Pada masa lalu, Sayyidina Muadz bin Jabal radhiyallahu anhu pernah mendapat teguran keras dari Rasulullah sholla Allahu alayhi wa sallam, karena lisannya ringan menuduh seorang muslim, munafik. Rasulullah menegurnya dengan kalimat:
اتحب ان تكون فتانا
Apakah kamu suka menjadi Itukang fitnah?
Rasulullah marah karena Sayyidina Muaz tidak punya hak untuk memberi label apakah seseorang pantas disebut sebagai munafik.
Tampaknya, belajar dari pengalaman Sayyidina Muaz, Sayyidina Ali bin Abi Thalib tidak mau menyebut para penentangnya, khususnya dari kalangan Khawarij sebagai kaum munafik. Ketika beliau ditanya oleh para pengikut setianya, tentang orang-orang Khawarij:
أ منافقون هم؟
Apakah mereka itu orang-orang munafik?
Sayyidina Ali menjawab:
إن المنافقين لا يذكرون الله الا قليلا
“Sungguh orang-orang munafik tidak mengingat Allah kecuali sangat sedikit.”
Sayyidina Ali tahu bahwa orang-orang Khawarij itu masih melaksanakan shalat berjamaah dan masih mau membaca dan mendengarkan Al-Qur’an. Karena keadaan itu, tidak pantas mereka disebut sebagai munafik.
Kini, karena perbedaan politik yang jelas dasarnya bukan persoalan teologis (ketuhanan), seseorang dengan ringan melempar tuduhan munafik terhadap sesama muslim. Padahal, tanpa harus diberi tahu, orang-orang yang dituduh munafik itu selalu melaksanakan sholat berjamaah dan mau mendengarkan Al-Qur’an.
Itu pun masih mereka bantah. Tapi, itu khan kelihatannya? Dalam hatinya kita khan gak tahu!
Izinkan saya menjawab, bahwa persoalan hati hanya Allah yang tahu. Ini dasarnya:
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ
“Mereka-mereka itu adalah orang-orang yang hanya Allah yang mengetahui apa yang ada di hati mereka…”[Surat An-Nisa’ 63]
Rasulullah bersabda:
إن الله لا ينظر الى صوركم ولا الى اجسادكم ولكن ينظر الى قلوبكم واعمالكم
“Sungguh Allah tidak melihat kepada rupa dan bentuk tubuh kalian. Tapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.”
Para ulama mengatakan:
نحكم بالظواهر والله يتولى السرائر
“Kita hanya menghukumi hal-hal yang tampak dan Allah menguasai yang tidak tampak.”
Politik adalah proses. Menang untuk Indonesia, kalah tetap mendukung Indonesia.
Jangan paksa saya menjadi pendukung siapapun, karena tugas saya mengajar bukan berkampanye.