Alkisah, waktu itu sang sultanul Ulama, Syeikh Izzudin Ibn Abdis Salam yang sedang melaksanakan thawaf, melihat sekelompok orang yang sedang melaksanakan thawaf dengan etika yang kurang baik. Melihat kejadian tersebut, tentu sebagai seorang ‘Alim, tidak bisa diam begitu saja.
Dengan berbalut kain ihram-nya, Syeikh Izzudin memberikan nasehat kepada kelompok tersebut agar melaksanakan thawaf dengan baik. Bukan diterima dengan baik, justru saran yang di sampaikan oleh Syeikh Izzudin tak digubris.
Pada kesempatan berikutnya melihat kejadian tersebut, Syeikh Izzudin kembali memberikan nasehat. Namun kali ini tidak dengan kain ihram-nya, melainkan dengan pakaian yang menjadi ciri khas Ulama. Dan untuk kali ini, nasehatnya didengarkan dan diterima dengan baik.
Cerita yang diambil dari kitab Syarh al-Jurdani ‘ala al-Arba’in Hadits an-Nawawiyah karya Syeikh Muhammad al-Jurdani ini memberikan gambaran bahwa sebagian manusia hanya menilai seseorang pada atribut yang dipakainya. Karenanya, Syeikh Izzudin membolehkan untuk menggunakan atribut ulama jika hal itu sebab tersampainya pesan-pesan kebaikan dalam agama. Menurut hemat penulis, hal tersebut menjadi wajib apabila itu menjadi satu-satunya proses terjadinya penerimaan kebaikan dalam sebuah kelompok.
Pengalaman yang diilustrasikan Syeikh Izzzudin tersebut, membawa kepada ingatan penulis terhadap sebuah pengalaman ketika menimba ilmu di Tarim. Ketika menginjaki suq Tarim membelikan oleh-oleh untuk sanak famili di Tanah Air, Imamah (surban), yang hendak penulis berikan kepada saudara yang masih terbilang belum baligh, jawaban penjualnya cukup tegas dan tidak terbesit dalam pikiran penulis. “imamah haq lil ‘Alim la li Tifl”, imamah diperuntukan untuk orang ‘Alim bukan anak kecil. Kurang lebih perkataannya begitu.
Bisa diambil irisan persamaan dari kedua narasi tersebut, nilai abstraksi yang bersemayam dalam jiwa manusia oleh sebagian manusia bisa tersalurkan dengan perantara yang konkret. Sebab demikian, bentuk konkret dalam cerita ini berupa libas Ulama (pakaian ulama) sangat dilindungi dan dijaga betul agar abstraksinya berupa ilmu dan hikmah sampai tepat sasaran.
Warisan budaya seperti ini, harus dilestarikan dirawat dengan baik. Dilestarikan dengan cara digunakan oleh para Ulama agar bisa dibedakan antara Ulama dan yang bukan. Sehingga masyarakat awam tidak salah dalam mengambil ilmu dan hikmah.
Wallahu a’lam.