Selama klaim bahwa “Pancasila adalah hadiah terbesar dari umat muslim” tidak didudukkan secara proporsional, maka banyak kemungkinan umat muslim akan terkecoh. Klaim tersebut diutarakan Habib Rizieq Shihab dalam ceramahnya di depan mahasiswa Al-Ahgaff dan WNI di Yaman. Untuk mengoreksi wacana menggelikan tersebut, logika sederhana sudah cukup untuk menjawab: jika dilihat dalam bingkai penilaian fakta sejarah yang fair, baik Pancasila maupun kemerdekaan Indonesia tidak pernah diperjuangkan secara sendirian (Baca: Koreksi atas Ceramah Habib Riziq di Yaman Bagian 1) . Dan mustahil kedua hal itu disebabkan dan dirancang oleh hanya satu golongan.
Habib Rizieq berikrar, pada tempat itu, bahwa dirinya sangat setia pada NKRI dan Pancasila. Namun bukannya setia tanpa syarat, karena beliau menawarkan klausul “selama tidak bertentangan dengan Syariat Islam!”
Pertanyaan selanjutnya adalah: mungkinkah NKRI dan Pancasila akan bertentangan dengan Syariat Islam?
Jika Anda meluangkan waktu sebentar saja untuk Googling, anggaran dalam APBN 2016 untuk Kementerian Agama berada di posisi ke-4 tertinggi dari 34 kementerian di Indonesia. Hampir seluruh kegiatan Kementerian Agama diperuntukkan untuk umat Islam. Ditambah Pengadilan Agama yang lebih banyak mengurusi umat Islam. Tidak ada negara yang mengundang seluruh ormas dan lembaga keislaman pada suatu tempat hanya untuk membahas kapan berpuasa, dan kapan berlebaran. Selama bulan Ramadhan, nyaris di seluruh Indonesia terjadi kecanggungan luar biasa jika tidak ikut serta menghormati umat Islam yang sedang berpuasa.
Andai diperkenankan untuk berceloteh: Kementerian Agama di Indonesia pada hakikinya adalah Kementerian Agama Islam. Sangat sulit diprediksi sejauh satu abad ke depan bahwa konstitusi negara ini tidak bersifat ramah kepada syariat Islam. Kekhawatiran yang dapat diibaratkan menggergaji angin; sia-sia dan tidak mungkin!
Hal yang kurang saya dengar dari aktivis Islam adalah ketidaksiapan mereka meletakkan Syariat Islam dalam diskusi yang lebih rasional (karena porsi berkebangsaan Indonesia dan memeluk Islam tidak bisa dilihat secara ambivalen). Kalaupun ada, paling-paling meletakkan Pancasila dan demokrasi secara apriori; kesimpulan tidak dibangun di atas semangat akademis namun berangkat dari wacana teologis “syariat Islam harus lebih unggul daripada konstitusi sekuler!”
Pertanyaan pendek yang terus menghantui saya: mampukah masyarakat muslim Indonesia memberangus oposisi biner antara kalangan intelektual muslim syariatis (yang menerima Syariat Islam) vis a vis intelektual muslim nasionalis (yang menolak Syariat Islam)?
Pasca pemilu 1955, NU adalah kekuatan utama (di samping Masyumi) yang tidak henti-hentinya mengusung Islam menjadi dasar Negara. Namun di saat sekarang, NU menjadi “tembok awal” yang harus dilalui bagi kelompok yang hendak mengusung Islam sebagai dasar Negara (contohnya paling mutakhir adalah HTI).
Apa pasal?
Sejauh saya membaca justifikasi teologis dan galian khazanah Islam klasik yang dilakukan di tubuh NU terkait permasalahan benturan syariat dan konstitusi Negara, tokoh intelektual di dalamnya telah berhasil merumuskan formula penyelesaian yang sederhana: orientasi pencapaian kemaslahatan.
Katakanlah intelektual muslim “kanan” menganggap penegakan Negara Islam memiliki landasan dalil (kendati Syaikh Ali Abd Al-Raziq dalam Al-Islam wa Ushul Al-Hukm menegaskan tidak ada kesepakatan ulama yang mewajibkan pendirian Negara Islam), maka fakta sosial bahwa “negara ini tidak hanya dihuni oleh satu jenis golongan” adalah pendekatan dalil yang memiliki kekuatan argumen yang sama.
Ketika terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat dan tidak ada konsensus yang mapan) pendirian Negara Islam, sementara negara ini menyepakati dasarnya adalah demokrasi, maka dalam kasus ini kaidah fiqih yang berlaku ialah: hukm al-hakim yarfa’ al-khilaf (keputusan negara menghapus ikhtilaf); dan secara otomatis, menurut kaidah fiqih ini, demokrasi memiliki bobot syariat yang sama besar.
Tepat di sini terjadi pertemuan dialektis antara dalil teks dan konteks sosial. Maka akan berbuntut pada persoalan lanjutan: apa landasan hukum konteks sosial lebih diunggulkan daripada dalil teks?
Syaikh Najm Al-Din Al-Thufi dalam kitabnya Al-Ta’yin fi Syarh Al-Arba’in berpendapat jika terjadi benturan antara teks (dalil agama) dengan kemaslahatan (konteks sosial), maka yang harus didahulukan adalah maslahat.
Pendapat Syaikh Al-Thufi sangat bisa diperdebatkan, hanyasaja menurut saya pendekatan seperti inilah yang paling relevan jika diterapkan dalam konteks kemaslahatan Indonesia.
Kendati Habib Rizieq berkelit penerapan khilafah harus melalui jalur legal, oleh karenanya ia mengaku konsep khilafah-nya berbeda dengan HTI, maka tidak ada sejarah manis di belahan bumi mana pun (bahkan di negara Islam sendiri) bahwa eksperimentasi Syariat Islam dalam naungan khilafah berjalan secara mulus. Kemaslahatan publik kerap tersingkirkan asalkan Syariat Islam terlaksana di sana.
Dengan begitu normatif Habib Rizieq memberikan formula realisasi khilafah di Indonesia dapat diawali dari kerjasama antar negara-negara Islam dalam ekonomi, saling mengisi kekurangan, dan kerjasama dalam pertahanan.
Bagaimana menilai komitmen Habib Rizieq akan formula itu? Tidak ada! Lihatlah kasus di Jakarta, di mana beliau menggiring umat muslim di sana untuk memilih pemimpin (gubernur) yang bukan berdasarkan potensi, kinerja, dan kemampuan membangun kerjasama ekonomi. Anda pasti tidak asing dengan provokasi intelektualnya yang begini: Jangan coblos pemimpin kafir!
***
Rumail Abbas, GusDurian Jepara, Historian, Peneliti Budaya Pesisiran di Yayasan Rumah Kartini, tinggal di: @Stakof