Pada suatu malam yang tenang, angin mengalir lembut dan langit bermandikan cahaya, Nabi masih berada di dalam gua itu. Ia sudah beberapa hari tinggal di situ untuk “tahannuts“, “khalwah“,. komtempelasi, sebuah ritual permenungan yang intens. Al-Ghazali menyebutnya: momen menyerap aspirasi dari langit.
Manakala kemudian keluar dari gua itu tiba-tiba Jibril menampakkan diri di hadapannya, dan mengatakan, “Selamat atas anda, Muhammad. Aku Jibril pembawa “Suara Tuhan”. Anda adalah Rasulullah, utusan Allah kepada umat ini”.
Ia kemudian merengkuh tubuh Nabi sambil mengatakan, “Bacalah !”
Muhammad saw. Menjawab, “Aku tidak bisa membaca.”
“Bacalah !” katanya lagi.
Muhammad mengulangi jawaban yang sama. Jibril lalu menarik dan mendekapnya sampai menyulitkan beliau bernapas. Setelah dilepaskan, Jibril mengulangi lagi perintahnya dan dijawab dengan jawaban yang sama. Pada yang ke empat kalinya Muhammad saw kemudian mengucapkan kalimat suci ini:
إِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ. خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ. إِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُ الَّذِى عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan (perantaraan) pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S. Al ‘Alaq, 1-5).
Begitu selesai Muhammad mengikuti Jibril membaca 5 ayat Iqra (al-Qalam) Jibril menghilang entah ke mana. Muhammad tetap merasa ketakutan. Tubuhnya menggigil. Keringat dingin mengalir deras dari pori-pori tubuhnya.
Beliau bergegas pulang menemui Khadijah, isterinya, dengan hati yang diliputi rasa galau, cemas dan takut. Begitu tiba di rumah, ia masuk kamar dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Katanya, “Selimuti aku, selimuti aku, sayang”.
Khadijah segera menyelimuti seluruh tubuhnya rapat-rapat. Setelah rasa takutnya mereda, beliau menceritakan peristiwa yang dialaminya dan mengatakan, “Aku takut diriku, sayang. Aku khawatir sekali”.
Khadijah mengatakan dengan lembut, membesarkan hatinya :
كَلّا. أَبْشِرْ فَوَ اللهِ لَا يُخْزِيكَ اللهُ اَبَداً, وَاللهِ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَصْدُقُ الْحَدِيثَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَتَقْرِى الضَّيْفَ, وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
“Tidak, sayangku. Demi Allah, Dia tidak akan pernah merendahkanmu. Engkaulah orang yang akan mempersatukan dan mempersaudarakan umat manusia, memikul beban penderitaan orang lain, bekerja untuk mereka yang papa, menjamu tamu dan menolong orang-orang yang menderita demi kebenaran.”
Khadijah kemudian menghubungi putra pamannya, Waraqah bin Naufal. Ia adalah pengikut sekaligus seorang pendeta Nasrani dan penafsir Bible: Kitab Taurat dan Injil. Ia memahaminya dalam bahasa Ibrani yang fasih.
Kepada sepupunya ini, Khadijah mengatakan, “Tolong dengarkan apa yang disampaikan sepupumu.” Lalu Nabi Saw menceritakan apa yang dilihat dan dialaminya.
Waraqah sangat mengerti soal itu. Tanda-tanda kenabian telah dipahami dengan baik dari sejarah para Nabi sebelum Muhammad. Ia mengatakan, “Muhammad, itulah Namus yang pernah turun kepada Nabi Musa as. Kau akan menjadi utusan Tuhan. Kau akan didustakan, disakiti, diusir dan dibunuh. Kalau saja aku masih muda dan kuat, aku pasti akan membelamu, manakala kaummu mengusirmu.”
Rasulullah saw menanyakan, “Apakah mereka akan mengusirku ?”
“Ya, dan tak ada seorangpun yang sanggup menanggung beban berat seperti yang kamu tanggung,” jawab Waraqah.
Nabi tertegun. Hatinya masyghul (gundah). Ia tak dapat membayangkan peristiwa yang akan terjadi terhadap dirinya kelak, bagaimana dia akan bisa hidup di luar daerahnya dan dalam keadaan sebagai orang yang dikejar-kejar, bagai penjahat besar yang menjadi buronan masyarakatnya sendiri.
Aku (penulis) pikir begitulah seorang pembaru sosial yang besar.
Wallahu A’lam.