Negara Sekuler ala Abdullahi An-Naim: Negosiasi Agama dan Negara Melawan Diskriminasi

Negara Sekuler ala Abdullahi An-Naim: Negosiasi Agama dan Negara Melawan Diskriminasi

An-Naim terus menegaskan bahwa Muslim hanya dapat “menjadi Muslim” berdasarkan keyakinan dan pilihannya sendiri.

Negara Sekuler ala Abdullahi An-Naim: Negosiasi Agama dan Negara Melawan Diskriminasi

Seorang intelektual Islam modern mengatakan bahwa negara sekuler memungkinkan saya untuk menjadi Muslim seutuhnya serta taat pada ajaran agama dengan beribadah secara bebas tanpa larangan dan paksaan. Ia adalah Abdullahi Ahmed An-Naim, seorang pemikir Muslim kontemporer yang sangat menaruh perhatian pada konsep negara sekuler. Kebebasan, sebagai fondasi sekulerisme, menurutnya, merupakan salah satu aspek yang penting dalam implementasi syariat Islam.

An-Naim adalah satu dari sekian intelektual Muslim yang resah terhadap hadirnya kelompok konservatif yang hanya mau menerima otoritas generasi Muslim pertama. Menyikapi gerakan puritanisme itu, An-Naim menawarkan jalan keluar yang tetap dalam koridor Islam dengan cara mereformulasi prinsip-prinsip syariat dengan mencari ayat yang satu dengan ayat yang lain dengan memperhatikan memperhatikan sosial, budaya, agama, yang berbeda-beda dan hasilnya bisa diterima oleh berbagai kalangan.

Melalui penyikapan ini, an-Naim menawarkan negosiasi pemisahan yang tegas antara persoalan agama dan urusan kenegaraan. Oleh karena an-Naim sangat mengimpikan kebebasan sebagai fondasi awal, makai ia jelas mengedepankan demokrasi sebagai sistem pemerintahan. Biarlah agama-agama tumbuh subur di teritorialnya sendiri, seperti rimbunan aneka ragam tanaman di hutan belantara. Layaknya berbagai ekosistem yang hidup dalam hutan Pandora.

Dalam benak An-Naim, negara tidak perlu mengintervensi apalagi mengatur kehidupan agama. Negara hanya bertugas menyejahterakan rakyat tanpa pandang bulu dan membawa embel-embel identitas agama tertentu. Berangkat dari tesis ini, jelas Mesir, Iran, bahkan Arab Saudi bukan merupakan negara ideal baginya. Ketiga negara itu merupakan representasi negara yang regulasi konstitusinya sangat berkelindan dengan Islam, bahkan hingga batasan tertentu, negara ikut campur dalam praktik beragama warganya.

Gagasan An-Naim itu bukan berarti mendevaluasi prinsip syariat sebagai sistem normatif beragama umat Muslim, namun menekankan pada delegitimasi negara terhadap intervensi praktik beragama warganya. Gampangnya begini, syariat hanya bisa dijalankan dengan sukarela oleh penganutnya. Prinsip-prinsip syariat akan kehilangan otoritas dan nilai agamanya apabila dipaksakan oleh negaranya. Oleh karena itu, pemisahan Islam dan negara sangat diperlukan agar syariat bisa benar-benar bisa dijalankan secara paripurna dan merdeka.

Pendapat tersebut, dalam bahasa lain, lazim disebut “netralitas negara terhadap agama”, artinya institusi negara tidak memihak kepada doktrin atau prinsip-prinsip agama tertentu. Konsepsi ini secara tidak langsung menjadi anti-tesis dari sikap negara yang cenderung “mengistimewakan” umat agama dominan di dalam teritorialnya. Intinya, negara sejatinya merupakan murni persoalan teritorial, bukan persoalan agama.

