Kritik Al-Quran Terhadap Logika Mayoritarianisme

Kritik Al-Quran Terhadap Logika Mayoritarianisme

Kritik Al-Quran Terhadap Logika Mayoritarianisme
Ilustrasi: Ketua Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab berorasi di depan ribuan umat muslim yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI) saat unjukrasa di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Selasa (1/3/2011). (Foto: tribunnews/herudin)

Umumnya konsep mayoritas-minoritas terasosiasi kepada hal-hal yang berbau negatif, seperti diskriminasi, marginalisasi, subordinasi, dan sebagainya. Konsep mayoritas-minoritas sangat bersinggungan dengan posisi superioritas-inferioritas kelompok-kelompok tertentu.

Dalam wacana yang lain, suara mayoritas justru menjadi tulang punggung bagaimana konsep negara demokrasi bekerja. Kredo “vox populi vox dei”, atau yang biasa diartikan “suara rakyat suara Tuhan”, lazim kita temukan dalam diskursus demokrasi elektoral. Artinya, suara mayoritas menjadi krusial karena menentukan bagaimana sistem pemerintahan demokrasi berjalan.

Namun, perlu dicatat, al-Quran ternyata mempunyai pandangan yang berbeda terhadap logika mayoritas itu. Al-Quran justru banyak membincang konsep mayoritas, atau mayoritarianisme, dalam konotasi negatif dan peyoratif. Kita lihat misalnya, QS. al-A’raf ayat 187;

قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِندَ ٱللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.

Dalam QS. al-Baqarah ayat 243 juga disebutkan;

إِنَّ ٱللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى ٱلنَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ

Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur”.

 

Hal ini berbeda ketika Alquran membincang tentang konsep minoritas yang cenderung menggunakan konotasi positif; misalnya dalam QS. Saba’ ayat 13;

ٱعْمَلُوٓا۟ ءَالَ دَاوُۥدَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِىَ ٱلشَّكُورُ

Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih”.

Dan dalam QS. Hud ayat 40 ditegaskan bahwa;

وَمَآ ءَامَنَ مَعَهُۥٓ إِلَّا قَلِيلٌ

Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit”.

 

Al-Quran menyebut kaum minoritas sebagai umat yang bersyukur dan orang  yang beriman kepada Allah. Ini berbeda ketika al-Quran menyebut kaum mayoritas sebagai umat yang tidak mengetahui, tidak berpikir, dan mengingkari anugerah Allah.

Allah juga menegaskan keistimewaan umat minoritas ini dalam Perang Badar di tahun 2 H. Saat itu, pasukan Islam jauh lebih sedikit (minoritas) dibanding dengan pasukan kafir Makkah. Allah juga mengingatkan kita tentang Thalut dan Jalut dalam al-Quran bahwa mayoritas bukanlah segalanya. Kisah ini disebut dalam QS. al-Baqarah ayat 249;

قَالَ ٱلَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلَٰقُوا۟ ٱللَّهِ كَم مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةًۢ بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ

Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”.

Artinya orang-orang yang berjumlah sedikit itu lebih dekat kepada kebenaran dan sesuai dengan tuntunan dan petunjuk yang disampaikan oleh Allah. Hal ini tentu saja berbeda dengan anggapan kebanyakan orang. Kecenderungan seseorang biasanya menganggap kebenaran adalah sesuatu yang diikuti oleh banyak orang. Sedangkan orang-orang yang sedikit justru dipandang inferior dan aneh bahkan tertindas.

Hal ini sekaligus menegaskan bahwasanya kebenaran itu sama sekali tidak bisa diukur dengan berapa banyak jumlah orang yang terdapat di dalamnya karena keduanya sama sekali tidak memiliki korelasi. Karena pada hakikatnya, suatu kebaikan ataupun keburukan itu tidak terikat dengan kuantitas melainkan kualitas.

Perbedaan wacana yang disebut dalam al-Quran tersebut setidaknya menyiratkan sebuah kritik bahwa mayoritas, atau mayoritarianisme, biasanya tidak akan melahirkan sesuatu yang positif. Perbedaan penyebutan tersebut seolah mengafirmasi paragraf awal tulisan ini, bahwa mayoritarianisme akan selalu beririsan dengan menyepelekan yang minoritas, misalnya.

Di Indonesia, terminologi mayoritas-minoritas memang tidak ditemukan, namun secara sosial politik, hegemoni dari kaum dominan terhadap kaum marginal amat sangat terasa. Contoh paling sederhana, misalnya kasus perda-perda “syariah” yang justru mengekang gerak masyarakat non-Muslim, yang notabene minoritas, di beberapa daerah di Indonesia.

Atau contoh paling rumit, misalnya bagaimana negara mendefinisikan agama, sehingga mereka yang menganut keyakinan di luar konsepsi agama resmi versi negara tidak akan mampu mengakses hak-hak sipilnya sebagai warga negara. Para penghayat kepercayaan dan agama lokal, sebagai golongan minoritas, akan dirugikan. Mereka tidak bisa mencatatkan perkawaninannya, misalnya, hingga tidak bisa mendaftarkan anaknya ke sekolah karena tidak mempunyai dokumen-dokumen legal yang hanya bisa diakses jika mereka mengisi kolom agama di KTP-nya dengan salah satu agama yang diakui di Indonesia.

Itulah kenapa al-Quran terlihat begitu konsisten merelasikan logika mayoritariansme dengan segala bentuk kemadharatan. Hal ini tidak terlepas dari watak alami manusia yaitu “will to power”, terutama ketika ia mempunyai massa dan berkelompok.

Yang perlu dicatat, al-Quran dalam hal ini tidak melarang umat Islam untuk menggunakan logika majoritarianisme. Lagipula, Allah mengutus Rasulullah untuk menyebarkan Islam ke dunia dengan konsekuensi Islam menjadi agama mayoritas di muka bumi. Al-Quran, melalui variasi penyebutan tersebut, pada hakikatnya sedang mengingatkan kita bahwa kuantitas bukanlah sebuah standar kebenaran. Menjadi bagian dari mayoritas jangan kemudian dijadikan justifikasi untuk berbuat semena-mena. Menjadi bagian dari yang dominan hendaknya dijadikan ajang untuk merangkul sesama, untuk berbagi kebaikan, dan menebar kasih sayang.

Wallahu a’lam bisshowab .  .