Kolonial Jepang bersedia menghidupkan kembali organisasi Al-Itihadul Islamiyyah (AII). Permintaan itu akhirnya diamini oleh Kolonial Jepang.

Jabatan sebagai Penasehat Daerah Bogor juga dimanfaatkan oleh Kyai Ahmad Sanusi untuk membentuk tentara PETA (Pembela Tanah Air) di daerah setempat. Selanjutnya, pada tahun 1944, beliau tergabung dalam keanggotaan Jawa Hokkokai (kebangkitan Jawa) mewakili Masyumi. Puncaknya, pada Mei 1945, beliau terpilih untuk menjadi salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) bentukan Kolonial Jepang.

Perjuangannya tidak berhenti setelah Indonesia berhasil memproklamirkan kemerdekaan. Pasca kemerdekaan, Kyai Ahmad Sanusi merupakan salah seorang yang terdepan dalam menolak Darul Islam (DI) yang didirikan oleh Kartosuwiryo. Pada 31 Juli 1950, setelah menetap beberapa tahun di Yogyakarta dan kembali ke Sukabumi, beliau wafat di Pesantren Gunungpuyuh, Sukabumi.

Atas jasa-jasanya, Kyai Ahmad Sanusi pernah menerima gelar Bintang Maha Putera Utama pada tahun 1992. Disusul gelar Bintang Maha Putera Adipradana. Sebelum akhirnya, melalui Keppres No. 96/TK/Tahun 2022 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional, beliau mendapat gelar Pahlawan Nasional dari pemerintah Republik Indonesia. [NH]