Salah satu kegelisahan an-Naim adalah soal pelanggaran dan diskriminasi terhadap kaum minoritas di sebuah negara. Ia berkaca pada fenomena Taliban yang berambisi untuk “meng-Islam-kan” Afghanistan melalui rezimnya. Namun, alih-alih bisa merangkul semua identitas di dalamnya, “Islamisasi” ala Taliban ini justru melahirkan citra Islam yang represif dan diskriminatif dengan berusaha mengeliminasi kelompok dan gagasan lain yang berselisih dengannya. Melalui cerminan ini, solusi yang An-Naim berikan adalah kenetralan dan mediasi dalam bentuk konsep sekularisme.

Gagasan An-Naim itu bukan tanpa ujian. Banyak yang mempertanyakan konsep itu karena terlihat seperti mengucilkan identitas Islam dari realitas dunia modern. Tak sedikit yang khawatir bahwa sekulerisme akan menghilangkan identitas Islam dan tradisi ukhuwah Islamiyyah yang sarat dengan adanya jama’ah.

Menjawab berbagai kontra itu, An-Naim menjelaskan bahwa gagasan sekulerisme itu bertujuan semata untuk menyelesaikan isu internal Islam yang berhubungan dengan keberagaman di setiap negara dan hubungan negara Islam dan non-Islam. Re-interpretasi syariat Islam ini, tegasnya, berupaya mendukung terlaksananya ajaran Islam rahmatan lil ālamīn dan ālih likuli zamān secara totalitas tanpa melanggar hak orang lain dan pemeluk agama lain.

An-Naim terus menegaskan bahwa Muslim hanya dapat “menjadi Muslim” berdasarkan keyakinan dan pilihannya sendiri. Karena itu, ketika kekuatan negara memaksa atau memaksakan syariat, hal itu pada dasarnya justru memasung kehidupan keagamaan seorang Muslim. Terkait dengan ini, negara sekuler menjadi solusi menurut an-Naim karena dapat menjamin dan menjadi penengah bagi kehidupan plural dalam masyarakat yang majemuk. Negara sekuler juga menggaransi perdamaian di dalam dan di antara komunitas-komunitas keagamaan.

Bagi Abdullahi Ahmed An-Na’im syariat adalah persoalan hubungan pribadi manusia dengan Tuhannya. Tujuan syariat Islam, menurutnya, adalah untuk mewujudkan rasa keadilan, humanisme, nasionalisme, prinsip non-diskriminatif, menghormati tradisi lokal, kesetaraan gender dan tidak radikal. Dengan demikian, syariat Islam mensyaratkan keterbukaan dan toleransi.

Memang, dalam level tertentu, ide An-Naim ini terlihat “absurd”, sebab beberapa kerangka hukum dalam syariat Islam meniscayakan campur tangan negara, untuk mencegah terjadinya kekacauan. Dalam pelaksanaan hukum kriminal, pengaturan ekonomi, pernikahan, talak, wasiat dan lain sebagainya, sulit rasanya membayangkan negara untuk tidak turut meregulasinya.

Di Indonesia saja, urusan pendidikan Islam, pernikahan, zakat, haji, pemakaman, wakaf dan sebagainya, selalu melibatkan campur tangan negara dan tampak tidak ada kendala berarti tentang itu. Jika gagasan An-Naim dipraktekkan di Indonesia, maka semua institusi yang berlabelkan Islam harus dihapus dan dibubarkan karena Islam tidak boleh di institusionalisasikan, termasuk MUI, KUA, bahkan Kementerian Agama. Ekstrem sekali bukan.

Namun, terlepas dari berbagai kritikan itu, konsepsi An-Naim sebetulnya bisa dilihat sebagai pesan bagi suatu pemerintahan agar bisa berlaku adil dan tidak memihak dalam segi pemberlakuan peraturan. Negara tidak boleh menguntungkan satu kelompok warga negara tertentu dan merugikan lainnya. Prinsip “netralitas negara terhadap agama” bisa pandang sebagai upaya untuk tidak mendiskriminasi warga negara berdasarkan agamanya, pun sebagai upaya pemenuhan hak-hak sipil oleh negara secara adil tanpa melihat identitas agama warganya.