Diceritakan dalam kitab Bahr al-Dumu’ dan kitab Bariqah fi Syarh Thariqah Muhammadiyah wa Syari’ah Nabawiyah fi Sirah Ahmadiyah bahwa ada seorang laki-laki saleh di pinggir sungai yang sedang berpuasa. Lalu saat waktu berbuka tiba, Ia melihat satu buah apel mengikuti aliran sungai, Ia mengambil buah apel tersebut. Tanpa berpikir panjang pemuda saleh tersebut memakannya.
Hingga termakan setengah potongan apel, pemuda saleh tersadar dan ia menyesal telah memakan setengah potongan apel sebelum izin kepada pemiliknya. Ia merasa bahwa telah memakan apel yang bukan miliknya. Takut Allah SWT tidak meridhai dan mengalir rezeki dengan cara yang haram ke dalam tubuhnya. Kemudian, pemuda saleh tersebut berusaha mencari siapa pemilik apel yang sudah termakan tadi.
Keesokan harinya, ia menyusuri sungai sampai bertemu kebun apel. Di kebun tersebut ia bertemu dengan kakek tua. “Kek, saya mohon maaf, saya sangat menyesal karena telah memakan setengah potong apel dari kebun kakek, saya mohon kakek rela dan menghalalkan” pemuda saleh memohon dengan tulus kepada sang kakek. Namun, kakek di kebun apel tersebut justru menjawab “Maaf nak, saya bukan pemilik kebun ini, selama saya bekerja saya tidak pernah mencicip sedikit pun buah di sini”. “Lalu, kebun ini milik siapa kek?” Tanya pemuda saleh. “Kebun ini milik milik dua orang bersaudara yang ada di daerah sana”.
Sesuai dengan petunjuk si kakek, pemuda saleh tadi semangat berangkat untuk menemui dua orang pemilik kebun apel. Demi meminta kehalalan setengah potong apel yang sudah masuk ke dalam tubuhnya. Sesampai di tempat. Pemuda saleh tersebut menceritakan kisahnya. Seorang saudara pemilik kebun apel pun menjawab “Separuh kebun apel tersebut adalah milikku, aku sudah relakan dan halalkan untukmu apa yang menjadi bagianku”. Pemuda saleh bahagia. Namun, ia harus menemui saudara pemilik kebun apel karena separuh kebun apel adalah miliknya. Pemuda saleh bertanya lagi “Dimanakah aku bisa menemui saudaramu?”. “Di sana, di tempat itu”.
Tanpa menunggu waktu, pemuda saleh pergi ke tempat saudara si pemilik kebun apel. Dan akhirnya ia berjumpa dengan saudara pemilik kebun. Pemuda saleh tersebut menceritakan kisahnya memakan separuh potong apel untuk berbuka puasa, lalu menyusuri sungai untuk meminta kehalalan sang pemilik kebun, tapi ia hanya bertemu seorang kakek penjaga kebun, lalu menemui saudara pemilik kebun apel dan ia sudah merelakan. “Sekarang, aku memintamu hal yang sama, tolong relakan setengah potong apel yang sudah aku makan”. Mintanya tulus. Sang pemilik kebun pun terkesima dengan kesalehan pemuda itu, namun diam-diam ia sembunyikan dalam hati dan pura-pura bersikap menolak permintaan pemuda tersebut.
“Aku tidak akan merelakan dan menghalalkan buah apel tersebut wahai pemuda” Jawabnya singkat. “Tolonglah, aku memohon kepadamu, aku sudah cukup lelah dengan perjalanan ini, aku takut Allah SWT tidak meridhai”. Kemudian, pemilik kebun menjawab lagi “Baiklah, akan aku halalkan dengan satu syarat”. Tambahnya lagi “Aku memiliki seorang putri yang lumpuh kedua tangan dan kakinya, buta kedua matanya, tuli kedua telinganya, tolong terimalah ia menjadi istrimu maka akan aku halalkan buah apel tersebut”.
“Alangkah sulitnya wahai tuan, aku sudah menyusuri jauh untuk meminta kehalalan darimu, tidakkah engkau mau untuk menghalalkan saja apelmu?” pinta sang pemuda saleh. “Demi Allah SWT, aku tidak akan menghalalkan apel itu untukmu kecuali dengan satu syarat tadi kau penuhi”. Akhirnya, pemudah saleh menyetujui syarat dari pemilik kebun. Lalu, pemilik kebun apel memberikan satu dinar kepada pemudah saleh dan berujar “Ambilah, dan berikan sebagiannya untuk mahar putriku”.
Pernikahan pun berlangsung, kemudian pemuda saleh dibawa menemui putri pemilik kebun. Tak disangka-sangka, kondisi istrinya tidak seburuk yang diceritakan oleh pemilik kebun tempo lalu. Bahkan, istrinya adalah wanita berparas cantik dan tidak cacat sama sekali. Pemuda saleh lalu bertanya kepada istrinya gerangan apa sehingga ayahnya menceritakan perihal putrinya yang cacat, buta dan tuli. Lalu, istrinya menjawab “Maksud ayahku bahwa semua anggota tubuhku ini tidak pernah melakukan maksiat”. Pemuda saleh akhirnya tahu dan tersadar dengan maksud gerangan mertuanya itu.
Di samping itu, ayah dari istrinya ini, sang pemilik kebun, juga dicela oleh masyarakat sekitar karena telah menolak lamaran dari pejabat tinggi negara dan orang-orang terkemuka. Justru ia menikahkannya dengan pemuda miskin yang tidak punya apa-apa. Pemilik kebun tersebut akhirnya menjawab dengan tegas “Aku menikahkan putriku dengan pemuda ini karena aku menyukai perangainya, ia adalah pemuda saleh yang wara’ (sikap kehati-hatian akan dosa).
Dari pernikahan pemuda saleh dan putri pemilik kebun tersebut akhirnya lahirlah seorang anak laki-laki yang menurut riwayat bernama al-Nu’man bin Tsabit (80-150 H) yang popular kita kenal dengan sebutan Imam Abu Hanifah. Di masa kecil Abu Hanifah, ayahnya yang tidak lain adalah pemuda saleh yang telah memakan setengan potong apel tadi, memasrahkannya kepada seorang guru untuk mendidiknya. Kemudian, guru Abu Hanifah kecil menceritakan kepada ayahnya bahwa pada hari pertama belajar, Abu Hanifah kecil sudah berhasil menghapal 15 juz, separuh al-Qur’an. Mendengar kabar tersebut ayah Abu Hanifah berkata “Aduhai, jikalau dahulu aku tidak memakan setengah potong buah apel, niscaya anakku akan hapal seluruh al-Qur’an dalam sehari”.
Dari kisah menakjubkan tersebut, mari kita simak nasihat dari Mustafa al-‘Adawi bahwa “Kesalehan kedua orang tua berpengaruh besar pada kesalehan anak-anaknya serta kemanfaatannya di dunia dan akhirat. Begitu sebaliknya, perbuatan buruk kedua orang tua akan mempengaruhi perangai sang anak. Sebab itu, hendaklah calon ayah dan ibu, kedua orang tua untuk memperbanyak amal kebaikan (Q.S al-Kahf: 82) supaya dapat mencetak generasi saleh, cerdas dan manfaat, perbaguslah makananmu, minuman dan pakaianmu wahai ayah, supaya engkau dapat mengangkat tanganmu, berdo’a memohon kepada Allah SWT dengan tangan yang bersih, suci dan dengan memperbaiki dan memberkati mereka”. Wallahu a’lam.